KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Minggu, 16 Oktober 2016

Instrumen Pengelolaan Lingkungan menuju Pembangunan Berkelanjutan


        Tidak efektifnya AMDAL sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan selain karena pendekatan yang terlalu formalistik juga secara konseptual instrumen AMDAL lebih ditekankan pada tingkat proyek sehingga dianggap kurang strategis dalam menjalankan fungsi pengendalian dampak lingkungan.   
     
Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto
         Untuk mendukung dan meningkatkan efektivitas fungsi AMDAL, di kebanyakan negara maju dan beberapa negara berkembang telah diaplikasikan suatu instrumen baru dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Kajian Lingkungan Strategik (Strategic Environmental Assessment). 

          Kajian lingkungan strategik (KLS) memiliki posisi strategis di dalam proses perencanaan karena merupakan sebuah proses pengambilan keputusan perencanaan suatu proyek pada tahap awal. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas kebijakan, rencana atau program (KRP) memberi kesempatan untuk memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Webb dan Sigal, 1992; Partidario, 1996; Annandale dan Bailey, 1999). 

       Dengan kata lain, KLS bergerak di bagian hulu pengambilan keputusan, yaitu kebijakan dan program, sementara AMDAL pada bagian hilir, yaitu proyek. Dengan demikian, harus dikatakan bahwa pelaksanaan KLS tidak untuk menggantikan AMDAL melainkan mendukung untuk menunjukkan kemungkinan timbulnya dampak lingkungan yang tidak teridentifikasi oleh pelaksanaan AMDAL. Untuk memudahkan pemahaman kajian lingkungan strategik, terutama dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lingkungan yang telah dan sedang dilaksanakan, berikut ini adalah definisi KLS dan beberapa istilah yang ada hubungannya dengan KLS.

SEA is a systematic process for evaluating the environmental consequences of proposed policy, plan, or program initiatives in order to ensure they are fully included and appropriately addressed at the earliest appropriate stage of decision-making on par with economic and social considerations” (Sadler dan Verheem, 1996).
       

      Dengan definisi tersebut di atas, KLS berbeda dari AMDAL karena terminologi proyek umumnya site specific dan seringkali melibatkan hanya satu kegiatan dan, oleh karenanya, tidak strategis. KLS juga berbeda dari Audit Lingkungan karena dalam konsep Audit Lingkungan tidak dilakukan prakiraan dampak akibat pelaksanaan KRP. 
       Dengan demikian, secara umum, KLS berbeda dari kebanyakan jenis instrumen kajian lingkungan yang tidak memprakirakan akan terjadinya dampak lingkungan akibat pelaksanaan KRP. Sedangkan definisi untuk istilah kebijakan, rencana, dan program meskipun bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, berikut ini adalah definisi ringkas yang akan digunakan untuk diskusi.

Degradasi lingkungan akibat penambangan Batu Bara

Kebijakan, Rencana dan Program
       Kajian lingkungan strategik (KLS) memiliki posisi strategis dalam proses perencanaan karena merupakan sebuah proses pengambilan keputusan perencanaan suatu proyek pada tahap awal. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas kebijakan, rencana atau program (KRP) memberi kesempatan untuk memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global. 
      Dengan kata lain, KLS bergerak di bagian hulu pengambilan keputusan, yaitu kebijakan, rencana atau program. Untuk memudahkan pemahaman kajian lingkungan strategik, terutama dalam kaitannya dengan identifikasi kebijakan, rencana atau program pembangunan yang telah dan/atau akan dilaksanakan, berikut ini adalah definisi untuk istilah kebijakan, rencana, dan program yang digunakan dalam laporan ini:

Policy is an inspiration and guidance for action; Plan is set of coordinated and timed objectives for implementing the policy; and Program is a group of projects in a particular area (Therivel, 1998).

