KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Selasa, 16 April 2019

Revitalisasi Bekas Pertambangan Batu Kapur Menjadi Tempat Wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK)


Pada awalnya Garuda Wisnu Kencana merupakan pegunungan kapur yang di tambang liar. Sehingga muncul ide untuk membuat patung oleh Dirjen Pariwisata saat itu, Loop Ave. Bali merupakan ikon wisata dan penyumbang devisa negara yang besar seharusnya memiliki ikon yang dapat menarik wisata. Sehingga mereka menggagas untuk membuat patung pada tahun 1989. Pada tahun 1990 mulai pembangunan patung GWK di atas lahan 67 hektar
Tahun 1993 Presiden Soeharto memberikan izin untuk pembangunan GWK. Berbagai kendala dihadapi dalam pembangunan ini salah satu factor terbesarnya karena kekurangan modal yang banyak dan ada protes dari kalangan aktivis keagamaan disana.



Pada 7 Juli 1993, 12 orang anggota delegasi Senat Mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar mendatangi DPRD Bali untuk mempertanyakan agenda tersebut.
Di hadapan komisi C DPRD Bali, mereka menyampaikan sejumlah pokok pikiran yang salah satunya adalah
- Dana pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana sebesar 80 miliar sebaiknya dimanfaatkan untuk pembangunan bidang lain di sektor pariwisata atau untuk pengentasan kemiskinan.
Bali memiliki Perda tata ruang yang menetapkan tinggi bangunan tidak melebihi pohon kelapa (15 meter).
Mereka mengkhawatirkan patung tersebut berdampak negatif bagi umat Hindu Bali yang rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah. Mereka menekankan bahwa karena patung tersebut juga menjadi simbol dalam peribadatan Hindu, dikhawatirkan ada kalangan yang akan mendewakannya.

Karena berbagai krisis yang menghadang, Nyoman Nuarta sebagai pemiliki 80 persen saham kemudian menjual GWK kepada PT Alam Sutra Realty Tbk. Sementara Nyoman Nuarta hanya berkewajiban menyelesaikan pembangunan patung.
Tahun 2013 dilakukan ground breaking ulang dengan memindahkan lokasi patung dari tempat semula.


Sejumlah saran dan pertanyaan dari para mahasiswa tak menggoyahkan rencana para penggagasnya. Pada 1994, Joop Ave, I Nyoman Nuarta, Ida Bagus Oka, dan Ida Bagus Sudjana menghadap Presiden Soeharto untuk mempresentasikan gagasan tersebut.
Soeharto menyetujuinya dan setahun kemudian mulai mengolah lahan Bukit Ungasan yang merupakan bukit kapur sebagai land art. Tiga tahun setelah disetujui Soeharto, dilakukan upacara penanaman batu merah bergambar “perlambang suci” sebagai tanda dimulainya proyek pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana


PERDA TINGKAT I BALI TENTANG RENCANA UMUM TATA RUANG TINGAT I BALI NO 6 TAHUN 1989 PASAL 13
Ayat (5) : peruntukan ruang untuk pengembangan Pariwisata dilakukan dengan memperhatikan azas konservasi tanah, air dan udara serta sesuai dengan potensi setempat, baik fisik maupun sosial budaya yang mempunyai ciri-ciri menarik dan dapat dimanfaatkan untuk pariwisata dengan tetap berpedoman pada : PARIWISATA UNTUK BALI bukan BALI UNTUK PARIWISATA


BAB III tentang OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA PERDA PROVINSI BALI NO 3 TAHUN 1989 Pasal 4 :
(1)Obyek dan daya tarik wisata, sepanjang tidak menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Pemerinta h D a e ra h Tingka t II dite ta pka n de nga n Keputusan Gubernur Kepala Daerah.
(2)Dalam menetapkan obyek dan daya tarik wisatadimaksud ayat (1) Gubernur Kepala Daerah mendengar dan memperhatikan pendapatan dan pertimbangan Bupati/Walikota Madya Kepala Dae-rah dan pihak-p iha k lain yang bersangkuta n dengan obyek tersebut.Pembangunan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatika n :
a. kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya ;
b. nilai-nilai agama, adat istiadat serta pandangan dan nilai-nilai yang hidupdalam masyarakat;
c- kelestarian budaya dan mutu lingkunga n hidup ;
d. kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri

Pasal 16
(1) Bangunan-bangunan sarana kepariwisataan di-bangun dengan arsitektur gaya Bali atau sekurang-kurangnya diperindah dengan menonjolkan ciri-ciri seni budaya Daerah dalam tata ruang dan komponen-komponennya.
(2) Bangunan-bangunan lain yang ada di sekitar sarana kepariwisataan dan tempat-tempat lain yang s tra te gis diupa ya ka n untuk me ngguna ka n arsitektur gaya Bali.


Berdasarkan PERDA PROVINSI BALI NO 3 TAHUN 1989 Pasal 3
Penyelenggaraan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pasal 2 bertujuan untuk :
a. memperkenalkan , mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan dayatarik wisata ;
b. memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa ;
c. memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja
d. meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka pening ka ta n kesejahteraa n dan kemakmura nra kya t;
e. mendorong pedayagunaan produksi daerah dalam rangka peningka tan produks i nasiona l;
f. mempertahanka n norma-norma dan nilai-nila i kebudayaa n, agama dan keinda ha n alam Bali yang berwawasan lingkunga n hidup ;
g. mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulka n oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan


Tokoh – tokoh yang terlibat :
I Nyoman Nuarta
Joop Ave (alm)
Ida Bagus Oka (alm)
Ida Bagus Sidjana (alm)

Lokasi :

Garuda Wisnu Kencana tidak hanya didesain sebagai sebuah monumen patung yang dikunjungi orang banyak karena nilai simbolisnya seperti rencana awal. Melainkan kini juga dirancang dalam satu kompleks dan program yang menyeluruh sebagai objek wisata.

