Oleh Yulyanto Wibowo (114080066)
Kelas A UPN Veteran Yogyakarta
Penataan dan Revitalisasi Kawasan
Kita
sudah ketahui kawasan Malioboro merupakan sentral ekonomi di kota jogja, juga
menjadi kawasan wisata budaya. Kawasan ini meliputi Stasiun Tugu dan disekitar
jalan A. Yani, permasalahan-permasalahan yang selalu muncul adalah
transportasi. Transportasi di perkotaan sangatlah semrawutan, meskipun ada
upaya untuk menatanya ; keragaman aktifitas di Malioboro juga sangat banyak
serta bermacam jenis angkutan transportasi menjadi satu dalam satu wilayah.
Dalam kesehariannya di jalan
Malioboro sangat sibuk dengan aktifitasnya hingga kawasan ini menjadi padat,
terutama pada ruas-ruas jalannya, setidaknya harus membuat tempat untuk jalur
penyeberangan serta jalur lambat yang berada di samping jalan tidak digunakan
untuk tempat parkir kendaraan, begitu juga dengan trotoarnya yang berfungsi
sebagai ruang pejalan kaki digunakan untuk berjualan.
Pola pemanfaatan ruang yaitu bentuk
pemanfaatan ruang yang menggambarkan
ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia dan kegiatan alam. Dalam memanfaatkan ruang di kawasan
malioboro dan sekitarnya sebaiknya jika di sepanjang jalan Malioboro tidak
dapat digunakan, maka gunakan jalan-jalan kecil disekitar Kawasan Malioboro dan
tempat-tempat kosong seperti tanah lapang yang bisa dijadikan areal parkir
kendaraan bermotor, walaupun dengan artian pengunjung harus jalan kaki ke jalan
malioboro, Namun bisa memanfaatkan fasilitas lainnya seperti becak untuk sampai
ke jalan Malioboro, dengan cara tersebut maka kita juga membantu perekonomian
masyarakat.
Bahkan jika perlu diberlakukannya
waktu untuk kendaraan melintasi area jalan Malioboro, misalnya dari pukul 06.00
– 15.00 kendaraan bermotor tidak boleh melintasi area jalan Malioboro, kecuali
sepeda dan becak. Ditambah pula memperbaiki area pejalan kaki agar pengunjung
leluasa berjalan bahkan di tengah jalan Malioboro jika kendaraan sudah tidak
boleh melintasi kawasan tersebut.
Tentunya perlu pengawasan dan
penyuluhan kepada masyarakat untuk rencana ini, bukan berarti tidak boleh
melintasi dengan kendaraan bermotor, tetapi jalan bisa dialihkan ke jalur lain
yang terdekat/melewati kawasan Malioboro seperti jalan Senopati, jl pasar
kembang, jl KHA Dahlan, jl Mataram, dll yang berada di dekat kawasan jl
Malioboro. Sangat sulit pula mengubah pola hidup masyarakat dan kebiasaannya,
namun dengan kemauan dan kerja keras maka sedikit-demi sedikit akan
terealisaikan.
Selain
masalah parkir , bangunan-bangunan dan masalah lingkungan pun harus dibenahi
yang berada di kawasan Malioboro. Seperti bangunan yang saling berdempetan,
pemanfaatan ruang di sepanjang lorong yang salah, Dampak aktivitas kawasan yang
belum tertata dengan baik, sampah meskipun sudah ada upaya penanganan, tetapi
tidak selekasnya di tuntaskan (sampah masih menggunung), perlu ada
sistem-mekanisme penanganan yang lebih baik.