KLS berbeda dari AMDAL

       Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kebijakan adalah rumusan atau keputusan yang  bersifat umum dan memberi arahan bagi pelaksanaan kegiatan; rencana adalah satu atau beberapa sasaran yang terkoordinasi dan terjadwal untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan; dan program adalah kumpulan kegiatan/proyek di lokasi yang telah ditentukan. Tampak, adanya hirarki berdasarkan tingkat spesifikasinya dari yang bersifat umum (kebijakan) hingga lebih khusus (program). Untuk menunjukkan kejelasan pemakaian terminologi, keterkaitan, dan sekuens KRP dalam konsep KLS, berikut ini adalah ilustrasi dengan menggunakan topik transportasi seperti ditunjukkan oleh Annandale dan  Bailey (1999).





 Identifikasi kebijakan, rencana atau 
program pembangunan
Tampak, dalam ilustrasi tersebut bahwa pada tingkat kebijakan, kajian atau analisis diarahkan untuk menentukan pilihan (kebijakan) antara privatisasi (urusan diserahkan pihak swasta) dan katakanlah penguasaan oleh pemerintah termasuk argumentasi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Kajian lingkungan yang dilakukan pada tingkat kebijakan diharapkan akan memberi pertimbangan dampak lingkungan yang akan terjadi dengan pilihan kebijakan tertentu (dalam ilustrasi di atas adalah privatisasi sistem transportasi). Informasi dampak lingkungan tersebut diperlukan untuk pertimbangan tercapainya sistem transportasi berkelanjutan ketika formulasi rencana transportasi menentukan bentuk pengelolaan transportasi tertentu. Pada tingkat perencanaan, fokus kajian adalah pada pengelolaan transportasi termasuk sistem pengaturan parkir yang diperlukan. Di sini yang dibicarakan adalah tindak lanjut dari kebijakan transportasi yang telah ditentukan sebelumnya dalam suatu policy cycle yang sekuensial sifatnya.   
   
Pemeliharaan fasilitas transportasi

       Sedangkan pada tingkat program, kegiatan lebih pada pengelompokan proyek-proyek konstruksi dan pemeliharaan fasilitas transportasi sebagai tindak lanjut dari bentuk pengelolaan transportasi yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk masing-masing tingkatan tersebut kajian lingkungan diterapkan dengan harapan selain mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak lingkungan dan memprakirakan besarnya dampak yang akan terjadi, kajian lingkungan juga dimaksudkan untuk menentukan apakah perubahan/modifikasi KRP perlu dilakukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan proyek-proyek transportasi serta aktivitasnya yang bersifat spesifik/lokal (site and project specific).


Alur pertimbangan dan kriteria dalam evaluasi dampak penting/signifikan dalam KLS Revita;isasi Kawasan

       Prakiraan Dampak
     Prakiraan dampak meliputi penentuan besaran dan jenis dampak yang akan terjadi sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan, rencana atau program (KRP). Telah dikemukakan di muka bahwa kisaran dampak yang diakibatkan oleh sebuah KRP jauh lebih besar daripada dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas sebuah proyek karena  KRP umumnya mempengaruhi wilayah dan komponen lingkungan yang lebih besar.
    Salah satu sasaran utama KLS adalah evaluasi dampak kumulatif dan dampak tidak langsung, dimana kedua jenis dampak tersebut tidak terlalu mudah apabila dievaluasi dengan menggunakan analisis dampak lingkungan pada tingkat proyek (Therivel et al., 1992; Partidario, 1994). Prakiraan dampak seharusnya juga secara jelas dikaitkan dengan isu-isu kunci lingkungan hidup yang telah diidentifikasi pada tahap pelingkupan serta dikaitkan dengan kondisi lingkungan daerah yang akan menerima dampak. Tingkat kerincian analisis dampak yang diakibatkan oleh sebuah KRP (dalam studi KLS) umumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kerincian analisis dampak lingkungan sebuah proyek (ANDAL). Dalam banyak kasus, pemaparan dampak dalam studi KLS cukup ditunjukkan dengan indikator yang sederhana yaitu jenis dan tingkat dampak yang diprakirakan akan terjadi.
Museum Kereta Api di Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto

Dalam KLS, teknik prakiraan dampak yang lazim digunakan adalah satu atau kombinasi dari beberapa teknik prakiraan sebagai berikut:
  1. Daftar isi yang menunjukkan apakah sebuah KRP akan menimbulkan dampak atau tidak, dan seringkali disertai dengan informasi jenis dampak (positif atau negatif) serta besaran dampak.
  2. Analisis dengan menggunakan skenario.
  3. Tumpang-tindih peta atau teknik sistem informasi geografi, a.l., menunjukkan lokasi atau wilayah yang diprakirakan akan menerima dampak sebuah KRP.
  4. Berbagai indeks, indikator, dan/atau metode pembobotan, antara lain, indeks keberlanjutan habitat (Therivel and Partidario, 1996).
  5. Simulasi komputer, misalnya simulasi komputer pencemaran udara yang didasarkan pada asumsi jenis dan jumlah kendaraan, dan bahan bakar yang digunakan.
  6. Pendapat pakar.
Lubang Mbah Soero

   Prakiraan dampak dalam studi KLS, dalam banyak kasus, mempunyai tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Ketidakpastian tersebut umumnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: dalam bentuk apa dan sejauhmana KRP diwujudkan menjadi kegiatan dan proyek; status atau kondisi lingkungan yang akan terjadi (setelah kegiatan dan/atau proyek dilaksanakan); dampak yang ditimbulkan oleh KRP atau proyek lain yang tidak menjadi kajian; daya dukung lingkungan dan perubahan teknologi, politik, dan prioritas ekonomi di masa yang akan datang. Unsur ketidakpastian ini penting dicermati apabila diinginkan hasil prakiraan dampak lingkungan yang lebih akurat.
 
Kondisi Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto

Evaluasi Dampak Penting
     Evaluasi dampak dalam studi KLS pada prinsipnya adalah upaya menentukan besaran dan jenis dampak yang diprakirakan akan terjadi dan melakukan evaluasi untuk menentukan apakah dampak yang akan terjadi tersebut penting atau signifikan. Evaluasi dampak juga diarahkan untuk menentukan (melalui analisis) apakah dampak yang diprakirakan tersebut sudah selaras dengan sasaran atau tujuan yang telah ditentukan dalam KRP.
      Dalam banyak kasus, lokasi kegiatan yang tercantum dalam sebuah KRP, misalnya hutan lindung atau, Taman Nasional dan/atau lokasi yang karena karakteristik alamnya ditetapkan sebagai warisan nasional atau internasional (national or international heritage) dapat dikategorikan sebagai lingkungan yang sensitif. Demikian pula, untuk suatu wilayah, semakin banyak manusia tinggal di wilayah tersebut, maka tingkat sensitivitas lingkungan di tempat tersebut semakin tinggi. Tingkat sensitivitas lingkungan menjadi salah satu kriteria penting dalam menentukan tingkat penting atau tidaknya suatu dampak lingkungan.
Menjadi Danau di bekas tambang batu bara Sawahlunto

      Penentuan dampak penting/signifikan juga dapat didasarkan pada kriteria seperti regulasi dan pedoman, sasaran atau tujuan pelaksanaan KRP, isu-isu yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan dan/atau pembangunan berkelanjutan, pemerataan, dan pendapat masyarakat seperti tersebut dalam Gambar 2.1. Cara yang dianggap cukup efektif untuk mengevaluasi dampak penting/signifikan dari pelaksanaan KRP adalah dengan melakukan perbandingan antara satu KRP terhadap KRP lainnya. Namun demikian, berdasarkan pengalaman, cara yang umum dilakukan dalam menentukan dampak penting adalah dengan menggunakan matriks dua pintu, satu pintu untuk menunjukkan alternatif-alternatif KRP, sedang pintu lainnya menunjukkan komponen-komponen lingkungan yang akan dikaji. Sel-sel dalam matriks tersebut selanjutnya diberi tanda yang menunjukkan kaitan, bobot dampak, dan informasi lainnya yang diperlukan dan menunjukkan keterkaitan antara KRP dan komponen-komponen lingkungan yang menjadi kajian.
   Langkah terakhir dalam studi KLS adalah menyiapkan mekanisme dan prosedur sistem pemantauan dampak sebagai konsekuensi dilaksanakannya KRP. Informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan harus dimanfaatkan sebagai umpan balik penyempurnaan KRP dan untuk menentukan sejauhmana pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, sistem pemantauan harus terkait dengan indikator-indikator lingkungan yang telah dirumuskan dalam penentuan sasaran atau tujuan dilakukannya studi KLS.
Saat terjadi korban dampak ledakan batu bara Sawahlunto