Pada awalnya Kawasan GWK ini adalah tempat lokasi tambang kapur. Kawasan ini diubah dengan menciptakan suatu Land Art berskala kolosal. Karya ini mencoba merefleksikan keberadaan kita sebagai manusia yang hanya merupakan suatu satuan kecil di tengah-tengah alam yang luas. Fokus utama  dari Kawasan GWK adalah monumen Garuda Wisnu Kencana yang berwujud Dewa Wisnu yang duduk diatas burung garuda yang akan menjadi sebuah ikon dunia dan landmark baru dibali.
Patung dan Garuda Wisnu Kencana dikelilingi oleh 240 hektar taman budaya yang pernah menjadi tambang batu kapur yang ditinggalkan dan tidak produktif. Pada saat ini patung dan Garuda Wisnu Kencana ditempati sementara oleh tiga plaza yang berbeda dalam Taman Budaya park. Tujuannya untuk terutama generasi muda tentang pentingnya melestarikan dan budidaya warisan budaya dunia.


Pada tahun 2012, telah mengakuisisi kepemilikan Kawasan GWK Cultural Park. Pihak PT Alam Sutera melakukan berbagai pembenahan guna mengembangkan GWK Cultural Park sebagai Kawasan wisata budaya terbaik diIndonesia dan membangun patung GWK secara komprehensif. Keseluruhan patung GWK menjulang tinggi hingga mencapai 121 meter diatas sebuah bangunan pedestal.Dengan bentang sayap mencapai 64 meter, ikon landmark termegah di Bali ini berdiri gagah di puncak bukit Ungasan dalam Kawasan GWK Cultural Park
Menurut gubernur Bali Wayan Koster saat beramah tamah dengan awak media, proses revitalisasi patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) diresmikan pada tanggal 22 September yang direncanakan oleh bapak Presiden untuk meresmikan monument GWK tersebut. Menurut Koster, selain akan meresmikan patung yang diprakasari oleh perupa Nyoman Nuarta tersebut, dalam kesempatan tersebut sekaligus memonitor persiapan pelaksanaan pertemuan IMF-World Bank. Koster menambahkan kepentingan pertemuan IMF World Bank itu berjalan dengan sukses karena selain mempertaruhkan nama baik Bali dan Indonesia, sekaligus memberikan dampak ekonomi yang besar.


Tahap Menjual kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) yaitu dengan penyediaan tmpat-tempat menarik yang bertujuan agar wisatawan tertarik untuk berkunjung, pada tempat wisata ini tidak hanya terdapat Patung GWK saja namun juga disediakan forum-forum kebudayaan.

Revitalisasi ini memiliki dampak posifit terhadap masyarakat sekitar, dengan adanya tempat wisata GWK dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, masyarakat dapat merasakan dampak positif tersebut bisa dengan berjualan makanan dan minuman untuk para wisatawan dan lainnya.

Pada tempat wisata Garuda Wisnu Kencana terdapat berbagai pertunjukan seni seperti: Tari Bali, Garuda Wisnu Balet, Balinese Parase, Joged Bungbung, dan Tari Kecak.

Selain menampilkan berbagai budaya bagi para wisatawan, Kawasan GWK juga menawarkan berbagai fasilitas termasuk tempat wisata kuliner dengan pemandangan spektakuler, water park yang menyenangkan dan perbelanjaan yang lengkap.

Kawasan GWK akan memiliki kawasan komersial, sebagai bentuk apresiasi Pengembang kepada masyarakat sekitar kawasan.

Untuk menjadikan kawasan ini berskala internasional, Pengembang juga akan memberikan pelatihan pelayanan pelanggan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya terutama bagi pedagang agar dapat memberikan pelayanan dengan standar internasional.


Melihat masalah-masalah yang timbul pada objek wisata GWK yang telah kami sebutkan sebelumnya bisa terlihat bagaimana kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan objek kepariwisataan dimana dalam UU kepariwistaan terdapat aturan tentang kewajiban pemerintah dalam kepariwisataan yang terdapat dalam pasal 23 UU Kepariwisataan. Dalam Pasal 23 ayat 1 huruf a yang berisi “Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan (a)”

Fakta yang terjadi di lapangan saat kami melakukan survey masalh-masalah yang terdapat dalam objek wisata GWK salah satunya adalah kurangnya informasi mengenai objek pariwisata GWK tersebut. Dimana seharusnya Pemerintah lah yang berkewajiban menyediakan segala macam informasi mengenai objek pariwisata tersebut.Yang kedua pasal  23 ayat 1 huruf a UU Kepariwisataan menytakan juga bahwa  pemerintah berkewajiban menjamin keamanan dan keselamatan kepada wisatawan dan terlihat kembali aturan tersebut belum dilakukan dengan baik diman penyedian fasilitas dalam objek pariwiasa GWK belum terjamin daan menjadi salah satu permasalahan dam objek pariwisata tersebut.

Pengelolaan GWK ini bisa kita lihat dari fungsinya yaitu :
Perwujudan odern sebuah tradisi kuno
Lokasi kunjungan spiritual
Tempat untuk berbagai kesempatan
Santap malam di bawah naungan bintang
Pengembangan kawasan Garuda Wisnu Kencana

Dalam proses pengembangan pengelola melakukan berbagai cara untuk dapat mencapai tujuan diantaranya dengan meningkatkan fasilitas yang ada di sekitar ikon Garuda Wisnu Kencana, menciptakan kemudahan akses untuk menuju lokasi, menjaga budaya setempat, meninkatkan sarana prasarana untuk berbelanja oleh2, juga mengembankan kuliner wisata, dan mengadakan even pertunjukan nasional maupun internasional.


Minggu, 07 April 2019

Seputar KLHS Kajian Lingkungan Hidup strategis



Seputar KLHS

       Tidak efektifnya AMDAL sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan selain karena pendekatan yang terlalu formalistik juga secara konseptual instrumen AMDAL lebih ditekankan pada tingkat proyek sehingga dianggap kurang strategis dalam menjalankan fungsi pengendalian dampak lingkungan.     
   
Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto

         Untuk mendukung dan meningkatkan efektivitas fungsi AMDAL, di kebanyakan negara maju dan beberapa negara berkembang telah diaplikasikan suatu instrumen baru dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Kajian Lingkungan Strategik (Strategic Environmental Assessment). 

         
Kajian lingkungan strategik (KLS) memiliki posisi strategis di dalam proses perencanaan karena merupakan sebuah proses pengambilan keputusan perencanaan suatu Penataan dan Revitalisasi Kawasan pada tahap awal. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. 

         Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas kebijakan, rencana atau program (KRP) memberi kesempatan untuk memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Webb dan Sigal, 1992; Partidario, 1996; Annandale dan Bailey, 1999). 


