KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Senin, 07 Mei 2012

PROBLEMATIK PELIK PEMBANGUNAN KESETARAAN DESA - KOTA*



Oleh
Otto Soemarwoto
Yayasan Agenda 21
Bandung


RINGKASAN

Untuk membangun pedesaan perlu dibangun komunikasi antara desa dengan kota. Terjadilah arus informasi, materi dan energi antara desa dan kota. Informasi mencakup peraturan perundang-undangan, ilmu pengetahuan, penyuluhan dan iklan. Sebuah dalil ekologi menyatakan ekosistem yang kuat mengusai arus informasi sehingga arus materi dan energi pun dikuasai oleh ekosistem yang kuat. Terjadilah eksploatasi ekosistem yang lemah oleh ekosistem yang kuat. Dengan demikian komunikasi desa-kota mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi membangun dan kedua, fungsi eksploatasi. Fungsi kedua ini tidak kita sadari. Akibatnya, kesenjangan antara kota dan desa makin lebar.

Untuk mengatasi masalah ini kita harus menyadari adanya fungsi eksploatasi hubungan desa- kota dan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan fungsi ini. Demokratisasi pengambilan keputusan kebijakan harus dikembangkan dengan memberi   kesempatan kepada desa untuk ikut  mengambil keputusan. Dengan tindakan preventif ini kesetaraan desa-kota dapat dibangun dalam arti adanya kemitraan desa-kota yang adil yang menumbuhkan sinergi antara desa dan kota.


*Makalah untuk Seminar Sehari Peringatan Hari Habitat Indonesia 2004, Yogyakarta, 4 Oktober 2004


Pendahuluan

Desa dan kota tak dapat berdiri sendiri-sendiri, melainkan ada saling ketergantungan. Desa tergantung pada kota untuk modal, teknologi, pemasaran hasil desa dan lain-lain. Kota tergantung pada desa untuk bahan pangan, tenaga kerja dan lain-lain. Antara desa dan kota juga terdapat perbedaan kedudukan, antara lain, kekuasaan menentukan kebijakan pembangunan serta pola hidup dan konsumsi. Dengan pendek dapat dikatakan bahwa kota lebih maju daripada desa. Perbedaan ini tak mungkin dapat dihapus. Karena itu membangun kesetaraan bukanlah untuk membuat kedudukan desa sama dengan kota, melainkan untuk mengelola kesenjangan antara kota dan desa pada tingkat yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Tujuannya ialah untuk membangun kemitraan desa-kota yang adil agar tumbuh sinergi antara desa dan kota. 

Untuk dapat membangun kesetaraan diperlukan adanya hubungan antara desa dan kota. Hubungan itu secara fisik berupa jalan, listrik dan telpon kabel serta secara non-fisik berupa hubungan transmisi radio, televisi dan telpon non-kabel. Hubungan jalan dan listrik terutama untuk memfasilitasi arus materi dan energi, sedangkan radio, TV dan telpon untuk arus informasi. Jalan juga berguna untuk arus informasi, yaitu mengangkut buku, majalah dan dokumen pemerintah dan non-pemerintah.


Dalil ekologi

Sebuah dalil ekologi menyatakan, jika dua ekosistem dihubungkan satu sama lain, terjadilah tukar menukar informasi, materi dan energi. Jika kedua ekosistem itu mempunyai tingkat organisasi yang  berbeda, arus informasi itu bersifat asimetris, yaitu arus dari yang lebih maju lebih kecil daripada arus sebaliknya. Karena arus yang asimetris ini, ekosistem yang lebih maju mendapatkan informasi, materi dan energi lebih banyak daripada ekosistem yang kurang maju. Dengan lain perkataan ekosistem yang lebih maju mengeksploatasi ekosistem yang kurang maju.

Dasar dalil ini ialah barangsiapa menguasai arus informasi, baik jenisnya, besarnya dan waktunya arus itu terjadi, dialah yang menguasai arus materi dan energi. Pihak yang kuat memilih jenis informasi yang akan diberikannya pada pihak yang lemah. Pada ekosistem alamiah, yaitu yang tidak ada manusianya, arus itu ditentukan oleh susunan genetik organisme hidup dan hukum alam arus angin, air dan suhu. Misalnya, warna tubuh hewan mangsa (prey) memberi informasi kepada calon predatornya bahwa dia beracun sehingga dia mencegah arus materi dan energi yang terkandung dalam tubuhnya untuk mengalir ke predatornya. Bau dan warna bunga memberi informasi pada insekta calon penyerbuk untuk mengunjunginya dan menyerbukinya. Suara dan kelakuan adalah jenis informasi lain pada dunia hewan dan tumbuhan.

Dalil ini juga berlaku pada ekosistem sosio-biogeofisik dengan manusia sebagai salah satu komponennya. Pada ekosistem ini manusialah yang menguasai arus informasi. Pada ekosistem sosio-biogeofisik informasi itu mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi, iklan dan keputusan politik, misalnya peraturan perundang-undangan.

Secara sadar atau tidak sadar manusia melakukan pemilihan jenis informasi. Dia memilih jenis informasi yang akan menguntungkan dia, yaitu yang dapat memperbesar arus informasi, materi dan energi dari yang lemah kepadanya. Jenis informasi yang sensitif dia rahasiakan. Misalnya, negara maju merahasiakan informasi tentang senjata pemusnah masal (weapons of mass destruction, WMD). Demikian pula CIA merahasiakan informasi intel (intelligence information) yang dimilkinya.

Besarnya informasi juga ditentukan oleh ekosistem yang kuat. Tidak semua informasi yang dia miliki akan diberikan kepada yang lemah, yaitu secukupnya saja untuk memperbesar arus informasi, materi dan informasi dari yang lemah kepadanya. Misalnya, walaupun negara maju memberikan juga informasi tentang tenaga nuklir kepada negara lain, namun  jumlahnya dibatasinya. Dengan demikian negara sedang berkembang tak dapat mengembangkan senjata nuklir, kecuali yang berhasil mencuri rahasianya. 

Waktu terjadinya arus informsi pun ditentukan oleh yang kuat. Waktu yang dipilihnya juga bertujuan untuk memperbesar arus informasi, materi dan energi dari yang lemah kepadanya. Misalnya, dengan mempertimbangkan musim dan trend mode. 

Karena sifat hubungan eksploatatif itu terjadilah kesenjangan yang makin besar antara negara maju dengan negara sedang berkembang, antara desa dan kota serta antara yang kaya dan yang miskin. Bahkan dapat terjadi ekosistem yang lemah makin miskin dan menuju ke keambrukan, sementara ekosistem yang kuat makin kaya. Beberapa contoh menyusul untuk ilustrasi.


