KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Selasa, 15 November 2011

REVITALISASI KAWASAN KOTA Sebuah Catatan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota



I. Pendahuluan
Pembangunan kota merupakan ekspresi kebijakan institusional dan politik, yang terjadi melalui proses penyesuaian fisik dan fungsi secara terus menerus, terhadap struktur hegemoni politik maupun ekonomi zaman. (D. Ipsen, 1992)
Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya.[1] Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.

Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Contoh, Jl. Braga di Bandung yang pernah menjadi pusat kegiatan komersial masyarakat kota, bahkan masyarakat luar kota, saat ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Jl. Pasar Baru di Jakarta adalah suatu contoh lain, meskipun nasibnya tidak seburuk Jl. Braga. Kawasan Kota Tua Jakarta, seperti kawasan pelabuhan tua Sunda Kelapa dan kawasan Fatahilah yang pernah berjaya pada masa pemerintahan Hindia Belanda adalah contoh lain dari yang perlu untuk dihidupkan kembali.

Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

II. Modernisasi dan Globalisasi

Dapat diantisipasi bahwa aspek yang membedakan kota-kota besar kita pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah: jumlah penduduk, tingkat pendapatan perkapita, tingkat kecanggihan teknologi, serta tata nilai/perilaku masyarakat yang semakin bersifat universal. Aspek terakhir ini, perilaku, sangat terpengaruh oleh teknologi informasi. Keempat aspek tersebut akan merupakan basis yang mendasari bentuk sisi permintaan (demand side) yang harus diakomodasikan oleh kota. Sisi permintaan ini berkait erat dengan kebutuhan akan lahan serta tingkat intensitas pemanfaatannya, serta berbagai bentuk infrastruktur sosial yang berkait erat dengan perilaku baru masyarakat. Contoh: Dahulu orang makan siang di rumah dan melakukan istirahat siang, untuk Jl. Braga ditandai dengan ditutupnya toko-toko; sekarang kebiasaan ini sudah tidak lagi dilakukan.

Artinya kebutuhan akan lahan tidak lagi hanya didasarkan kepada luasnya, tetapi juga didasarkan pada tingkat optimasi pemanfaatannya serta sifat penggunaannya. Sebagai ilustrasi, peruntukan lahan yang bersifat tunggal (mono use) sudah mulai ditinggalkan, sedang kecenderungan pemanfaatan lahan dengan fungsi majemuk (multi use) secara terpadu dan berskala besar (misalnya, konsep superblok) mulai berkembang dengan pesat. Namun, harus disadari bahwa sisi permintaan yang didikte kekuatan pasar ini tidak boleh dilepas tanpa kendali. Kota bukan sekedar mesin ekonomi, tetapi kota juga merupakan wujud organisasi sosial-budaya masyarakat yang harus dijaga keseimbangan, keadilan serta kesinambungan eksistensinya. Jelas di sini, selain pertumbuhan yang bersifat fisik (growth), berlangsung juga proses perubahan dalam (perilaku) masyarakat yang memang merupakan bagian dari proses evaluasi peradaban manusia (social changes).

Intervensi perencanaan dan perancangan kota yang peka terhadap fenomena di masyarakat ini, oleh karena itu menjadi tidak terhindarkan. Intervensi kebijakan perencanaan kota tidak hanya harus kreatif, akan tetapi juga harus inovatif. Hal ini dapat dipahami karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak (public needs) yang bersifat multifacet, serta menyangkut pula proses penataan lahan kota yang sudah terbangun, yang pengadaannya semakin terbatas. Selanjutnya intervensi kebijakan perencanaan dan perancangan kota harus dilihat sebagai instrumen untuk mengelola pertumbuhan dan perubahan. Pertumbuhan dapat bersifat ekspansi wilayah atau pemekaran kota (ekstensif) secara fisik, akan tetapi juga bisa bersifat pemadatan (intensif) kawasan di dalam wilayah kota. Dalam konteks ini revitalisasi adalah upaya mengelola pertumbuhan yang bersifat pemadatan pada bagian ataupun kawasan kota yang telah terbangun serta mengalami degradasi agar supaya bagian-bagian kota tersebut vital kembali sesuai dengan the highest and the best use dari bagian-bagian kota tersebut.