Daerah Reklamasi Kawasan Bekas Tambang
       Dengan kata lain, KLS bergerak di bagian hulu pengambilan keputusan, yaitu kebijakan dan program, sementara AMDAL pada bagian hilir, yaitu proyek. Dengan demikian, harus dikatakan bahwa pelaksanaan KLS tidak untuk menggantikan AMDAL melainkan mendukung untuk menunjukkan kemungkinan timbulnya dampak lingkungan yang tidak teridentifikasi oleh pelaksanaan AMDAL. Untuk memudahkan pemahaman kajian lingkungan strategik, terutama dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lingkungan yang telah dan sedang dilaksanakan, berikut ini adalah definisi KLS dan beberapa istilah yang ada hubungannya dengan KLS.

SEA is a systematic process for evaluating the environmental consequences of proposed policyplan, or program initiatives in order to ensure they are fully included and appropriately addressed at the earliest appropriate stage of decision-making on par with economic and social considerations” (Sadler dan Verheem, 1996).
       
      Dengan definisi tersebut di atas, KLS berbeda dari AMDAL karena terminologi proyek umumnya site specific dan seringkali melibatkan hanya satu kegiatan dan, oleh karenanya, tidak strategis. KLS juga berbeda dari Audit Lingkungan karena dalam konsep Audit Lingkungan tidak dilakukan prakiraan dampak akibat pelaksanaan KRP. 



Degradasi lingkungan akibat penambangan Batu Bara
       Dengan demikian, secara umum, KLS berbeda dari kebanyakan jenis instrumen kajian lingkungan yang tidak memprakirakan akan terjadinya dampak lingkungan akibat pelaksanaan KRP. Sedangkan definisi untuk istilah kebijakan, rencana, dan program meskipun bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, berikut ini adalah definisi ringkas yang akan digunakan untuk diskusi.

Kebijakan, Rencana dan Program
       Kajian lingkungan strategik (KLS) memiliki posisi strategis dalam proses perencanaan karena merupakan sebuah proses pengambilan keputusan perencanaan suatu proyek pada tahap awal. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas kebijakan, rencana atau program (KRP) memberi kesempatan untuk memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global. 

      Dengan kata lain, KLS bergerak di bagian hulu pengambilan keputusan, yaitu kebijakan, rencana atau program. Untuk memudahkan pemahaman kajian lingkungan strategik, terutama dalam kaitannya dengan identifikasi kebijakan, rencana atau program pembangunan yang telah dan/atau akan dilaksanakan, berikut ini adalah definisi untuk istilah kebijakan, rencana, dan program yang digunakan dalam laporan ini:


Policy is an inspiration and guidance for action; Plan is set of coordinated and timed objectives for implementing the policy; and Program is a group of projects in a particular area (Therivel, 1998).

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kebijakan adalah rumusan atau keputusan yang  bersifat umum dan memberi arahan bagi pelaksanaan kegiatan; rencana adalah satu atau beberapa sasaran yang terkoordinasi dan terjadwal untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan; dan program adalah kumpulan kegiatan/proyek di lokasi yang telah ditentukan. Tampak, adanya hirarki berdasarkan tingkat spesifikasinya dari yang bersifat umum (kebijakan) hingga lebih khusus (program). Untuk menunjukkan kejelasan pemakaian terminologi, keterkaitan, dan sekuens KRP dalam konsep KLS, berikut ini adalah ilustrasi dengan menggunakan topik transportasi seperti ditunjukkan oleh Annandale dan  Bailey (1999).

Degradasi lingkungan akibat penambangan Batu Bara


       Tampak, dalam ilustrasi tersebut bahwa pada tingkat kebijakan, kajian atau analisis diarahkan untuk menentukan pilihan (kebijakan) antara privatisasi (urusan diserahkan pihak swasta) dan katakanlah penguasaan oleh pemerintah termasuk argumentasi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Kajian lingkungan yang dilakukan pada tingkat kebijakan diharapkan akan memberi pertimbangan dampak lingkungan yang akan terjadi dengan pilihan kebijakan tertentu (dalam ilustrasi di atas adalah privatisasi sistem transportasi). Informasi dampak lingkungan tersebut diperlukan untuk pertimbangan tercapainya sistem transportasi berkelanjutan ketika formulasi rencana transportasi menentukan bentuk pengelolaan transportasi tertentu. 

       Pada tingkat perencanaan, fokus kajian adalah pada pengelolaan transportasi termasuk sistem pengaturan parkir yang diperlukan. Di sini yang dibicarakan adalah tindak lanjut dari kebijakan transportasi yang telah ditentukan sebelumnya dalam suatu policy cycle yang sekuensial sifatnya.   
Pemeliharaan fasilitas transportasi


       Sedangkan pada tingkat program, kegiatan lebih pada pengelompokan kegiatan revitalisasi konstruksi dan pemeliharaan fasilitas transportasi sebagai tindak lanjut dari bentuk pengelolaan transportasi yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk masing-masing tingkatan tersebut kajian lingkungan diterapkan dengan harapan selain mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak lingkungan dan memprakirakan besarnya dampak yang akan terjadi, kajian lingkungan juga dimaksudkan untuk menentukan apakah perubahan/modifikasi KRP perlu dilakukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan proyek-proyek transportasi serta aktivitasnya yang bersifat spesifik/lokal (site and project specific).

Identifikasi kebijakan, rencana atau 
program pembangunan

Prakiraan Dampak
     Prakiraan dampak meliputi penentuan besaran dan jenis dampak yang akan terjadi sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan, rencana atau program (KRP). Telah dikemukakan di muka bahwa kisaran dampak yang diakibatkan oleh sebuah KRP jauh lebih besar daripada dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas sebuah proyek karena  KRP umumnya mempengaruhi wilayah dan komponen lingkungan yang lebih besar.