Pertanian

Pertanian diartikan dalam arti luas dan mencakup pula kehutanan. Arus informasi teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian mengalir dari kota ke desa disertai dengan arus modal, benih unggul, pupuk dan pestisida. Aru.s ini disebut penyuluhan. Produksi pertanian pun naik. Baik kota maupun desa untung. Namun keuntungan kota lebih besar daripada desa. Produksi dan penjualan huller oleh kota membawa keuntungan besar. Sementara itu di desa ribuan perempuan desa kehilangan pekerjaan karena tidak lagi dapat derep (memanen padi dengan ani-ani) dan menumbuk padi. Menggarap tanah dengan traktor juga menyebabkan pengangguran ribuan pemuda desa.

Kebijakan harga gabah pun lebih menguntungkan kota daripada desa. Yang menguasai arus inforamsi ini adalah kota. Desa tidak menguasainya. Tujuan informasi itu lebih untuk menjamin suplai beras pada kota daripada untuk meningkatkan kesejahteraan desa. Untuk tujuan ini daerah yang tradisional menghasilkan pangan non-beras, seperti NTT, pun dipaksa untuk menghasilkan beras. Karena kebijakan perberasan dikuasai oleh kota, keuntungan dari peningkatan produksi beras itu lebih dinikmati oleh kota daripada oleh desa.
Pembangunan perkebunan, misalnya teh, karet dan kelapa sawit, juga membawa keuntungan pada desa. Tetapi keuntungan itu adalah marjinal. Misalnya, upah pemetik teh dan penyadap karet. Yang menikmati keuntungan besar dari perkebunan adalah kota. Hal yang serupa terdapat pada petani sayuran dan peternakan sapi. Yang menentukan harga sayuran dan sapi adalah kota. Tidak jarang petani kol dan tomat harus gigit jari karena harga komoditi itu merosot dengan drastis. NTT dan Gunung Kidul sebagai pemasok sapi sembelih tetap melarat. Pedagang sapi kotalah yang mendapat keuntungan besar.

Demikian pula pada industri kehutanan. Misalnya, penduduk daerah hutan jati di Jawa. sangatlah melarat. Di luar Jawa penduduk hutan yang dibalak hidupnya juga sangat miskin. Padahal hutan setiap tahunnya menghasilkan devisa bermilyar dolar.     


Pembangunan waduk

Inisiatif pembangunan sebuah bendungan dan waduk bermula pada orang kota. Inisiatif itu bersumber pada data meteorologi yang dia dapatkan dari stasiun meteorologi yang dibangunnya di DAS sungai yang akan dibendung dan data dari peta topografi. Nampaklah, pembangunan stasiun meteorologi dan pembuatan peta bertujuan untuk memperbesar arus informasi dari daerah pedesaan ke kota. Arus informasi sebaliknya,  yaitu dari kota ke desa tidak besar. Arus yang kecil itupun tidak banyak dapat dimanfaatkan oleh penduduk desa.

Tujuan pembangunan bendungan dan waduk ialah untuk mendapatkan air irigasi, listrik dan pencegahan banjir. Air irigasi itu dipergunakan untuk meningkatkan produksi beras untuk mencukupi kebutuhan materi, yaitu pangan, terutama penduduk kota. Demikian pula pembangkitan listrik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi kota. Pencegahan banjir juga untuk penduduk di hilir bendungan. Penduduk desa di daerah bendungan tidak atau sedikit saja mendapatkan keuntungan dari proyek bendungan itu. Hanya sedikit saja listrik yang disalurkan ke desa di daerah bendungan. Tetapi mereka mendapatkan banyak kerugian, antara lain, tergenangnya pemukiman, sawah dan ladang. Banyak lapangan pekerjaan yang hilang. Penelitian di beberapa bendungan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan penduduk setempat malahan bertambah. Penduduk yang tergusur dan kehilangan pekerjaan oleh genangan waduk naik ke lereng gunung yang mengelilingi waduk tersebut sehingga meningkatkan tingkat erosi di DAS tersebut. Kesenjangan antara desa dan kota meningkat. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa penduduk setempat banyak yang menentang pembangunan bendungan di daerahnya.

Pembangunan irigasi memang meningkatkan produksi beras di daerah itu. Tetapi yang lebih beruntung adalah kota, seperti diuarikan di atas.

Iklan

Iklan adalah sejenis informasi yang bertujuan untuk memromosikan produk tertentu, misalnya sabun, shampoo serta penerbangan dan hotel. Yang menguasai arus informasi itu jelas kota, yaitu perusahaan-perusahaan besar. Anggaran belanja untuk iklan sangat besar. Teknologi periklanan sangat canggih dan terus berkembang sangat pesat dengan menggunakan ilmu komunikasi yang mutakhir yang mencakup psikologi dan antropologi. Penyebaran informasi yang termuat dalam iklan juga menggunakan teknologi yang mutakhir, baik media cetak, maupun media elektronik. Simak saja betapa luas dan dalamnya iklan telah merasuk ke dalam internet.

Teknologi periklanan memilih jenis informasi yang akan disebarkan, berapa banyaknya informasi dan waktunya penyebaran informasi. Jenis informasi untuk perempuan berbeda daripada untuk laki-laki dan pada waktu bulan puasa berbeda daripada informasi pada waktu menjelang natal. Anak-anak pun menjadi sasaran penyaluran informasi. Dengan teknologi periklanan yang canggih ini, iklan masuk ke pedesaan yang kecil dan terpencil, misalnya di pedalaman Kalimantan dan Papua. Bukanlah keanehan lagi ada orang desa di daerah pedalaman membeli sepeda motor, meskipun di daerah itu tidak ada jalan yang layak untuk dilalui motor. Juga ada penduduk desa yang membeli kulkas dan mesin jahit listrik, meskipun di daerah itu tak ada aliran listrik. Penduduk juga lebih banyak belanja rokok putih dan kosmetika. Iklan juga memengaruhi pola makan. Banyak anak yang makan mi instan tiga kali sehari. Bahkan telah terjadi bahwa di daerah pedesaan yang ada pembangunan, pendapatan penduduk meningkat, tetapi kurang gizi meningkat pula. Desa menjadi pasar untuk menjual produk kota. Walhasil materi dan energi dengan derasnya mengalir dari desa ke kota.