Pertimbangan Pembangunan Keberlanjutan
         Telah dikemukakan bahwa salah satu kelemahan AMDAL adalah tidak mampu menunjukkan terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik pada tahap awal suatu rencana pembangunan. Oleh karena itu, identifikasi dampak lingkungan yang dilakukan sedini mungkin dapat dijadikan masukan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya dampak dengan cara mengubah atau menyiapkan cara penanggulangan dampak apabila tidak dapat dihindari. Dengan demikian, secara umum, keuntungan yang akan diperoleh dengan melaksanakan KLS adalah: (1) memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan, (2) meningkatkan efektivitas pelaksanaan AMDAL dan/atau pengelolaan lingkungan, dan (3) memungkinkan dilakukannya identifikasi terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif dan sinergistik, pada tahap awal proses pembangunan. KLS juga diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environmental effects).
        Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KLS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang semata-mata diterapkan pada komponen-komponen KRP, tetapi yang lebih penting adalah sebagai suatu cara untuk meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan hidup telah dijadikan pertimbangan dalam setiap tingkatan pengambilan keputusan, dan dengan demikian, keberlanjutan pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey,  1999).



REVITALISASI PANTAI SIGANDU KABUPATEN BATANG JAWA TENGAH

NUR LAELA FIMA ARDIANA
114130171



Pantai Sigandu terletak di Desa Klidang Lor Kecamatan Batang, Kabupaten, Jawa Tengah, Indonesia. Wilayahnya berada di paling utara dari Kabupaten Batang. Pantai Sigandu tergolong pantai landai di kawasan pantai utara yang memanjang dari barat ke timur, berpasir hitam dan struktur pasir kasar, dengan ombak yang tidak begitu besar (Wikipedia, 2010).
Gambar 1. Peta Admin Batang

            Batas kawasan Pantai Sigandu adalah sebelah utara yaitu Laut Jawa, sebelah timur yaitu Desa Ujung Negoro, sebelah selatan yaitu Desa Kramat dan Desa Klidang Wetan, sebelah barat yaitu Desa Karang Asem. Pantai Sigandu memiliki luas sekitar 6,57 hektar.