Pemeliharaan fasilitas transportasi

     Salah satu sasaran utama KLS adalah evaluasi dampak kumulatif dan dampak tidak langsung, dimana kedua jenis dampak tersebut tidak terlalu mudah apabila dievaluasi dengan menggunakan analisis dampak lingkungan pada tingkat proyek (Therivel et al., 1992; Partidario, 1994). Prakiraan dampak seharusnya juga secara jelas dikaitkan dengan isu-isu kunci lingkungan hidup yang telah diidentifikasi pada tahap pelingkupan serta dikaitkan dengan kondisi lingkungan daerah yang akan menerima dampak. Tingkat kerincian analisis dampak yang diakibatkan oleh sebuah KRP (dalam studi KLS) umumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kerincian analisis dampak lingkungan sebuah proyek (ANDAL). Dalam banyak kasus, pemaparan dampak dalam studi KLS cukup ditunjukkan dengan indikator yang sederhana yaitu jenis dan tingkat dampak yang diprakirakan akan terjadi.
Dalam KLS, teknik prakiraan dampak yang lazim digunakan adalah satu atau kombinasi dari beberapa teknik prakiraan sebagai berikut:

1. Daftar isi yang menunjukkan apakah sebuah KRP akan menimbulkan dampak atau tidak, dan seringkali disertai dengan informasi jenis dampak (positif atau negatif) serta besaran dampak.
2.     Analisis dengan menggunakan skenario.
3.  Tumpang-tindih peta atau teknik sistem informasi geografi, a.l., menunjukkan lokasi atau wilayah yang diprakirakan akan menerima dampak sebuah KRP.
4. Berbagai indeks, indikator, dan/atau metode pembobotan, antara lain, indeks keberlanjutan habitat (Therivel and Partidario, 1996).
5.  Simulasi komputer, misalnya simulasi komputer pencemaran udara yang didasarkan pada asumsi jenis dan jumlah kendaraan, dan bahan bakar yang digunakan.
6.     Pendapat pakar.




   Prakiraan dampak dalam studi KLS, dalam banyak kasus, mempunyai tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Ketidakpastian tersebut umumnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: dalam bentuk apa dan sejauhmana KRP diwujudkan menjadi kegiatan dan proyek; status atau kondisi lingkungan yang akan terjadi (setelah kegiatan dan/atau proyek dilaksanakan); dampak yang ditimbulkan oleh KRP atau proyek lain yang tidak menjadi kajian; daya dukung lingkungan dan perubahan teknologi, politik, dan prioritas ekonomi di masa yang akan datang. Unsur ketidakpastian ini penting dicermati apabila diinginkan hasil prakiraan dampak lingkungan yang lebih akurat.

Kondisi Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto

Evaluasi Dampak Penting

     Evaluasi dampak dalam studi KLS pada prinsipnya adalah upaya menentukan besaran dan jenis dampak yang diprakirakan akan terjadi dan melakukan evaluasi untuk menentukan apakah dampak yang akan terjadi tersebut penting atau signifikan. Evaluasi dampak juga diarahkan untuk menentukan (melalui analisis) apakah dampak yang diprakirakan tersebut sudah selaras dengan sasaran atau tujuan yang telah ditentukan dalam KRP.


Alur pertimbangan dan kriteria dalam evaluasi dampak penting/signifikan dalam KLS Revita;isasi Kawasan

      Dalam banyak kasus, lokasi kegiatan yang tercantum dalam sebuah KRP, misalnya revitalisasi hutan lindung atau, Revitalisasi Taman Nasional dan/atau lokasi yang karena karakteristik alamnya ditetapkan sebagai warisan nasional atau internasional (national or international heritage) dapat dikategorikan sebagai lingkungan yang sensitif. 

       Demikian pula, untuk suatu kawasan bekas tambang, semakin banyak manusia tinggal di kawasan tersebut, maka tingkat sensitivitas lingkungan di tempat tersebut semakin tinggi. Tingkat sensitivitas lingkungan menjadi salah satu kriteria penting dalam menentukan tingkat penting atau tidaknya suatu dampak lingkungan.

Menjadi Danau di bekas tambang batu bara Sawahlunto


      Penentuan dampak penting/signifikan juga dapat didasarkan pada kriteria seperti regulasi dan pedoman, sasaran atau tujuan pelaksanaan KRP, isu-isu yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan dan/atau pembangunan berkelanjutan, pemerataan, dan pendapat masyarakat.  

      Cara yang dianggap cukup efektif untuk mengevaluasi dampak penting/signifikan dari pelaksanaan KRP adalah dengan melakukan perbandingan antara satu KRP terhadap KRP lainnya. Namun demikian, berdasarkan pengalaman, cara yang umum dilakukan dalam menentukan dampak penting adalah dengan menggunakan matriks dua pintu, satu pintu untuk menunjukkan alternatif-alternatif KRP, sedang pintu lainnya menunjukkan komponen-komponen lingkungan yang akan dikaji. Sel-sel dalam matriks tersebut selanjutnya diberi tanda yang menunjukkan kaitan, bobot dampak, dan informasi lainnya yang diperlukan dan menunjukkan keterkaitan antara KRP dan komponen-komponen lingkungan yang menjadi kajian.

Saat terjadi korban dampak ledakan batu bara Sawahlunto
        
     
        Langkah terakhir dalam studi KLS adalah menyiapkan mekanisme dan prosedur sistem pemantauan dampak sebagai konsekuensi dilaksanakannya KRP. Informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan harus dimanfaatkan sebagai umpan balik penyempurnaan KRP dan untuk menentukan sejauhmana pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, sistem pemantauan harus terkait dengan indikator-indikator lingkungan yang telah dirumuskan dalam penentuan sasaran atau tujuan dilakukannya studi KLS.


Pertimbangan Pembangunan Keberlanjutan
         
Telah dikemukakan bahwa salah satu kelemahan AMDAL adalah tidak mampu menunjukkan terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik pada tahap awal suatu rencana pembangunan. Oleh karena itu, identifikasi dampak lingkungan yang dilakukan sedini mungkin dapat dijadikan masukan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya dampak dengan cara mengubah atau menyiapkan cara penanggulangan dampak apabila tidak dapat dihindari. Dengan demikian, secara umum, keuntungan yang akan diperoleh dengan melaksanakan KLS adalah: (1) memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan, (2) meningkatkan efektivitas pelaksanaan AMDAL dan/atau pengelolaan lingkungan, dan (3) memungkinkan dilakukannya identifikasi terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif dan sinergistik, pada tahap awal proses pembangunan. KLS juga diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environmental effects).

Museum Kereta Api di Kawasan Tambang Batu Bara Sawahlunto

        Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KLS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang semata-mata diterapkan pada komponen-komponen KRP, tetapi yang lebih penting adalah sebagai suatu cara untuk meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan hidup telah dijadikan pertimbangan dalam setiap tingkatan pengambilan keputusan, dan dengan demikian, keberlanjutan pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey,  1999).