Pendidikan

Pendidikan sangat diperlukan untuk pembangunan. Namun pendidikan juga sejenis informasi yang mempunyai dampak memperbesar arus informasi, materi dan energi yang asimetris, yaitu memperbesar arus dari ekosistem yang lemah ke ekosistem yang kuat sehingga memperbesar kesenjangan antara keduanya. Ini nampak dengan jelas pada tingkat internasional: kesenjangan antara negara maju dan negara sedang berkembang makin besar, bukannya berkurang, meskipun bantuan pendidikan telah diberikan oleh negara maju kepada negara sedang berkembang. Sebagian dari dampak ini terjadi karena kesengajaan, sebagian lagi karena tidak kesengajaan.

Kita ambil contoh bantuan pendidikan tinggi. Pakar dari negara barat datang sebagai dosen dan peneliti serta membawa peralatan untuk mendukung pendidikannya. Dalam persetujuan bersama hanya ditentukan garis besar apa yang akan diajarkan dan apa yang akan diteliti untuk mendukung pendidikan itu. Misalnya, genetika molekuler. Detilnya ditentukan oleh pengajar asing yang datang. Yang diajarkan ialah fakta-fakta mutakhir. Tetapi ia tidak mengajar genetika sampai pada dasar-dasarnya untuk membangun kemampuan kita merunut cara gen bekerja dan membangun teori baru. Tidak pula untuk  membangun sarana dan prasarana yang akan memungkinkan kita untuk mencapai tingkat yang dapat bersaing dengan negaranya, misalnya dalam hal membuat jenis-jenis transgenik yang lebih unggul daripada yang mereka buat. Yang umum terjadi ialah para pakar asing itu mengumpulkan informasi tentang kekayaan genetik kita dan ekologinya dengan menggunakan tenaga akademik kita untuk membantu mereka. Mereka membuat publikasi-publikasi sebagai penulis utama dan mencantumkan nama-nama Indonesia sekedar sebagai pelengkap. Setelah mereka pulang dari Indonesia banyak di antara mereka yang menjadi gurubesar dalam bidang yang ia ajarkan di Indonesia atau menjadi pakar di industri. Arus informasi dari kita ke mereka lebih besar daripada dari mereka ke kita. Dengan informasi ini mereka mengembangkan produk-produk baru yang dijual ke kita. Arus materi dan energi dari kita ke mereka membesar sehingga arus dari kita ke mereka lebih besar daripada dari mereka ke kita. Apa yang terjadi ialah kita diajar untuk mendapatkan informasi, tetapi tidak untuk mencari, memilih dan mengolah informasi. Kita tidak diajar untuk menguasai arus informasi.

Akibat dari sistem ini ialah arah pendidikan dan penelitian kita tidak menentu. Kita sering hanya mengikuti perkembangan ilmu yang sedang trendi. Misalnya, dalam awal tahun 1970-an setelah OPEC melakukan embargo minyak ke negara-negara barat, negara barat menggiatkan penelitian tentang energi pengganti minyak, seperti angin dan matahari. Kita pun mengikuti trend ini. Semua universitas di Indonesia melakukan penelitian energi alternatif. Sejak awal tahun 1970-an isu lingkungan hidup meningkat. Kita pun mengikutinya. Semua universitas mendirikan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Walaupun isu lingkungan hidup memang penting, tetapi PPLH yang ada tidak jelas arahnya, melainkan mengikuti trend di luar negeri. Misalnya, suatu ketika mengikuti trend keanekaan ragam hayati. Lalu produksi bersih. Kemudian trend pengelolaan hutan berkelanjutan, dan seterusnya. Kita tak mandiri dan karena selalu mengikuti trend yang ada, secara internasional atau bahkan regional di Asia Tenggara, tak ada PPLH yang dapat memegang kepemimpinan dalam suatu bidang lingkungan hidup.  

Pengembangan pendidikan pada tingkat nasional serupa dengan apa yang terjadi pada tingkat internasional. Misalnya, kerja sama antara universitas di pusat dan di daerah tidak menghasilkan universitas daerah yang handal dan yang dapat bersaing dengan universitas pusat. Pendidikan secara umum juga demikian. Kota lebih maju daripada desa dan kesenjangan antara keduanya terus meningkat.

Sistem pendidikan kita terombing-ambing. Kurikulum berubah-rubah terus, bukan karena belajar dari pengalaman, melainkan karena mengikuti informasi yang didapatkan di luar negeri, tanpa dikaji dengan kritis apa maknanya bagi kita. Di sini pun karena kita pandai mendapatkan informsi, tetapi tidak pandai memilih, mengolah dan menguasai arus informasi. Kita lihat dengan jelas perbedaannya dengan Jepang, Korea dan Cina. Mereka berusaha untuk menguasai arus informasi dan dengan ini menguasai arus materi dan energi. Jepang telah setingkat dengan negara maju, baik ilmu dan teknologinya, maupun tingkat ekonominya. Dan Cina sedang menyusul. Bahkan Malaysia pun yang dulu meminta bantuan kita, sekarang telah lebih maju daripada kita.

Pendidikan di pedesaan juga sangat bias kota (urban biased). Sebuah akibat ialah ditirunya gaya hidup kota oleh desa. Misalnya, dana yang dikirim ke desa oleh para warga desa yang merantau ke kota bukannya digunakan untuk modal usaha, melainkan sebagian besar untuk keperluan konsumtif. Misalnya, membangun rumah mewah dengan gaya spanyol yang dilengkapi dengan kamarmandi dengan shower,  bathtub dan toalet duduk. Tetapi shower, bath tub dan toalet itu mubazir, karena tidak digunakan. Penduduk desa lebih suka mandi dengan gayung atau mandi di tempat mandi komunal dan buang air dengan jongkok di jumbleng.  


Sosialisasi kebijakan, rencana dan program

Keputusan tentang kebijakan, rencana dan program (KRP) di tentukan di kota, yaitu secara hirarki di pusat, kabupaten/kota dan desa, walaupun otonomi daerah sudah dilaksanakan. Desa praktis tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan KRP. Setelah diputuskan, KEP itu disosialisasikan. Sosialisasi  mengandung makna arus satu arah, yaitu dari pusat ke daerah. KRP yang ada jelas bias kota. Misalnya, kebijakan tentang pembangunan hutan. Kota telah beruntung, tetapi desa merugi, bahkan sampai pada titik yang membahayakan kelangsungan hidup desa itu. Risiko ini begitu parahnya sehingga kota pun telah terkena dampaknya. Misalnya, banjir di Bandung, Jakarta dan kota-kota lain.