Gambar 2. Peta citra Pantai Sigandu



Pantai adalah wilayah perbatasan antara daratan dan perairan laut. Batas pantai ini dapat ditemukan pengertiannya dalam UU No. 27 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Sempadan (batas) pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pantai terdiri atas pantai landai dan pantai curam. Pantai landai adalah pesisir atau tepi laut yang daratannya menurun sedikit demi sedikit ke arah laut. Pantai landai umumnya terdapat di pantai-pantai utara Pulau Jawa, contoh Pantai Sigandu yang terdapat di Batang Jawa Tengah. Wisata pantai yang dimiliki tiap daerah dapat dijadikan roda ekonomi bagi masyarakat sekitar,dari pengunjung / wisatawan pantai tersebut bagi masyarakat sekitar. Dengan diberlakukannya UU No 32 Tahun 2004, UU No 33 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan lebih luas pada Pemerintah Daerah untuk mengelola wilayahnya, membawa implikasi semakin besarnya tanggung jawab dan tuntutan untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki daerah dalam rangka menopang perjalanan pembangunan daerah. Sesuai dengan RTRW Kabupaten Batang tahun 2011 – 2031 pasal 44 bahwa pantai Sigandu diperuntukan kawasan wisata, dan pasal 48 tentang adanya Pantai Sigandu sebagai kawasan pengembangan wisata untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi
Kenyatannya, kondisi Pantai Sigandu saat ini memprihatinkan. Adanya abrasi yang menimpa pantai Sigandu pada tahun 2011 terdapat penurunan jumlah pengunjung, serta bangunan sekitar pantai rusak dan hancur. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai dari posisi asalnya (Triatmodjo, 1999, dalam Buddin.pdf). Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi semakin menyempit, tapi bila dibiarkan begitu saja akibatnya bisa menjadi lebih berbahaya. Wisatawan yang berdatangan ke Pantai Sigadu untuk menikmati panorama pantainya atau menikmati suasa matahari tenggelam yang  indah, Apabila pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Kabupaten Batang karena secara otomatis devisa daerah dari sektor pariwisata akan mengalami penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit. Demikian juga dengan pemukiman penduduk yang berada di areal pantai tersebut. Banyak penduduk yang akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari abrasi.
          Revitalisasi penting dilakukan untuk kawasan pantai Sigandu. Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (Danisworo, 2002). 
Upaya mengatasi abrasi harus memiliki cara dan konsep yang berwawasan lingkungan, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya yang sifatnya sementara saja. Ada beberapa langkah penting yang bisa dilakukan dalam mengamankan garis pantai seperti pemecah gelombang dan yang dibarengi dengan pengembangan vegetasi di pantai. Upaya untuk menangani revitalisasi Pantai Sigandu, yaitu :
·         Membenahi aksese jalan setapak di kawasan pantai yang rusak
·         Melakukan perbaikan fasilitas yang sudah ada
·         Penataan kembali kawasan pantai yang tersapu oleh abrasi
·         Penanaman pohon trembesi yang berguna untuk menyerap air hujan, sehingga tidak ada yang menggenang, penyerap CO2 yang baik, tempat peneduh
·         Membangun pemecah gelombang yang berfungsi untuk memantulkan kembali energi gelombang. Penggunaan pemecah gelombang harus dilakukan beberapa studi dan kelayakan kesesuaian lahan yang sesuia dengan karakteristik pantai.
Gambar 3 Groin Pemecah Gelombang
·         Hutan bakau dapat membantu mengatasi gelombang serta sekaligus bermanfaat untuk kehidupan binatang serta tempat berkembang biak ikan-ikan tertentu. Hutan bakau disebagian besar pantai Utara sudah hilang karena ulah manusia, yang pada gilirannya akan menggerus pantai.
Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi :
a.       Penahanan atau penangkap lumpur dan sedimen lainnya
b.      Penahan atau pemecah dan angin badai yang dapat melindungi pantai dari abrasi
c.       Menambah destinasi wisata pada hutan mangrove, dll

Gambar 4. Hutan Mangrove
·         Pohon cemara ditanam di sekitar pantai akan menambah keindahan nilai estetika, dan juga akan memberikan efek sejuk di pantai tersebut. Sehingga para wisatawan akan betah berlama lama di pantai Sigandu.
Gambar 5 Pohon Cemara



Buddin A. Hakim, dkk.2012. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan
Bangunan Pantai di Pesisir kota Semarang. pdf. Universitas Diponegoro
Danisworo, M. 2002. Revitalisasi Kawasan Kota.Sebuah Catatan Dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota, Info URDI Vol.13

Syahrin. 2010. Bangunan Pelindung Pantai. https://syahrin88.wordpress.com/2010/09/09/bangunan-pelindung-pantai/ (diakses pada 18 September 2016)

Rabu, 12 Oktober 2016

Penataan Pulau Nipah Sebagai Pusat Edukasi Pertahanan dan Keamanan Nasional serta Kawasan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

T. Murviana S. Napitupulu
114.130.195



Gambar 1. Kondisi Perbatasan Pulau Nipah dengan Singapura dan Malaysia
Gambar 2. Kondisi Eksisting Pulau Nipah
Pulau Nipah merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di Kecamatan Belakang Padang, Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipah berada di antara Selat Singapura dan Malaka dan berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia di bagian utara, di barat berbatasan denga Kabupaten Tanjung Balai Karimun dan berada di Utara Timur Lautnya Pulau Batam. Untuk mempermudah transportasi antar pulau ada banyak jemabatan. Pulau Batam dan Pulau Tonton dihubungkan dengan jembatan Tengku Fisabillilah sepanjang 642 meter. Dari Pulau Tonton ke Pulau Nipah dihubungkan dengan jembatan Nara Singa II dengan panjang 420 meter (Yuswohady 2005:267).