Lubang Mbah Soero

Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS)   kebijakan, rencana dan program sebelum diambil keputusan. Pada dasarnya KLHS ialah studi tentang dampak potensial KRP dan mengelola dampak tersebut. KLHS itu bertujuan untuk sedapat-dapatnya menghindari terjadinya eksploatasi desa oleh kota. Apabila KLHS menunjukkan bahwa KRP mempunyai sifat eksploatatif, KRP tersebut diamandemen atau dianulir.



Demikian sekilas KLHS.

Rabu, 03 April 2019

Pentingnya Penataan Revitalisasi Kawasan Bekas Pertambangan dan Kawasan Urban


BAB I
PENDAHULUAN

Kompetensi :
Bagaimana memahami visi dan misi dan strategi konservasi kawasan, mengetahui pentingnya penataan atau revitalisasi kawasan Bekas Pertambangan dan kawasan urban dalam pelaksanaan otonomi daerah, mengenal tahapan proses pengembangan konservasi kawasan, serta peranan dan manfaatnya dalam pembangunan kawasan.

A. Pengertian, Konsep, Visi, Misi Penataan dan Revitalisasi Kawasan

1. Latar Belakang

Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan; Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan;
Perubahan morfologi dan topografi lahan; Perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna; Penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul; Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi dan revitalisasi untuk dikelola agar local economi development meningkat serta lingkungan menjadi lestari.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara Pasal1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan   mineral  atau  batu  bara  yang  meliputi  penyelidikan  umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,  penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan) macam yaitu:

a) Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
b) Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
c) Operasiproduksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
d) Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
e) Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/ atau batubara dan mineral ikutannya.
f) Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
g) Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineraldan/atau batubara dari daerah tambang atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
h) Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.

Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:

a) Pertambangan mineral;dan
b) Pertambangan batubara.

Mineral adalah senyawaan organik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifatfisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, diluar panasbumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah dan Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batu bara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat d idalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

Mengingat usaha pertambangan adalah devisa yang sangat besar bagi negara, serta merupakan sektor sumber daya alam yang sangat vital untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Untuk  itu, suatu usaha pertambangan sudah seharusnya disertai dengan Revitalisasi Kawasan Bekas Pertambangan yang telah diperhitungkan secara matang serta sistem pengelolaan lingkungan hidup.

Bentuk Kerusakan Lahan:

a. penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
b. kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah.

“Reklamasi” adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.

Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar.
Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya.


Kegiatan eksploitasi



Hal-hal yang perlu diperhatikan pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/waste:
a. Luas dan kedalaman zona mineralisasi
b. Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan
    desain penempatan limbah batuan.
c. Kemungkinan sifat racun limbah batuan
d. Potensi terjadinya air asam tambang
e. Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan
    bahan kimia racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat
    pengaruh debu.
f. Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil.
g. Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.
h. Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Rehabilitasi Bekas Tambang


Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal.
Reklamasi juga bertujuan membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif.

Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
KEGIATAN PROSPEKSI


Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :

a. Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas
    tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian
    kembali
b. Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan,
    pengendalian erosi dan pengelolaan air
c. Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi
d. Karakteristik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat
    berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi
e. Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang,
f. Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara
g. Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi baik
    dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau waste.

Rekonstruksi Tanah Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk.

Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu.

Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi.

Kegiatan eksplorasi



Kegiatan eksplorasi



Revegetasi

a. Perbaikan kondisi tanah meliputi: perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan
    organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur.
b. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik (tekstur dan
    struktur tanah), kimia (reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity), dan
    biologi (penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial.
c. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk
    kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat,
    terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk
    tambang.
d. Dengan penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang
    tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan
    langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan
    penggunaan pupuk.
e. Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat
    ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya,
    perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus,
    pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam.

Penanganan Potensi Air Asam Tambang

a. Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah
    dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas.
b. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai
    bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas.
    Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya
    proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.         
c. Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk mencegah
    dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan
    keluaran air yang aman untuk dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat dilakukan dengan
    bahan penetral misalnya batugamping, yaitu air asam dialirkan melewati bahan penetral untuk
    menurunkan tingkat keasaman.

Pengaturan Drainase

a. Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek
    pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau
    jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya.
b. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim jangka panjang, curah hujan maksimum, serta
    banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang
    maupun pendek.
c. Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam, perlu
    pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk
    menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang.




KEGIATAN PROSPEKSI

Tataguna Lahan Pasca Tambang
a. Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tertgantung pada
    penetapan tata guna lahan wilayah tersebut.
b. Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan baru yang dapat dipergunakan untuk
    pengembangan pemukiman atau kota. Lahan bekas tambang bauksit sebagai salah satu contoh,
    telah diperuntukkan bagi pengembangan kota Tanjungpinang

Kegiatan utama pada lahan pasca tambang Reklamasi lahan yang dilakukan dengan mengurug kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang.           
Penataan dan Revitalisasi Kawasan lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tataruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung ataupun budidaya.           

Lahan pasca tambang memerlukan penanganan yang dapat menjamin perlindungan terhadap lingkungan, khsususnya potensi timbulnya air asam tambang, yaitu dengan mengupayakan batuan mengandung sulfida tidak terpapar pada udara bebas, serta mengatur drainase.       

Diupayakan agar tidak ada bahan tambang ekonomis yang masih tertinggal. Hal ini terutama bahan galian yang potensial mengundang masyarakat atau PETI untuk memanfaatkannya, sehingga akan mengganggu proses reklamasi, maka perlu disterilkan terlebih dahulu dengan menambang dan mengolahnya.

“Revitalisasi Kawasan” adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kawasan yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Menurut Prof. Danisworo, skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).

Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, reskontruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta berkelanjutan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan kawasan tertata, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu mekanisme yang jelas. Aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak fihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi.

Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah citra suatu kawasan.
Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kawasan, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kawasan

1. Pertambangan Mineral Meliputi :

a. Pertambangan Mineral Radioaktif
b. Pertambangan Mineral Logam
c. Pertambangan Mineral Bukan Logam
d. Pertambangan Batuan
2. Pertambangan Batubara

Dampak Pertambangan kepada Tanah

1. Penurunan produktivitas tanah, pemadatan  tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, drainase yang buruk.
2. Tanah memiliki karakteristik yang berhidrokarbon tinggi, zat meracun tinggi, kadar hara rendah, hancuran batuan, sifat fisika, kimia dan biologi yang jelek.
3. Tanah berlubang dengan ukuran yang besar dan sangat sulit untuk diperbaharui.
4. Pencemaran limbah menyebabkan tanah menjadi sulit untuk diolah.