Tantangan yang kita hadapi

Uraian di atas menunjukkan dilema yang kita hadapi. Untuk membangun desa perlu dibangun hubungan antara kota dan desa. Hubungan itu bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi kita tidak menyadari bahwa hubungan itu mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi pembangunan. Ini kita ketahui dan kita tekankan. Kedua, ialah fungsi eksploatasi. Ini tidak kita ketahui dan tidak kita sadari. Akibatnya fungsi ini kita abaikan. Akibat  selanjutnya ialah fungsi ini tidak terkendalikan. Walaupun ada desa yang mengalami kemajuan, tatapi karena laju pertumbuhannya lebih kecil daripada laju pertumbuhan kota, kesenjangan antara kota dan desa makin besar. Lebih parah lagi ada desa yang mundur karena pembangunan sehingga mengancam kelangsungan hidupnya.

Masalah ini hanya dapat diatasi apabila desa mempunyai kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan, rencana dan proyek, termasuk kebijakan tentang pendidikan. Desa tidak hanya menerima secara pasif sistem pendidikan yang akan diterapkan, melainkan mereka diberi kesempatan untuk ikut menentukan sistem pendidikan tersebut. Yang berarti harus ada demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Tetapi ini lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Sebab demokrasi dalam pengambilan keputusan memerlukan orang-orang yang mengetahui tentang permasalahannya. Walaupun sulit, namun bukanlah suatu kemustahilan. Banyak orang desa yang dari segi pendidikan formal dapat dikategorikan sebagai tak berpendidikan, tetapi dari segi pengalaman dan kearifan (wisdom) adalah terdidik.

Hal yang penting pula ialah agar pemerintah mengambil langkah preventif dengan melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) tentang kebijakan, rencana dan program sebelum diambil keputusan. Pada dasaenya KLHS ialah studi tentang dampak potensial KRP dan mengelola dampak tersebut. KLHS itu bertujuan untuk sedapat-dapatnya menghindari terjadinya eksploatasi desa oleh kota. Apabila KLHS menunjukkan bahwa KRP mempunyai sifat eksploatatif, KRP tersebut diamandemen atau dianulir.

Kata penutup

Makalah ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi akhir. Masalahnya sangatlah rumit. Tujuan makalah ini lebih untuk menyadarkan adanya dua fungsi dalam membangun hubungan kota dan desa. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi eksploatasi tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk mengendalikannya.

MENGELOLA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN



Oleh
Otto Soemarwoto

Kita mengtahui bahwa kerusakan lingkungan hidup kita makin berat. Tak banyak gunanya kita mengulang-ulang lagi kerusakan lingkungan hidup kita. Yang lebih penting ialah bagaimana mencari jalan keluarnya. Paling sedikit kita cari arah jalan keluar yang memberi kesempatan untuk lebih berhasil daripada sekarang.

Isu lingkungan hidup merebak sejak tahun 1960-an. Pada tahun 1972 PBB menyelenggarakan Konperensi tentang Ligkungan Hidup (UN Conference on the Human Environment) di Stokholm. Isunya ialah kerusakan lingkungan hidup. Pada tahap persiapan Konperensi Stokholm muncullah kritik dari negara dunia ke-3 bahwa kerusakan lingkungan hidup di dunia ini lebih disebabkan oleb kurangnya pembangunan (underdevelopment). Sebaliknya di negara maju lebih karena terlalu banyak pembangunan (overdevelopment). Karena itu masalah lingkungan hidup di dunia ke-3 harus diatasi oleh pembangunan. Pembangunan itu harus bersifat berwawasan lingkungan hidup yang pada waktu persiapan Konperensi Stokholm disebut eco-development.

Isu pembangunan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup terus bergulir. PBB membentuk sebuah badan yang disebut World Commission on Environment and  Development (WCED, Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembagnunan). Dalam tahun 1987 WCED membuat laporannya yang berjudul “Hari Depan Kita Bersama” (Our Common Future). Dalam laporan ini diangkat isu pembangunan berkelanjutan (PB)  (sustainable development) yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk mencapai tujuan ini disyaratkan pertama,  meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup dan kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Syarat kedua pada hakekatnya ialah ramah lingkungan hidup sosial-ekonomi budaya.

Isu PB bergulir makin kuat sehingga mendominasi percaturan politik, ekonomi dan ilmiah nasional dan internasional. Pada tahun 1992, tepat 20 tahun setelah Konperensi Stokholm, PBB menyelenggarakan Konperensi tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil. Pembangunan dinyatakan secara eksplisit pada nama konperensi tersebut. Namun lingkungan hidup adalah yang pertama dan pembangunan yang kedua. Konperensi ini dikenal juga sebagai KTT Bumi (Earth Summit) yang menunjukkan juga masih dominannya isu lingkungan hidup, yaitu untuk menyelamatkan Bumi. Ini nampak dari dua hasil utama, yaitu Konvensi tentang Perubahan Iklim dan Konvensi tentang Keanekaan Hayati. Namun ada juga hasil tentang pembangunan, yaitu Agenda 21 yang merupakan sebuah rencana kegiatan PB bagi seluruh dunia. Sebagai tindak lanjutnya masing-masing negara dianjurkan untuk menyusun Agenda 21 nasionalnya. Indonesia pun telah melakukannya.

Namun ternyata KTT Bumi dengan Agenda 21 PB-nya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Pada tahun 2002, 10 tahun setelah UNCED atau  Rio+10, PBB menindaklanjuti KTT Bumi dengan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di  Johannesburg, Afrika Selatan. Nama konperensi itu jelas-jelas menekankan pembangunan. Dalam KTT ini para peserta konperensi memperbarui komitmennya untuk melaksanakan PB.

Uraian singkat sejarah ini menunjukkan evolusi isu lingkungan hidup. Ia dimulai dengan isu lingkungan hidup saja yang nampak dari nama Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm. Isu pembangunan tidak terdapat dalam resolusi Majelis Umum PBB yang memutuskan diadakannya konperensi ini, melainkan isu itu baru muncul kemudian dalam tahap persiapan konperensi tersebut. Jadi sebagai gagasan yang menyusul (afterthought). Isu pembangunan makin menguat dengan diterbitkannya laporan WCED sehingga berkembang menjadi isu lingkungan hidup dan pembanguan yang tercermin dalam nama Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro. Akhirnya 30 tahun setelah Konperensi Stokholm diadakanlah KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg. Lingkungan hidup bukan isu utamanya, melainkan ia merupakan bagian pembangunan berkelanjutan, yang seperti disyaratkan oleh WCED pertama, harus meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup dan kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dengan PB taraf hidup masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang tidak merusak lingkungan hidup biofisik, maupun sosial-ekonomi budaya. Bahkan dengan PB kualitas lingkungan hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya akan diperbaiki dan ditingkatkan. PB digunakan untuk mengelola lingkungan hidup. 