Gambar 2. Kondisi Eksisting Pulau Nipah
Pulau Nipah terdiri atas gosong karang mati dengan komposisi 80% karang mati dan 20% batuan berpasir. Pada saat air surut, pulau ini mempunyai luas kurang lebih 60 Ha, sedangkan pada kondisi air pasang, hanya sebagian daratan saja yang terlihat. Kondisi pulau Nipah berupa dataran berbentuk lonjong mengarah ke barat laut – tenggara. Biota Pulau Nipah terdiri atas tumbuhan mangrove yang secara alami tumbuh pada substrat batuan dan pasir. Biota lain yang hidup pada zona pasang surut di daratan pulau adalah rumput laut, hard-soft coral, teripang dan beberapa jenis ikan karang (Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia).
Gambar 4. Pengadaan Solar Cell dan Genset


Kebijakan pembangunan selama ini masih menganggap kawasan perbatasan sebagai kawasan “belakang” dan bukan “halaman depan” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai akibatnya, pembangunan di kawasan perbatasan ini kurang mendapat prioritas di dalam perencanaan pembangunan. Sebagai rekomendasi, salah satu upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah penguatan di bidang sosial, ekonomi, budaya dan dalam hal ini khususnya wisata dan konservasi perairan laut.


Gambar 4. Pengadaan Solar Cell dan Genset
Upaya konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 4 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Isi dari pasal 4 adalah melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir, sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir, memperkuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi. Selain fungsi konservasi, Pulau Nipah juga memiliki fungsi utama pertahanan dan keamanan negara dan fungsi pendukung menjaga kedaulatan NKRI (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan Batam, Bintan dan Karimun).
Gambar 5. Pengadaan Embung dan SWRO

Gambar 6. Budidaya Ikan Kerapu
Keterbelakangan yang ada di Pulau Nipah, yakni sumber air tawar yang hanya mengandalkan air hujan. Apabila kehabisan air maka personil TNI harus menyebrang ke Batam untuk mengambil air bersih. Air bersih akan digunakan untuk dikonsumsi. Sedangkan untuk mandi mereka menampung air hujan. Di Pulau Nipah juga belum ada instalasi listrik. Personil TNI menggunakan tenaga surya dan genset. Namun listrik yang dihasilkan bersifat terbatas. Pulau Nipah sangat kering karena ruang terbuka hijau yang terbatas. Cuaca di Pulau Nipah cukup ekstrem disertai badai. Pulau Nipah tidak memiliki penduduk sipil kecuali personil TNI berjumlah 14 orang. Keterbatasan inilah yang membuat Pulau Nipah sulit untuk berkembang.

Gambar 7. Pengadaan Restoran, hotel bawah laut dan permainan wahana air
Gambar 7. Pengadaan Restoran, hotel bawah laut dan permainan wahana air
Dengan melihat kondisi yang terbatas tersebut maka dibutuhkan revitalisasi Pulau Nipah agar dapat berfungsi secara ekonomis selain fungsi pertahanan dan keamanan nasional. Revitalisasi dimulai dengan pengadaaan hal-hal dasar, seperti pengadaan listrik, ruang terbuka hijau, dan penyediaan air bersih. Setelah hal-hal mendasar tersebut terpenuhi, selanjutnya membuat wahana permainan air, hotel, maupun restoran seafood. Selain itu untuk kebutuhan edukasi tentang pertahanan dan keamanan nasional, Pulau Nipah dapat dilengkapi dengan pengadaan museum alutsista (alat utama sistem senjata). Dan untuk memenuhi peraturan menteri perikanan dan kelautan tentang zonasi pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, Pulau Nipah juga dapat membuat budidaya ikan kerapu yang ramah lingkungan.
Gambar 8. Pengadaan Museum Alutsista Nasional