1. Konsep Pengelolaan Pertambangan

Menyadari bahwa industri pertambangan adalah  industri  yang  akan  terus  berlangsung   sejalan  dengan  semakin meningkatnya peradaban manusia, maka  yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana mendorong industri pertambangan sebagai industri yang dapat memaksimalkan dampak positif dan menekan dampak negatif seminimal mungkin melalui konsep pengelolaan usaha pertambangan berwawasan jangka panjang. Berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman Sudrajat (2010), munculnya sejumlah persoalan yang mengiringi kegiatan usaha pertambangan di lapangan diantaranya:

Sudrajat (2010), menyatakan bahwa dalam menjalankan pengelolaan  dan pengusahaan bahan galian harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar (goodmining practice). Good mining practice meliputi:

a) Penetapan wilayah pertambangan,
b) Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,
c) Aspek perizinan,
d) Teknis penambangan,
e) Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
f) Lingkungan,
g) Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,
h) Pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan,
i) Rencana penutupan pasca tambang,
j) Standardisasi.


2. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan

Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Ketersediaan sumberdaya alam dalam meningkatkan pembangunan sanga tterbatas dan tidak merata, sedangkan permintaan sumberdaya alam terus meningkat, akibat peningkatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk.(Syahputra,2005)

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 78Tahun2010 tentang reklamasi dan pasca tambang prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan meliputi:

a. Perlindungan terhadap  kualitas   airpermukaan,air  tanah,   airlaut,   dan tanah serta udara
    berdasarkan   standar  baku  mutu  atau  criteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang- undangan;
b. Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
c. Penjaminan  terhadap  stabilitas  dan   keamanan timbunan batuan  penutup, kolam tailing, lahan
    bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;
d. Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
e. Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
f. Perlindungan    terhadap     kuantitas     air tanah  sesuai     dengan  ketentuan peraturan perundang-
    undangan.

Dengan Orientasi kebijakan lingkungan yang umum dikenal adalah orientasi kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (complianceoriented) dan yang berusaha melebihi  standar peraturan tersebut (beyondcompliance) diharapkan dapat memajukan pembangunan nasional seperti yang dicita-citakan

2. Konsep Penataan dan Revitalisasi Kawasan Bekas Pertambangan
Sebagai warisan sejarah, kekuatan penataan dan revitalisasi kawasan

Kawasan :
a. People And Buildings (Spiro Kostof)
b. Content (Man & Society) And Container (Shell,Network,Nature ) (Constantinos Doxiadis)
c. Place (Space With Human Value) And Space (Artefact Value) (R. Trancyk)
d. Pembangunan Kawasandan Sejarah Kawasan terbangun dalam proses sejarah meninggalkan warisan yang terseleksi sebagai puncak peradaban (Artefact dn Non Artefact)
e. (Elemen fisik 50 th ke atas merupakan indikasi suatu benda yang telah “menjadi kekuatan sejarah”, sebagai monumen : “sesuatu yang dihargai “, yang mempunyai kekuatan : citra, identitas/ciri )UU RI 5/1992, Benda Cagar Budaya


3.Visi, Misi  Konservasi dalam Revitalisasi Kawasan Bekas Pertambangan

a. VISI :
    Memanfaatkan warisan kekuatan masa lalu untuk masa sekarang dan masa depan
b. Misi :
    1). Memelihara warisan kekuatan masa lalu
    2). Meletakan konsep konservasi warisan kekuatan masa lalu dalam perspektip kebutuhan masa
         sekarang dan masa depan
    3). Merajut warisan kekuatan lama, sekarang dan masa depan
    4). Mengetahui konsep Pengelolaan Pertambangan
    5). Mengetahui kebijakan Pengelolaan Lingkungan.

4. Nilai Konservasi Suatu Monumen Sejarah
a. Nilai Monumental dan Evolusi Sejarahnya (le valeur monumental et l’evolution  historique)
b. Nilai rememorasi (la valeur de remémoration) :
    1). Nilai ketuaan (la valeur d’ancienneté).
    2). Nilai sejarah  (la valeur historique).
    3). Nilai remémorasi intensional (la valeur de remémoration intentionnelle).
c. Nilai-nilai pembaharuan (comtemporanéité).
    1). Nilai penggunaan (la valeur d’usage).
    2). Nilai seni (la valeur d’art).

5.Place
Place Adalah Suatu Tempat :
a. Ruang buatan manusia atau alam  yang telah tergores dan menyatu  dengan  hidupan  manusianya.
b. Place mewariskan identitas  budaya kehidupan yang    menciptakan kecirian yang tidak dapat
    diproduksi lagi.
c. Identitas sesuatu kekuatan ciri  hasil sejarah yang mempunyai vitalitas kehidupan yang “abadi“,
d. L’avenir Du Passé masa depan dari masa lalu.

6. Sejarah Kebudayaan Dalam Ruang (Historic Of Place)
    a. Jejak Aktivitas (Sejarah) masa lalu perkembangan kehidupan manusia (Man And Society)
    b. Menciptakan karya-karya  Artefact of  Man Made Space.
    c. Menentukan lokasi dan mengolahalam, menggores ruang site, yang akhirnya menciptakan
        ”P L A C E”.

7 Jenis Jenis Konservasi
   a. Preservasi: menjaga keadaan yang asli obyek dan menjaga dari kerusakan.
   b. Restorasi:mengembalikan obyek kebentuk aslinya dengan menghilangkan tambahan-tambahan
       yang tidak asli atau mengumpulkan kembali komponen-komponen asli tanpa menambah
       material atau komponen baru.
   c. Rekonstruksi: mengembalikan suatu obyek semirip mungkin kepada keadaan semula dengan
       menggunakan bahan lama atau baru.
   d. Adaptasi: merubah suatu obyek, tidak menuntut perubahan drastis,untuk beradaptasi kepada
       kondisi yang dibutuhkan.
   e. Revitalisasi: merubah suatu obyek dengan kesesuaian terhadap yang asli dalam rangka
       mengembalikan vitalitasnya yang telah hilang.