Isu PB telah merebak di Indonesia sejak tahun 1980-an dan merupakan kebijakan pembangunan resmi pemerintah. Ini terlihat juga dengan disusunnya Agenda 21 nasional Indonesia. Namun terdapat dikhotomi pembangunan, yaitu yang tertera dalam Pelita yang sekarang berwujud Propenas dan Propeda serta yang disebut PB dalam Agenda 21. Pelita, Propenas dan Propeda dikelola oleh Bappenas dan Bappeda, sementara PB dikelola oleh Menteri LH. Pelita, Propenas dan  Propeda mendapatkan anggaran belanja dari APBN dan APBD. Tapi Menteri LH hanya mempunyai anggaran operasional untuk kementeriannya sendiri sehingga PB harus mencari dana sendiri. Misalnya, dari UNDP, UNEP dan Bank Dunia/GEF. Dana itu tidak mudah untuk mendapatkannya, jalur birokrasinya panjang dan besarnya dana biasanya tidak besar. Tidaklah mengherankan bahwa komitmen untuk melakukan PB di pusat dan di daerah tidaklah besar sehingga PB tersendat-sendat.

Sebab lain tersendat-sendatnya PB ialah tidak adanya tolok ukur untuk PB. Berbeda dengan tolok ukur pembangunan ekonomi yang dengan jelas dapat diukur dengan GNP. Karena hanya yang dapat diukurlah yang dilaksanakan, pembangunan ekonomi telah  dilaksanakan dengan gencar. Tetapi karena PB tidak dapat diukur, PB hanya bersifat retorik dan sloganisme belaka.

Jelas, kedua kendala di atas haruslah diatasi. Pertama, dikhotomi pembangunan haruslah dihapus. Propenas dan Propeda harus juga memenuhi syarat PB. Misalnya, pembangunan kehutanan yang tidak berkelanjutan, seperti kita lihat hingga sekarang, tak dapat dilanjutkan. Demikian pula pembangunan bendungan dan situ (waduk) yang mempersulit kehidupan dan memelaratkan penduduk setempat tidaklah sesuai dengan syarat PB,  seperti tertera dalam laporan WCED dan diuraikan di atas. Pembangunan demikian tidak dapat disetujui. Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh melakukan pembangunan kehutanan dan pembangunan bendungan. Boleh, tetapi rancangannya harus diubah dan menjadi ramah lingkungan hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya. Dengan penghapusan dikhotomi itu kita hanya mengenal satu jenis pembangunan, yaitu pembangunan nasional dan daerah yang berkelanjutan. Pembangunan nasional/daerah adalah kata bendanya, dan berkelanjutan adalah kata sifatnya.

Kedua, PB harus dapat diukur secara kuantitatif. Ukuran kuantitatif itu harus mencerminkan syarat ramah lingkungan hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya. Untuk ukuran kuantitatif itu kita gunakan kriteria pro-lingkungan hidup (biofisik), pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan. Pro-perempuan dimasukkan, karena perempuan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan kita. Mereka yang mengandung janin generasi yang akan datang. Jika kesehatannya tidak baik, dia akan mengalami keguguran atau janinnya tidak dapat tumbuh dengan normal. Setelah bayi lahir, dia menyusuinya. Jika air susunya tidak lancar, pertumbuhan bayi juga terganggu. Apalagi jika air susunya tercemar dengan bahan beracun, misalnya DDT. Perempuan pulalah yang memegang peranan penting dalam pendidikan anak-anak, terutama balita. Singkatnya, perempuanlah penentu hari depan bangsa.

Keempat kriteria itu kita gunakan sebagai pilar PB. Indeks keempat pilar itu kemudian dapat diolah menjadi satu indeks PB. Dengan empat pilar itu PB dapat memenuhi syarat seperti tertera dalam laporan WCED, yaitu pertama, meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup dan kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Jadi ramah lingkungan hidup biofisik, maupun ramah lingkungan hidup sosial-ekonomi budaya.

Metode pengukuran lingkungan hidup biofisik sudah kita ketahui dan banyak kita gunakan dalam studi AMDAL. Metode itu masih dapat diperbaiki dan disempurnakan. Pengukuran pro-rakyat miskin menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI). Pro-perempuan diukur dengan Indeks Pembangunan Jender (IPJ) atau Gender-related Development Index (GDI) dan Ukuran Pemberdayaan Jender (UPJ) atau Gender Empowerment Measure (GEM). Metode pengukuran IPM, IKM, IPJ dan UPJ telah dikembangkan oleh UNDP dan sudah digunakan secara internasional. Pro-lapangan pekerjaan diukur dengan menghitung banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta per periode tertentu. Indeks itu dapat dihitung dengan menggunakan data Biro Pusat Statistik (BPS). Tak perlu dilakukan usaha khusus untuk mengumpulkan data itu.

Dengan adanya ukuran kuantitatif yang dapat dihitung secara periodik, prestasi kerja PB  pemerintah dapat diukur. Pada tingkat daerah kita ukur prestasi PB gubernur, bupati dan walikota. Pada awal jabatan seorang pejabat dihitung indeks PB daerah yang bersangkutan. Kemudian kita tuntut agar pada laporan akhir jabatannya dihitung lagi indeks tersebut. Jika indeksnya naik, dia telah berhasil melakukan PB di daerahnya. Jika turun, dia telah gagal melakukan PB. Jika dia berhasil, masyarakat akan mendukungnya untuk dipilih kembali. Jika gagal, dia tidak akan mendapat dukungan untuk dipilih kembali. Mekanisme ini mendorong para pejabat untuk berkelakuan ramah lingkungan hidup baik biofisik, maupun sosial-ekomomi budaya. Pada prinsipnya cara ini juga dilakukan untuk para anggota DPR/DPRD. Anggota yang mendukung kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang pro-lingkungan hidup (biofisik), pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan akan kita dukung untuk dipilih lagi. Yang menentang, tidak kita dukung untuk dipilih lagi.