Daftar Pustaka

        Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun.
       Ruchimat, Toni dkk. 2012. Kawsan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
       Tim Pusat Studi Pancasila UGM. 2015. Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kawasan Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T) (Kumpulan Makalah Call of papers Kongres Pancasila VII). Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada.
      Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
        Yuswohady dan Hermawan Kertajaya. 2005. Attracting Tourist, Traders, Investors: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Selasa, 11 Oktober 2016

Gedung B.A.T Jadi Musium Rokok di Kota Cirebon

Adam Nurcahya Priyandwiky
114130029




BAT gedung bersejarah 

BAT Cirebon atau (PT British American Tobacco) merupakan gedung bersejarah yang terletak di Jl.Pasuketan,Desa Kebumen,Kecamatan Lemahwungkuk,Kota Cirebon. Gedung ini di bangun pada tahun 1917 dan di kenal sebagai pusat perekonomian di zamannya. Gedung BAT ini di miliki oleh perusahaan produksi rokok SS Michael yang sebelumnya pada 1925 telah di beli dan di kembangkan dari desain gedung.
Desain BAT gedung bersejarah yang berdiri di tanah seluas 1,6 hektar ini, di perbarui dengan desain gedung gaya art Deco oleh arsitek F.D Cuypers dan Hulswit, dengan warna gedung putih dan biru. Gaya desain gedung tersebut di nilai modern,serbaguna dan elegan pada zamannya. Desain gedung tersebut di rancang setelah perang dunia ke 2 pada tahun 1920. Sarana yang terdapat di gedung ini antara lain lobi, ruang kantor, sarana produksi rokok, mushola dan kantin.BAT gedung bersejarah.

Saat itu, lantai gedung masih menggunakan kayu, kemudian di ganti menggunakan bahan marmer. Penggunaan kerangka gedung ini menggunakan material besi,bata merah, pasir, marmer, sabes, keramik, genteng, tegel, kayu, dan semen. Gedung tersebut berdiri tinggi dan memanjang, namun tidak memiliki area lahan yang luas untuk pekarangannya, dan hanya di tanami beberapa pohon palm dan di bangun pos polisi serta jalur pejalan kaki.
Gedung BAT memiliki 2 lantai, dan pada bagian depan gedung di hiasi lubang-lubang kecil untuk udara berbentuk simetris. Dan terdapat tulisan dan angka pembuatan gedung tersebut yang bertuliskan ‘ANNO 1924’. Pada bagian tengara dari kedinasan kota cirebon tampak sudah usang, di mana lokasi di pasang tengara tersebut merupakan status kondisi gedung yang di mulai tahun 1917 yang telah tertulis di tengara tersebut.

Sekilas kondisi gedung BAT ini tampak kumuh dan tak terawat, karna beberapza sisi gedung di gunakan sebagai tempat mangkal becak dan pemulung sampah. Tentunya hal tersebut dapat menurunkan nilai kelestarian gedung BAT sebagai gedung bersejarah nomor 1 di Cirebon ini. Namun, lokasi gedung ini di nilai strategis dan memilki nilai sejarah yang penting sehingga nilai harga gedung ini bernilai tinggi, dan kabarnya ada yang ingin membeli gedung ini dengan harga yang sudah di tentukan.