B. “Pentingnya” Revitalisasi Kawasan
1. Konsentrasi peran yang besar di kawasan terevitalisasi, tidak terlepas dari kenyataan bahwa
    kawasan tertata merupakan lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan produktif     
    sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana, tersedianya tenaga kerja, tersedianya dana
    sebagai modal dan sebagainya.
2. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak
    terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan
     pasar.
3. Lahan (topos) merupakan sumber daya utama kawasan yang sangat kritikal, disamping
    pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas.
    Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan
    kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi
    bagi kelangsungan hidup kawasan yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang
    (recycle) lahan kawasan yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru,
4. Pencagaran (conservation) aset budaya fisik dan non-fisik, sebagai dasar jatidiri masyarakat.

C. Menjual Kawasan Revitalisasi

Lahan (topos) merupakan sumber daya utama kawasan yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kawasan yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi

Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang publik), namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kawasan.

1. “Mengapa” Menjual Kawasan Revitalisasi?
     a. Sejumlah pelayanan kawasan yang diberikan tidak dapat mencapai tingkatan akseptabilitas dari
         beneficiaries seperti yang diharapkan
     b. Efisiensi berhubungan dengan penggunaan sumber daya ekonomi yang terbatas, sedangkan
         efektifitas berhubungan dengan pencapaian hasil sesuai dengan kualitas dan maksudnya.

Kegiatan Penataan dan Revitalisasi Kawasan adalah mencapai kedua aspek ini semaksimal mungkin.
Isu efisiensi, efektifitas, akseptabilitas, perhatian terhadap lingkungan dan fragmentasi pelaksanaan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dalam Penataan dan Revitalisasi Kawasan.

Secara garis besar prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk menjawab isu di atas:
1) Membuat lebih dekat proses pengambilan keputusan dan pembiayaan suatu program terhadap 
     kelompok sasaran. Hal ini untuk memperbaiki allocative efficiency program karena lebih 
     sensitifnya program terhadap variasi lokal dan lebih tajamnya perumusan. Pendekatan demikian 
     juga akan memperbaiki productive efficiency karena pembiayaan yang lebih langsung dari 
     kelompok sasaran akan meningkatkan akuntabilitas lokal.
2) Adanya desentralisasi, yaitu untuk meningkatkan sensitifitas proses pengambilan keputusan dan
     pelaksanaan suatu program terhadap kebutuhan kelompok sasaran, terutama kelompok miskin.
     Prinsip inipun adalah untuk meningkatkan efektifitas.
3) Adanya kompetensi yang sesungguhnya di dalam proses produksi untuk keperluan pengadaan
     suatu program, sehingga efisiensi dari pelaksanaan dapat dijaga. Hal ini membutuhkan
     keterlibatan sektor swasta dan dipergunakannya prinsip mekanisme pasar yang sehat untuk proses
     produksi tersebut.
4) Diperbaikinya sistem keuangan program, khususnya untuk memungkinkan dilibatkannya sumber
    daya keuangan swasta untuk investasi dan untuk mendapatkan pemasukan yang selangsung
    mungkin dan berkelanjutan dari kelompok sasaran untuk operasi dan pemeliharaan dari suatu
    fasilitas yang diadakan melalui program Penataan dan Revitalisasi Kawasan.
5) Dibangunnya sistem yang mengatasi masalah fragmentasi fungsional dan geografi.
6) Dibangunnya sistem yang membuat program sensitif terhadap kepentingan lingkungan.
7) Dipergunakannya teknologi tepat guna dan adanya kompetensi untuk pemilihan investasi, rancang
     bangun dan pelaksanaan infrastruktur dan operasi serta pemeliharaannya. Hal ini dimaksudkan
     untuk efisiensi dan efektifitas dari suatu kegiatan atau program.

2. Mengapa Perlu Menjual Kawasan untuk Direvitalisasi?
a. Belum semua :kekayaan” kawasan dikenali, dikualifikasi dan dispesifikasi.
    1) Potensi kawasan potensi revitalisasi belum diidentiikasi dan diinventarisasi secara rinci dan
         lengkap.
    2) Kekayaan dan potensi revitalisasi kawasan baru “dikemas” dalam format terbatas, belum untuk
         “jualan”
b. Potensi  kekayaan kawasan revitalisasi yang ada belum “terjual” optimal.
    1) Potensi yang ada “dijual” dalam format dan kemasan “apa adanya”.
    2) Penjualan kekayaan budaya tidak dilkukan secara “terstruktur”, tetapi secara terlepas-lepas.

3. “Bagaimana” Menjual Potensi Kawasan Revitalisasi?
a. Menjual dengan kerangka “Spasial”
b. Kawasan revitalisasi terdiri atas berbagai kawasan bagian, yang dapat “distrukturkan”
c. Dalam satu satuan manajemen kawasan
d. Menjual dengan kerangka “Sektoral”
e. Kehidupan urban terbagi atas berbagai “sektor” (segmen) yang merupakan satuan komunitas
    manajemen kawasan
f. Menjual layanan potensi revitalisasi kawasan dengan prinsip “cost recovery”
g. “Produksi” dan “deliveri” layanan kawasan revitalisasi dilakukan dengan dasar menghasilkan
    kembalinya biaya produksi untuk layanan yang lebih baik/
h. Disiapkan “satuan pengelola” kawasan yang memadai dan dapat menerima limpahan sebagian
    urusan sektor-sektor.
i. Kekayaan kawasan revitalisasi yang potensial dilimpahkan kepada satuan manajemen kawasan
    profesional agar “penjualan” dapat menghasilkan kontrubusi pendapatan untuk membiayai
    pelayanan prima.
j. Diperbaikinya sistem keuangan program kawasan revitalisasi khususnya untuk memungkinkan   
   dilibatkannya sumber daya keuangan swasta untuk investasi dan untuk mendapatkan pemasukan
   yang selangsung mungkin dan berkelanjutan dari kelompok sasaran untuk operasi dan
   pemeliharaan dari suatu fasilitas yang diadakan melalui program tersebut.