Sebagai contoh kita lihat Jawa Barat. Menurut data yang dipublikasi oleh BPS, Bappenas dan UNDP dalam tahun 2001, IPM-nya pada tahun 1999 ialah 64,6, IKM 26,9 (1998), IPJ 56,4, dan UPJ 47,7, dengan peringkat nasional berturut-turut, 15, 15, 17 dan 14. Kita bandingkan prestasi ini dengan sebuah propinsi yang lebih miskin daripada Jawa Barat, tetapi prestasinya mengagumkan, yaitu Yogyakarta. IPM-nya ialah 68,7, IKM 18,5 (1998), IPJ 66,4 dan UPJ 58,8, dengan peringkat nasional berturut-turut 2, 2, 1 dan 1. Bandung (IPM 66,6, peringkat 81) yang kita anggap lebih maju dari Yogyakarta jauh ketinggalan dari Yogyakarta (IPM 73,4, peringkat 2). Gunung Kidul, sebuah kabupaten yang amat miskin, mempunyai IPM 63,6 dengan peringkat nasional 165, lebih tinggi daripada Subang (IPM 63,1, peringkat 182), Majalengka (IPM 62,8, peringkat 192), Garut (IPM 61,7, peringkat 223), Cirebon (IPM 61,6, peringkat 227), Karawang (IPM 60,9, peringkat 237) dan Indramayu (IPM 56,5, peringkat 269). Jelas Subang, Majalengka, Garut, Cirebon, Karawang dan Indramayu jauh lebih subur daripada Gunung Kidul. Kok kalah dari Gunung Kidul. Sepantasnyalah kita warga Jawa Barat malu atas prestasi yang rendah ini. Jika gubernur, bupati dan walikota tidak dapat memperbaiki prestasinya, seyogyanyalah mereka tidak kita dukung untuk dipilih lagi.

Beberapa contoh PB menyusul. Pertama ialah kerusakan hutan yang sedang kita tangani dengan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang beberapa waktu yang lalu telah diluncurkan oleh Pemda Jawa Barat (PR, 13/11/03). GRLK jelas menangani kerusakan hutan dengan reboasasi dan penghijauan, tapi tidak jelas program pembangunannya. Pengalaman sejak akhir tahun 1960-an menunjukkan, reboasasi dan penghijauan telah gagal, karena lahan kritis tidak kunjung habis, melainkan malah bertambah luas. Karena itu telah disarankan untuk mengubahnya, yaitu menggunakan dana reboasasi dan penghijauan untuk pembangunan daerah pedesaan sehingga rakyat dapat hidup layak tanpa mengganggu lagi hutan. Hutan yang tidak terganggu akan pulih dengan sendirinya secara alamiah. Proses pemulihan ini dapat berjalan cepat dan seiring dengan itu fungsi hidro-orologi juga dengan cepat pulih. Pembangunan itu bertujuan untuk menciptakan sumber pendapatan dan lapangan pekerjaan baru. Pembangunan itu didukung oleh pengembangan energi terperbarukan (renewable energy) biomassa, angin dan surya. Dengan pengembangan itu beban perempuan untuk mengumpulkan bahan bakar berkurang. Tungku hemat energi akan mengurangi pencemaran di dapur sehingga perempuan yang masak dan balita yang menyertai mereka di dapur juga berkurang penderitaanya. Salah satu jenis pembangunan yang mungkin ialah eko-wisata dengan hutan yang direhabiltasi sebagai daya tariknya. Dengan demikian rakyat didorong untuk menjaga hutan tersebut, karena menjadi sumber pendapatannya. Jelaslah, pembangunan itu memenuhi syarat PB pro-lingkungan hidup, pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan. Indeks PB berupa IPM, IKM, IPJ dan UPJ akan meningkat.

Di kota masalah besar yang dihadapi ialah PKL dan transpor. Sumber masalah PKL ialah kurangnya lapangan pekerjaan. Menggusur PKL dan memindahkannya tidak akan memecahkan masalah. Pengalaman kita menunjukkan, hasilnya hanya sementara saja. Penertiban itu berdalih karena kota menjadi kumuh dan pejalankaki terganggu karena trotoar disita oleh PKL. Tetapi mobil yang diparkir di trotoar tidak ditertibkan. Bahkan ada trotoar yang diubah menjadi tempat parkir. Tengok saja di Jalan Banda dan Jalan Martadinata. Akibatnya pejalankaki harus jalan di badan jalan, yang sudah barang tentu berbahaya. Karena sumber masalahnya adalah kurangnya lapangan pekerjaan, masalah itu hanya dapat diatasi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru. Jadi harus ada program pembangunan untuk menyalurkan para PKL ke kegiatan ekonomi baru yang bukan ke-PKL-an disertai dengan pendidikan dan latihan serta pengadaan kredit usaha. . Hasil pembangunan demikian berjangka panjang dan memenuhi syarat PB.

Transpor adalah masalah berat lain. Jumlah kendaraan bermotor terus bertambah dan laju pertumbuhan jumlah kendaraan lebih besar daripada pertumbuhan kapasitas jalan. Akibatnya kemacetan lalulintas makin parah. Pencemaran udara makin berat dan anggaran belanja untuk subsidi BBM juga makin tinggi. Perempuan mendapat dampak yang berat dari pencemaran udara. Timbal (Pb) yang terdapat dalam asap mobil terserap ke dalam tubuh dan ditimbun dalam tulang. Pada waktu perempuan hamil, timbal diremobilisasi dan masuk ke dalam peredaran darah dan ke dalam tubuh janin. Perkembangan sistem syaraf pusat janin, termasuk otaknya, terganggu. Sangatlah memilukan melihat polisi lalulintas perempuan yang bertugas mengatur lalulintas dalam asap tebal dari mobil. Seyogyanyalah pimpinan Polri mengambil tindakan untuk mencegah dampak negatif asap mobil pada polisi pada umumnya dan polsi perempuan pada khususnya.

