KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Senin, 07 Mei 2012

RENCANA PENGELOLAAN EKOSISTEM DANAU TOBA




Oleh
Otto Soemarwoto


Ringkasan

Konvensi LTEMP merupakan usaha yang terpuji. Dengan menyimak evolusi gerakan lingkungan global dari Stokholm ke Rio de Janeiro dan akhirnya ke Johannesburg, kelemahan konvensi tersebut ialah mempunyai kemungkinan kecil untuk diimplimentasikan. Disarankan agar LTEMP bertujuan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan empat kriteria yang dapat diukur secara kuantitatif, yaitu pro-lingkungan hidup, pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan. Dengan cara ini LTEMP mengintegrasikan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup seperti diamanatkan oleh KTT Pembangunan Berkelanjutan Johannesburg (World Summit on Sustainable Development). Karena pembangunan berkelanjutan dapat dipantau secara kuantitatif, hasil pemantauan itu dapat dijadikan kriteria tingkat keberhasilan pembangunan seorang kepala daerah dan kriteria untuk pemilihan kembali kepala daerah. 


 
Usaha untuk membuat sebuah konvensi Rencana Pengelolaan Ekosistem Danau Toba (Lake Toba Environmental Management Plan = LTEMP) merupakan usaha yang sangat terpuji. Persiapan-persiapan telah dilakukan dengan matang. Berdasarkan Briefing Paper yang saya terima saran yang dapat saya berikan ialah sbb.:

Tujuan Rencana LTEMP ialah untuk memulihkan dan melindungi ekosistem D. Toba. Dari pemulihan dan perlindungan ini diharapkan akan dapat tercapai 13 sasaran manfaat. Dengan lain perkataan sasaran utamanya adalah pemulihan ekosistem D. Toba dan manfaat yang akan didapatkan adalah akibat pulihnya ekosistem D. Toba. Tujuan ini sangat mulia dan berbeda dari pendekatan antroposentris yang menempatkan manusia pada pusatnya. Namun dari segi praktis di sinilah pula  letak kelemahannya, yaitu kemungkinannya kecil akan diimplimentasikan. Pengalaman menunjukkan bahwa manusia bersifat antroposentris. Ini dapat kita lihat dari perkembangan gerakan lingkungan hidup sedunia.

Gerakan lingkungan hidup sedunia dimulai di Stokholm. Di kota ini dalam tahun 1972 PBB menyelenggarakan sebuah konperensi bernama UN Conference on the Human Environment. Resolusi Konperensi Stokholm tidak banyak yang diimplementasikan.

Dalam tahun 1992, 20 tahun kemudian, PBB menyelenggarakan lagi sebuah konperensi di Rio de Janeiro yang bernama UN Conference on Environment and Development (UNCED). Nampak pergeseran dari lingkungan hidup ke lingkungan hidup dan pembangunan. Pergeseran ini dipengaruhi oleh World Commission on Environment and Development (WCED) dengan laporannya Our Common Future. Salah satu hasil UNCED ialah Agenda 21. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyusun Agenda 21-nya. Namun Agenda 21 itupun tidak banyak yang diimplementasikan.

UNCED disusul oleh Konperensi Rio+10 yang bernama World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg dalam tahun 2002. Dalam jangka waktu 30 tahun kepedulian dan dengan demikian perhatian orang bergerak dari lingkungan hidup ke lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dan akhirnya ke pembangunan berkelanjutan.

Dengan melihat evolusi ini nampak bahwa kovensi LTEMP ada pada tahap Konperensi Stokholm. Walaupun konvensi tersebut berguna, namun kemungkinan besar tidak akan banyak diimplementasikan. Karena itu disarankan agar konvensi LTEMP dibawa ke tahap WSSD dengan mengemasnya dalam pembangunan berkelanjutan (PB). 

Dengan mengacu pada dalil umum yang menyatakan bahwa hanya yang dapat diukurlah yang dilaksanakan, PB itupun haruslah diberi kriteria yang dapat diukur secara kuantitatif. Kriteria itu harus mencerminkan isu penting yang sedang berkembang di Indonesia dan dengan memanfaatkan metode yang telah dikembangkan dan digunakan secara nasional dan internasional, yaitu:

·         Pro-lingkungan hidup
·         Pro-rakyat miskin
·         Pro-perempuan
·         Pro-lapangan pekerjaan

Pro-lingkungan hidup diukur dengan indeks lingkungan hidup yang telah banyak kita gunakan, misalnya dalam AMDAL, atau dengan UN System of Integrated Environmental and Economic Accounting.

Pro-rakyat miskin diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Indeks) menurut UNDP.

Pro-perempuan diukur dengan Indeks Pembangunan Jender (Gender-related Development Index) dan Ukuran Pemberdayaan Jender (Gender Empowerment Measure) menurut UNDP.

Pro-lapangan pekerjaan diukur dengan metode ekonomi, yaitu jumlah lapangan pekerjaan yang tercipta per investment.

Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan UNDP telah mempublikasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), Indeks Pembangunan Jender (IPJ) dan Ukuran Pemberdayaan Jender (UPJ) pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Dalam tahun 1999 IPM Sumatra Utara ialah 66,6, IKM 24,5, IPJ 61,2 dan UPJ 47,3. Indeks-indeks ini belumlah bagus. Misalnya, IKM sebesar 24,5 menunjukkan bahwa 24,5% penduduk Sumut adalah miskin. Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah propinsi yang miskin sumber daya alam, IKM-nya ialah 18,5, jadi lebih baik daripada Sumut. Jika dibandingkan dengan Asean indeks Sumut tersebut juga tidak bagus. Misalnya, IKM Filipina adalah 16,3 dan Thailand 18,7.

Indeks UNDP mencakup juga pro-anak, pro-pendidikan dan pro-kesehatan. Juga merupakan alat untuk mencapai UN Millennium goals. Sebab sasaran UN Millennium tersebut tercakup dalam rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung indeks UNDP.

Dengan menggunakan empat kriteria yang dapat diukur secara kuantitatif LTEMP mengintegrasikan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup seperti diamanatkan oleh KTT Pembangunan Berkelanjutan Johannesburg (World Summit on Sustainable Development).  Dengan demikian perkembangan pembangunan berkelanjutan dapat dipantau. Perkembangan ini menjadi ukuran tingkat keberhasilan seorang kepala daerah dalam melakukan pembangunan berkelanjutan daerahnya.   


Saran:

  1. Tujuan LTEMP ialah untuk meningkatkan keempat kriteria PB yang mempunyai makna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Perkembangan keempat kriteria PB merupakan indikator tingkat keberhasilan seorang kepala daerah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan daerahnya dan dengan demikian kriteria untuk pemilihan kembali kepala daerah.



Catatan. Keterangan lebih lanjut tercantum dalam buku di bawah yang dapat didapatkan dari Kantor Sekretaris Daerah  Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepatihan, Yogyakarta (versi bahasa Indonesia dan versi bahasa Inggris).

Otto Soemarwoto, 2003, penyunting. Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kantor Sekretaris Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepatihan, Yogyakarta.

Catatan kecil ialah saran  untuk menggunakan istilah Indonesia Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Danau Toba.   
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Kawasan