Cara
– cara diatas merupakan cara yang mudah dilakukan namun sulit dalam
Implementasinya secara nyata. Jika kita hanya berfikir tentang konsep
pengembangan wilayah tanpa memikirkan dampak social, ekonomi, dan budaya
masyarakat, maka tidak akan ada yang berhasil. Dalam hal ini kita perlu melihat
banyak aspek, kita perlu mensosialisasikan terlebih dahulu konsep yang kita
buat dengan pendapat masyarakat sehingga menemukan kesepakatan bersama yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Sudah menjadi cerita lama bahwa isu
penataan ruang kawasan bisa dipastikan selalu menuai badai konflik. Terlebih lagi ketika ruang tersebut
adalah pusat kota, pusat kegiatan, pusat perekonomian, dan juga kawasan pusaka
(heritage), seperti halnya kawasan Malioboro dan inner city
Yogyakarta. Dalam dokumen Implementasi Agenda 21 Pembangunan Lingkungan Hidup
Berkelanjutan D.I. Yogyakarta pun dinyatakan bahwa kawasan-kawasan itu memiliki
beban sekaligus potensi psikologis sebagai penentu pariwisata Yogyakarta.
Selain padatnya kegiatan yang dikandungnya, kawasan tersebut juga memiliki
kekayaan arsitektur yang sangat tinggi, mulai dari arsitektur tradisonal, Cina,
dan Eropa yang menuntut konservasi dan revitalisasi dalam pengembangannya.
Terkadang
dalam pengembangan, penataan, dan revitalisasi kawasan selalu mendapatkan suatu
pro dan kontra, tentunya di kalangan masyarakat yang memiliki perbedaan faham. Pendapat
pro tentunya dari kalangan pengusaha dan pemerintah, pendapat pro lainnya
muncul dari sisi kepentingan ekonomi, Namun, pendapat kontra pun tak kalah
banyak. Mulai dari kontra dari sisi budaya yang menggarisbawahi makna spiritual
kultural kawasan Kraton Yogyakarta yang dikhawatirkan akan rusak dengan adanya
proyek tersebut. Kontra yang lain muncul dari sisi tata guna lahan, ketika
memandang sebenarnya masih banyak ruang lain yang belum optimal digunakan.
Pandangan
kontra lain muncul dari kalangan pelestari pusaka (heritage).
Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat kontra dari sisi spiritual
kultural. Namun, di sini lebih ditekankan pada aspek konservasi dan
revitalisasi kawasan pusaka yang komitmennya sudah dinyatakan oleh pemerintah
daerah sendiri dalam Peraturan Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun
2005 tentang Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya (Perda KCB-BCB),
merujuk pula pada Peraturan Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1992
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta (Perda RTRW).
Ketika
rencana pengembangan sub kawasan Stasiun Tugu menyeruak, potensi konflik masih
cukup besar. Ada banyak pihak yang memiliki kepentingan di dalam kawasan itu
pada khususnya. Hal yang dipermasalahkan pun tidak jauh berbeda, yaitu mengenai
komitmen penataan kawasan dan peningkatan ekonomi sektor riil dikaitkan dengan
komitmen pelestarian pusaka kota. Dalam Program Implementasi Agenda 21
Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan D.I. Yogyakarta disebutkan bahwa
akan ada dua fokus kegiatan yang terkait, yaitu pengembangan kawasan Malioboro
sebagai pusat kegiatan utama kota dan kawasan inner city sebagai pusat
kegiatan penopang kawasan utama kota (Malioboro). Cita-citanya, kegiatan ini
sendiri bisa dikaitkan dengan program ekowisata, yang mengarah kepada
pelestarian lingkungan alam dan budaya dengan tetap mampu memberikan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar objek wisata.
Pemanfaatan
media yang ada secara optimal bisa menjadi salah satu strategi utama untuk
mengubah pola pikir masyarakat tersebut. Peran sekolah dan forum-forum
masyarakat pun akan cukup vital untuk menyebarluaskan gagasan kemajuan berbasis
budaya ini. Dalam hal ini pemahaman atas relevansi budaya lokal dalam mencapai
kemajuan memang diupayakan harus sama. Namun, hal itu tetap tidak bisa
terhindarkan dari perbedaan kepentingan ketika proses pembangunan berlangsung. Perbedaan kepentingan tidak bisa dihindari
karena memang ada banyak pihak yang berkepentingan.
Daftar
Pustaka