Sumber masalahnya adalah pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan kapasitas jalan. Selama jumlah kendaraan tidak dibatasi, masalah kemacetan lalulintas tidak dapat terpecahkan dan bahkan makin parah. Karena itu harus dirumuskan kebijakan untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor di jalan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan kendaraan bermotor. Harus ada disinsentif untuk menggunakan kendaraan bermotor untuk jarak pendek, misalnya kurang dari 5 km, dan insentif untuk penggunaan sepeda dan berjalankaki dengan memperbaiki sistem trotoar dan membuat jalur sepeda sehingga berjalankaki dan bersepeda menjadi aman dan nyaman. Berjalankaki dan bersepeda adalah moda transpor yang murah dan sehat. Trotoar tidak hanya dibersihkan dari PKL, melainkan juga dari mobil yang diparkir di atasnya. Dengan memacu bersepeda akan tumbuh permintaan untuk sepeda. Tumbuhlah usaha untuk produksi suku cadang sepeda, perakitan sepeda dan perdagangan sepeda. Lapangan pekerjaan yang baru dapat digunakan untuk menyalurkan PKL dari pekerjaan ke-PKL-an. Dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor kebutuhan memperlebar jalan dan membuat jalan baru berkurang. Dana yang dihemat dapat digunakan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan. Juga mengurangi penebangan pohon. Sistem demikian bersifat PB karena berpihak pada lingkungan hidup, orang miskin, perempuan dan lapangan pekerjaan. Kendala utamanya ialah kendaraan bermotor membawa simbol status sosial yang tinggi. Sebaliknya berjalankaki dan bersepeda dianggap membawa status sosial yang rendah. Karena itu harus ada tauladan dari pimpinan, yaitu menteri, gubernur, walikota dan bupati serta anggota DPR/DPRD. Mereka hendaknya menyadari bahwa dengan memberi tauladan mereka juga menyelamatkan anak dan cucunya dari pencemaran timbal dan zat karsinogenik dari asap mobil. Hendaknya mereka juga menyadari sebuah laporan WHO bahwa pencemaran di dalam mobil adalah lebih tinggi daripada di luar mobil. Jadi yang rajin mengantar-jemput anak dan cucunya ke sekolah adalah pula yang rajin meracuni anak dan cucunya dengan timbal dan zat karsinogen! Inikah ungkapan cinta kita pada anak dan cucu kita?  

Pre-Design Competition of Ngasem Market, Yogyakarta


First prize Awarded to PT Townland International for
Pre-Design Competition of Ngasem Market, Yogyakarta

The Winner
The first prize in the Pre-design Competition for the Ngasem Market Tourism Area has been awarded to PT Townland International for their entry: “New Ngasem Market: Gateway to Taman Sari”.  PT Townland International is the Indonesian subsidiary of Townland Consultants Limited, an international consultancy headquartered in Hong Kong providing professional project management, urban and regional planning, social development, development consultancy, urban design, landscape architecture and related services to Governments, Agencies and Private Sector Clients throughout Asia and the South Pacific.  The firm established a presence in Indonesia in 1996 and over the years, PT Townland International has established a strong track record in the Country on Projects ranging from Strategic Planning Studies, New Town Planning, Feasibility Studies, Master Planning, Urban Design and Landscape Architecture.

The Proposal
The objective of the Pre-design Competition was to create a new Market that would make a sustainable contribution to the recovery and protection of the Tamansari Cultural Reserve. The approach of Townland has been to come up with a comprehensive plan that will not only turn the new Ngasem Market into a new tourist destination, but at the same time ensure that the Market can develop into a thriving centre for the local community.  An appropriate mix of new functions is proposed and accommodated in purpose designed Market buildings with their own distinctive architectural flavour but clearly rooted in Javanese architectural history. Another important aspect of the proposal is the emphasis placed on the opportunities for Community Participation. To ensure that the New Ngasem Market design will be a sustainable and practical solution that will be maintained and cared for in the long term, Townland has advocated consulting the vendors and shopkeepers in the planning and design process. 

The Challenges
To ensure the successful redevelopment of the Ngasem Market, Townland recognised that a number of important issues need to be dealt with. Firstly, the forthcoming relocation of the bird sellers from the existing Ngasem Market gives the Market an opportunity to reinvent itself, whilst at the same time poses a challenge as it means the loss of it’s major tourist attraction. Secondly there is a lack of visual and functional relationship between the Taman Sari Watercastle and the Market, which deprives it of any commercial gain from its famous neighbour. And thirdly, the poor condition of the Market itself and of supporting infrastructure and public facilities, the constant traffic congestion, and the lack of public space for pedestrians currently deter a large number of potential visitors to the Market.

The Solution
To overcome the Market's lack of image, Townland recognised that it should position itself as the new Arts and Crafts Market of Yogyakarta. The new Market would not only display souvenirs but also crafts made by local woodcarvers and batik craftswomen, who would have the opportunity to develop their wares at the shops located in the Market.  This would substantially add to the appeal of the Market. Townland also recognised that diversification of the Market with additional facilities, such as small bars and restaurants, would prolong the visit of tourists into the early evening. A new Mosque and a special community centre building are also proposed, ensuring that the Ngasem Market can develop into a socially vibrant focus point in this part of Kraton.

The Ngasem Market has been designed to become the new “Gateway to Tamansari” through the creation of a clear, distinctive entrance to the Market.  A strong architectural design concept has been proposed for the Market buildings and public spaces which reconfirms the site’s history as part of the Tamansari Watercastle. Clear signage within the Market and in the kampong is designed to lead the way for visitors to combine a visit to the Tamansari with the Ngasem Market.

The Design Philosophy
Specific areas within the Ngasem Market have been designed to resemble the degree of privacy that can be found in a traditional Javanese House. The further a person gets inside a building / the Market, the higher the degree of privacy is afforded. The highest degree of privacy is established at the Community Centre and the Mosque, with the enclosed form of the square forming a psychological barrier from the rest of the Market.

The architecture of the building types that will be introduced, including the Mosque, the Community Centre, the Arts & Crafts building, the Foodcourt and the Traditional Market building, also resemble a Traditional Javanese building concept.

Community Participation
Townland recognised that the success of the new Ngasem Market as a key attraction to the Tamansari area, depends to a large extent on the co-operation of and use of the skills of the local market and shop vendors, artisans and residents involved. The redevelopment of the Ngasem Market therefore places a strong emphasis on the participation of the Ngasem Market vendors and local kampong representatives. It is proposed that shopkeepers are given the opportunity to choose the size of their shops, their preferred shop facade and signage from a range of pre-determined designs.  The participation process allows the local community to participate in the planning and masterplan design process thereby ensuring that they are able to identify with the plans and commit themselves to a successful outcome. 