Sebagai ikon penting dari kota Cirebon ini, di mana kepedulian dan pemeliharaan gedung bersejarah perlu di perbaiki, demi melindungi nilai kelestarian dan sejarah gedung BAT, dan semoga untuk kedepannnya gedung ini dapat lebih di pelihara dan dirawat secara berkala.
Menurut Freeman (1974), kota mempunyai 4 (empat) kecirian meliputi: penyediaan fasilitas untuk seluruh warga, penyedia jasa (tenaga), penyedia jasa profesional (bank, kesehatan, dll) serta memiliki pabrik atau industri (Koestoer, 2011). Diharapkan dengan merevitalisasi bangunan ini dapat meningkatkan kesejahteraan warga sekitar, karena arah revitalisasi ini akan mengembangkan bisnis warga lokakl yang telah ada.
Beberapa nilai historis dari fungsi awal gedung ini akan dikembalikan dan lebih dikembangkan kembali, karena awal pembangunan gedung ini difungsikan sebagai pabrik rokok oleh Amerika maka gedung ini akan di revitalisasi menjadi gedung musium koleksi berbagai macam rokok dari seluruh penjuru nusantara bahkan dari seluruh dunia. Koleksi berbagai kemasan rokok, hingga jenis-jenis tembakau yang digunakan oleh pabrik rokok di seluruh dunia, alat-alat yang digunakan untuk membuat rokok hingga memperkenalkan banyak penemu tembakau rokok, serta nilai-nilai sejarah yang terdapat di dalam rokok dari beberapa abad tahun silam diperjelaskan di dalamnya.
Disediakan juga kafe khusus “ahli hisap” yang menjual berbagai macam tambakau dari seluruh daerah di Indonesia, dapat dinikmati di tempat ataupun dibawa pulang, namun untuk mendapatkannya tetap dengan aturan khusus yang hanya diperuntukan untuk orang diatas umur 20 tahun dan memiliki KTP asli yang terbaru. Kafe tersebut akan ditempatkan dengan perhitungan jarak agar tetap dapat menjaga kenyamanan pengunjung lain dengan pintu masuk yang berbeda dengan pintu utama musium yang akan dibentuk pada suatu ruangan kecil disalah satu sudut musium dengan kondisi tertutup rapat, dilengkapi dengan sirkulasi udara yang telah diperhitungkan dan hanya di salurkan menuju lubang udara langsung keluar. Fasilitas lain yang paling utama yaitu berupa area foodcourt yang dilokasikan diseberang musium, demi menjaga kenyamanan dan ketertiban pengguna jalan lain foodcourt tidak diperkenankan menggunakan bangunan permanen/non-permanen, untuk itu bagi para penjual diwajibkan menggunakan konsep “juling” yaitu “jualan keliling” yang berarti para penjual diharuskan hanya dapat berjualan menggunakan “food truck” ataupun alat transportasi lain seperti motor bak roda tiga, mobil pick up dan lain-lain yang dapat dipindahkan dan sudah tertata sesuai penjadwalan yang telah dibuat.
Adanya jalan besar di depan gedung B.A.T dapat mempermudah para pengunjung untuk sekedar makan di food court yang telah disediakan sambil mengambil foto tiap sudut gedung, atau hanya sekedar mampir membeli rokok/tembakau pada kafe “ahli hisap” yang ada di dalam musium. Sesuai pendapat ahli di dalam studinya (Lee, 1979) mengemukakan bahwa terdapat 6 faktor yang mempunyai pengaruh kuat proses perkembangan ruang, keenam factor tersebut ialah (a) factor aksesibilitas (accessibility); (b) factor pelayanan umum (public services); (c) karakteristik lahan (land characteristics); (d) karakteristik pemilik lahan (land owner characteristics); (e) kberadaan peraturan-peraturan yang mengatur tata guna lahan (regulatory measures) dan (f) prakarsa pengembang (developers’ initiative). Dalam penjelasannya, Lee (1979) lebih menekankan pada aksesibilitas fisikal, pengukuran aksesibilitas fisikal dapat dilaksanakan dengan menilai prasarana transportasi yang ada bersama-sama dengan sarana transportasinya. Keunggulan dari  gedung BAT ini adalah berada dekat dengan pusat kota dan aksesnyapun sangat mudah untuk menemukan gedung tersebut. Kekurangannya adalah pada penataan lahan parkir untuk kendaraan pengunjung. Penghijauanpun kembali diperhatikan untuk menjaga kestabilan kualitas udara, khususnya disekitar kawasan musium dengan menambahkan tanaman-tanaman di dalam pot di sekitar gedung dan di seberang gedung serta di belakang. Diharapkan setelah diadakan revitalisasi pada gedung BAT warga kota Cirebon pada khususnya kembali mendapat tempat bersantai pada akhir pecan serta dapat menambah wawasan pada bidang tembakau.

Daftar Pustaka
Heryanto, Bambang. 2011. Roh dan Citra Kota. Brilian Internasional: Surabaya

Yunus, Sabari Hadi. 2005. Manajemen Kota Prespektif Kota. Pustaka Pelajar: Yogyakarta