Kita saat ini hidup dalam era perubahan yang cepat, dan kekuatan-kekuatan (ekonomi, sosial-budaya, politik dan teknologi) tersebut ada di sekitar kita. Semuanya merupakan kekuatan yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan lingkungan perkotaan yang kita huni. Jadi, kita harus mampu mengantisipasi perubahan ini dan ke arah mana perubahan tersebut akan membantu kita.
[2]

Kita telah pula sepakat, bahkan turut memotori, untuk masuk ke dalam perdagangan bebas pada 2010 untuk ASEAN, dan pada 2020 untuk Asia-Pasifik yang lebih luas. Untuk itu, masih diperlukan persepsi serta konsep berpikir yang akan memungkinkan kita melihat ke depan ke dalam abad ke-21. Kita harus mengerti bahwa semua perubahan ini tidak terhindarkan, dan perubahan-perubahan ini memang memiliki basis yang rasional. Oleh karena itu, kita harus mampu menanggapi serta mampu memperkirakan ke arah mana semua perubahan ini akan membawa kita. Dengan informasi yang diperoleh, kita seharusnya dapat menciptakan piranti pengendali untuk mengarahkan pembangunan kota. Untuk itu, kita harus bertindak secara pro-aktif dan bukan secara re-aktif, serta berani mengambil tindakan yang tepat dan terencana.

Globalisasi pun telah membawa kita masuk ke dalam sistem ekonomi dunia yang tidak lagi mengenal batasan geografis (Sassen, 1991). Globalisasi berarti pula bahwa modal kuat milik korporasi multinasional beroperasi secara internasional, dan ini merupakan isu tersendiri di bidang perencanaan dan perancangan kota yang perlu ditanggapi. Masuknya modal kuat dari luar berarti pula masuknya norma-norma universal yang menyebarluaskan doktrin-doktrin perancangan modern yang mereka anggap dapat memberikan pemecahan bagi berbagai permasalahan (perencanaan dan perancangan) untuk semua tempat di muka bumi ini. Dalam praktiknya, isu-isu dan dimensi sosial-budaya serta tradisi lokal sering disalah-artikan, diabaikan, atau bahkan dianggap tidak penting. Hasilnya adalah penerapan di dalam konteks yang keliru dari metoda-metoda Barat, standar-standar yang berlebihan, serta teknologi yang tidak sesuai dengan norma-norma setempat.

Namun, kelihatannya kenyataan ini tidak terhindarkan, bahkan kota-kota besar kita secara berlanjut akan masih terus didominasi oleh konsep-konsep perancangan kota yang didikte kekuatan ekonomi multinasional dan menjadikan lingkungan perkotaan kita sebagai koloni mereka. Kenyataan ini semakin mendekatkan pada ciri wajah kota-kota besar kita kepada kota-kota dunia lainnya, dan semakin menipisnya nilai-nilai jati diri serta identitas lokal yang pernah dimiliki oleh lingkungan kota-kota kita. Garis langit kota-kota kita akan tetap didominasi oleh refleksi dari kekuatan-kekuatan ekonomi multinasional atau bahkan kekuatan-kekuatan besar lainnya (Evers/Korff, 2000). Dilemanya adalah bahwa pada sisi lain dari cakrawala kota, tidak terlalu jauh dari kemegahan arsitektur kota yang formal tersebut, muncul berbagai bentuk bangunan tidak formal dengan penampilan kumuh yang tumbuh dan berkembang secara cepat bersama waktu, dan ini semua memberi kesan semakin tajam ketidakadilan sosial ekonomi. Apakah kenyataan ini merupakan identitas lokal wajah kota kita?