 
LOMBA PRA-RANCANGAN KAWASAN WISATA PASAR NGASEM YOGYAKARTA

Pemenang

Pemenang pertama dalam Lomba Pra-rancangan Kawasan Wisata Pasar Ngasem Yogyakarta diberikan kepada P.T. Townland International dengan karya yang berjudul: “Pasar Ngasem: Gerbangnya Tamansari”. P.T. Townland International adalah kantor cabang Indonesia dari Townland Consultants Limited, sebuah konsultan internasional yang berkantor pusat di Hongkong, yang menyediakan jasa manajemen proyek secara profesional, perencanaan perkotaan dan wilayah, pembangunan social, konsultasi pembangunan, desain urban, arsitektur lansekap dan jasa-jasa lainnya kepada pihak Pemerintah, Badan Organisasi maupun Sektor Swasta di Asia dan Pasifik Selatan. Perusahaan membuka kantor cabangnya di Indonesia pada tahun 1996 dan sampai saat ini P.T. Townland International telah memiliki pengalaman pekerjaan yang kuat di negeri ini, dari Studi Perencanaan Strategis, Perencanaan Kota Baru, Studi Kelaikan, Master Planning sampai Desain Urban dan Arsitektur Lansekap.

Proposal

Tujuan dari lomba pra-rancangan ini adalah untuk menciptakan sebuah pasar yang baru yang memberikan konstribusi secara berkelanjutan (sustainabilitas) terhadap pemulihan dan perlindungan Kawasan Cagar Budaya Tamansari. Pendekatan yang diajukan oleh Townland adalah menghasilkan sebuah rencana yang komprehensif yang tidak hanya membuat Pasar Ngasem menjadi sebuah tempat tujuan turis, tetapi pada saat yang bersamaan juga membuat pasar tersebut menjadi pusat yang hidup dan berkembang bagi masyarakat setempat. Suatu campuran fungsi-fungsi baru diperkenalkan dan diakomodasikan dalam bentukan arsitektural yang khas, yang masih jelas keterkaitannya dengan sejarah arsitektur Jawa. Sebuah aspek penting lainnya dari proposal ini adalah penekanan pada peluang terciptanya Partisipasi Masyarakat (Community Participation). Untuk menjamin bahwa desain Pasar Ngasem dapat bertahan dan pemecahan terhadap masalah-masalah lokal dapat terlaksana dan terjamin dalam jangka waktu panjang, Townland mengusulkan untuk melibatkan penyewa dan pedagang pasar dalam proses perencanaan dan desainnya.

Tantangan

Untuk mendapatkan hasil pembangunan kembali Pasar Ngasem yang memuaskan, Townland telah mengidentifikasi sejumlah masalah yang harus dicari jawabannya. Hal pertama yang menyangkut pada relokasi pedagang burung pada Pasar Ngasem lama, yang akan memberikan kesempatan pada reorganisasi pasar, akan tetapi lebih-lebih memberikan tantangan terhadap hilangnya salah satu daya tarik wisata di lokasi ini. Hal kedua adalah tidak adanya keterjalinan secara visual maupun fungsional dengan Tamansari, yang membuat Pasar Ngasem tidak mendapatkan imbas komersial dari ketenaran objek wisata ini. Dan ketiga, adalah kondisi bangunan pasar yang buruk, kemacetan yang kerap terjadi di depan pasar dan kurangnya ruang publik bagi pejalan kaki, membuat turis enggan mengunjunginya.

Pemecahan Masalah

Untuk mengatasi ketidakpopulerannya, Townland mengusulkan bahwa Pasar Ngasem secara bertahap harus memposisikan dirinya sebagai Pasar Seni dan Kerajinan di Yogyakarta. Di pasar baru ini tidak hanya memajang berbagai cinderamata, tetapi juga seni kerajinan yang langsung dibuat pengukir atau pembatik di tokonya di dalam pasar. Hal ini akan semakin menambah daya tarik pasar. Townland juga mengusulkan untuk penambahan berbagai fungsi tambahan, seperti café kecil dan restoran, yang akan memperpanjang jam kunjungan turis sampai larut malam. Mesjid Ngasem yang baru dan kompleks Paguyuban Warga juga diajukan pembangunannya, yang diharapkan menjadikan Pasar Ngasem yang baru dapat berkembang menjadi pusat kegiatan masyarakat yang hidup di area Keraton ini.

Pasar Ngasem didesain menjadi “Gerbangnya Tamansari” yang baru, dengan menciptakan sebuah gerbang pintu masuk yang jelas dan unik ke pasar. Sebuah desain arsitektural dan ruang-ruang publik yang kuat diajukan, yang mengingatkan kembali pada akar kesejarahan dari tapak tersebut sebagai bagian dari Tamansari. Papan penunjuk arah diletakkan di dalam pasar dan di kampung yang menunjukkan arah bagi pengunjung untuk menggabungkan kunjungan mereka ke Tamansari dengan Pasar Ngasem.

Filosofi Desain

Area-area yang spesifik di Pasar Ngasem didesain untuk memiliki derajat keprivasian yang dapat ditemukan pada konsep Rumah Jawa. Semakin jauh seseorang masuk ke dalam bangunan/pasar, semakin tinggi tingkat privasinya. Tingkat privasi yang tertinggi adalah pada area Paguyuban Warga dan Mesjid; di mana kompleks ini memiliki komposisi massa bangunan yang “tertutup” yang membentuk barier psikologis dari keseluruhan area di pasar.

Tipe arsitektur bangunan yang diperkenalkan, seperti Mesjid, Paguyuban Warga, Pasar Seni & Kerajinan, Pujasera dan Pasar Tradisional,  merefleksikan konsep bangunan tradisional Jawa.

Partisipasi Masyarakat.
Townland menekankan bahwa sukses Pasar Ngasem yang baru sebagai salah satu area atraksi untuk kawasan Tamansari, sebagian besar tergantung pada pola kemitraan dan keterlibatan keahlian-keahlian setempat dari penghuni dan pedagang pasar, seniman, pengrajin dan masyarakat di sekitar pasar itu sendiri. Pembangunan kembali Pasar Ngasem harus menekankan pada partisipasi dari seluruh pedagang dan penduduk di sekitar pasar. Diusulkan di sini bahwa para penyewa kios/los pasar dapat memilih sendiri ukuran kios yang hendak disewa, serta menentukan sendiri desain tampak depan kios dan papan namanya. Pola partisipasi ini akan memberikan ruang bagi masyarakat setempat untuk terlibat sejak proses perencanaan dan perancangan Master Plan, sehingga mereka mengerti dan mengikatkan diri untuk mencapai hasil yang terbaik.

For further information, please contact:
Mr Richard Durack/Mr Doni Priambodo
PT Townland International
Gedung Jiwasraya Gondangdia 1/F
Jl. R.P. Soeroso 41 - Menteng
Jakarta Pusat, 10350 - Indonesia
Tel: (021) 392 9033
Fax: (021) 392 9035
Web: www.townland.com