Kita harus sadari pula bahwa kita hidup di dalam tata ruang yang diciptakan oleh pengambil keputusan masa lalu, dan itu tanpa disadari telah membentuk perilaku kita dan sekaligus persoalan-persoalan baru pada saat ini. Tata ruang masa depan adalah tanggung jawab para pengambil keputusan hari ini, oleh karenanya mereka perlu untuk benar-benar mengerti tentang apa yang sebenarnya kita kehendaki dari masa depan, mengingat keputusan-keputusan yang diambil hari ini akan mempunyai dampak yang luar biasa pada kehidupan mendatang. Untuk mengantisipasinya diperlukan sebuah skenario tentang tata ruang masa depan berdasarkan persepsi serta analisis yang matang, serta harus dapat diformulasikan secara serius dan teliti. Dengan alasan inilah, keputusan-keputusan yang diambil hari ini harus dilandasi oleh imajinasi serta konsep-konsep yang kreatif serta inovatif tentang masa depan kita.

III. Revitalisasi dan Rancang Kota

Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan kota bersejarah/tua.

Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. 
Intervensi fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.



2. 
Rehabilitasi ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).



3. 
Revitalisasi sosial/institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.

Dari uraian di atas, kota yang baik harus merupakan satu kesatuan sistem organisasi terpadu, baik yang bersifat sosial, visual, maupun fisik. Oleh karenanya, kota jangan hanya direncanakan, tetapi kota juga harus dirancang, terutama dalam skala mikro-kota. Kehadiran rancang kota, yang secara universal dikenal dengan sebutan urban design sekaligus, akan merupakan jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan secara layak berbagai kebijaksaan perencanaan kota dengan produk-produk rancangan fisiknya seperti seni bangunan /arsitektur. Sebagai penyambung antara perencanaan kota dan perancangan arsitektural, rancang kota sekaligus merupakan suatu perangkat panduan bagi terwujudnya lingkungan binaan yang tanggap terhadap berbagai isu lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik.

Rancang kota sangat berkepentingan dengan kualitas ruang kota, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sebagai jembatan antara perencanaan kota dan perancangan arsitektur (baik bangunan maupun ruang-ruang luar di antaranya), rancangan kota bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, urban design akan sangat menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang kita huni ini. Jadi, urban design harus dilihat sebagai suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap kemampuan sumber daya setempat, daya dukung lahan serta merujuk kepada lokalitas.
[3]

Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum. Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi! Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya.

Sebagai contoh: suatu bagian kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi tua (obsolete) dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota. Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada galibnya merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Di dalam konteks daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.

Dapat disimpulkan bahwa rancang kota adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja, bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran, rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana untuk mencapainya.

Namun, kelemahan dari banyak rencana kota yang ada saat ini dapat dilihat di dalam pendekatannya. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat wajah kota semakin mirip antar satu kota dengan kota lainnya di dunia. Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum dapat dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, situasi dan kondisi serta masyarakat yang ada. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi.

Untuk mencapai wujud akhir ruang binaan kota yang dikehendaki, terutama yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang lama, dirasakan perlu adanya seperangkat piranti yang dapat mengarahkan serta mengendalikan proses pembentukannya.

IV. Penutup

Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu, pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

• 
Prof. Ir. Muhammad Danisworo, M.Arch., MUP., Ph.D.
Guru Besar Perancangan Kota, Dep. Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB



• 
Dr.Ing. Widjaja Martokusumo
Staf Pengajar Perancangan dan Pembangunan Kota, Dep. Arsitektur, FTSP - ITB

Referensi
Evers, Hans-Dieter/Rüdiger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer: Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London, 2000.
Ipsen, Detlev: Über den Zeitgeist der Stadterneuerung, dalam Die Alte Stadt, no.1, hal.16-29, 1992.
Rüland, Jürgen (ed.): The Dynamics of Metropolitan Management in Southeast Asia, ISEAS, Singapore, 1996.
Sassen, Saskia: The Global City. Princenton University Press, New York, 1991.
Serageldin, Ismaïl/Ephim Shluger/Joan Martin-Brown (eds.): Historic Cities and Scared Sites, Cultural Roots for Urban Futures, The World Bank, Washington, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Kawasan