D. Strategi, Model Penataan dan Revitalisasi Kawasan
1. Strategi Penataan dan Revitalisasi Kawasan
    a. Pemerintah menjadi pelopor untuk memicu/mengawali kegiatan revitalisasi kawasan (lama)
       dengan cara melakukan penyiapan  (technical assistance) dan pembangunan infrastuktur &
       sarana kawasan.
    b. Dalam konsep revitalisasi kawasan,  kontribusi pemerintah dimaksudkan untuk merangsang
       (me-laverage) investasi swasta dan masyarakat sedemikian sehingga porto folio investasi di
       kawasan (lama) bisa semakin menguntungkan.
    c. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang
        publik), namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan
        peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-
        budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).
    d. Strategi revitalisasi mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan
        akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap
        keberadaan fasilitas dan infrastruktur kawasan.



BAB VII
Strategi, Model Penataan dan Revitalisasi Kawasan

Kompetensi :
Mahasiswa mampu memahamidanmengembangkan strategi, model Penataan dan Revitalisasi Kawasan, serta mengimplementasikan dalam suatu perencanaan.
1. Beberapa Model Penataan Dan Revitalisasi Kawasan











TINGKATAN PARTISIPASI

Peranserta masyarakat bukan sekedar “keikut-ikutan serta” atau untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya kata partisipasi masyarakat semata.
Peranserta yang didukung pemahaman yang mendalam tentang persoalan revitalisasi dan konservasi.
Pemahaman yang dimulai dari pengetahuan aspek kesejarahan yang terkandung di kawasan, atau nilai berharga yang dimiliki hingga apa yang perlu mereka lakukan saat ini dan nanti.



Mekanisme untuk melibatkan mereka perlu dipersiapkan dengan jelas. Perlu dicatat di sini, masyarakat yang terlibat bisa jadi tidak hanya yang berada di kawasan revitalisasi. Mereka yang memiliki hubungan emosi atau kepedulian dengan tempat tersebut akan menuntut haknya sebagai orang yang perlu dilibatkan pula.
Untuk itu, penggunaan teknologi informasi dalam mengelola keterlibatan banyak pihak (stakeholders) ini sanggat diperlukan. Termasuk mendukung semangat konservasi yang harus mampu mengelola perubahan, dokumentasi sumber daya budaya dari waktu ke waktu penting disebarluaskan untuk dipahami semua pihak.

Berkaitan proses learning by doing  melalui saling pembelajaran dalam desain revitalisasi kawasan upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional), maka perlu disimak tingkatan partisipasi masyarakat:

tingkat saling mengerti, penting untuk memahami fungsi dan sikap masing-masing guna mengembangkan kerjasama;
tingkat penasehatan/pemberian saran, berlangsung setelah saling mengerti;
tingkat otoritas, menentukan keputusan pelaksanaan kegiatan setelah pertimbangan terhadap gagasan yang timbul dari peserta partisipasi.


Jenjang Partisipasi

Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik), namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).

Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Kesadaran lingkungan hidup masyarakat belum naik sesuai dengan harapan. Maka, orang pun bertanya, bagaimana sesungguhnya mengelola lingkungan hidup secara tepat? Bagaimana mengelola kawasan bekas tambang: mengelola lingkungan hidup bergulir, yaitu mengatur diri sendiri. Sebelum sampai pada cara mengatur diri sendiri tersebut, bagaimana kondisi lingkungan hidup mutakhir dan apa makna sistem pengelolaan lingkungan hidup. Penting adanya pemahaman bagaimana solusi pemecahan masalah kerusakan lahan bekas tambang dengan proses penataan dan revitalisasi bekas tambang dengan berpegangan konsep mengatur diri sendiri dalam pengelolaan lingkungan hidup?


Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup sangat didominasi oleh pertimbangan ekonomi, baik ekonomi perorangan maupun ekonomi negara. Tujuan ekonomi bahkan berlebihan sehingga mendorong terjadinya over exploitation tanpa diikuti oleh tindakan perlindungan yang memadai. Sikap dan perilaku itu juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan atau lebih tepatnya kurangnya penghargaan masyarakat tentang fungsi ekologi lingkungan yang memberikan layanan pada manusia. Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan hidup yang parah dan mengancam perikehidupan negara kita. Oleh karena itu sikap dan perilaku tersebut harus dirubah menjadi ramah lingkungan yang tetap memperhatikan pembangunan ekonomi (Soemarwoto, 2001).

Upaya pengelolaan lingkungan hidup yang bijaksana menurut Soemarwoto (2001) dilakukan dengan sistem pengelolaan sebagai berikut :

Instrumen pengaturan dan pengawasan (atur dan awasi-ADA). Tujuannya adalah mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup, misalnya dengan zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan yang merusak lingkungan hidup. Pemerintah membuat peraturan dan mengawasi kepatuhan pelaksanaannya. Hal ini dikenal dengan sistem Atur dan Awasi (ADA) atau command and control (CAC).

Instrumen Ekonomi. Tujuannya ialah mengubah nilai untung relatif terhadap rugi bagi pelaku dengan memberikan insentif-disinsentif ekonomi. Contohnya adalah pengurangan pajak untuk produksi dan penggunaan alat yang hemat energi, pemungutan retribusi limbah dan denda untuk pelanggaran peraturan.

Instrumen Persuasif yaitu mendorong masyarakat secara persuasif, bukan paksaan. Tujuannya untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup ke arah memperbesar untung relatif terhadap rugi. Instrumen ini terdiri atas pendidikan, pelatihan, penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik serta ceramah umun dan dakwah agama

Atur Diri Sendiri (ADS). Maknanya adalah tanggung jawab menjaga kepatuhan dan penegakkan hukum banyak ditanggung oleh masyarakat. Pendekatan ini dipelopori oleh dunia usaha yang sadar akan lingkungannya. Hal ini karena adanya dorongak kuat dari masyarakat terhadp para pelaku usaha untuk berlaku ramah lingkungan, sehingga para pelaku usaha mengembangkan kode praktik pengelolaan lingkungan sukarela (voluntary environmental practice code).

Proses demokratisasi pengelolaan lingkungan hidup harus terus bergulir. Sistem PLH yang berubah dari ADA (atur dan awasi) menjadi ADS (Atur diri sendiri) terus menguat. Masyarakat madani dengan aktif dan berprakarsa menyusun kode praktik pengelolaan lingkungan hidup. Kelenturan memberi peluang untuk ber-evolusi dengan dinamis seiring perkembangan lingkungan hidup fisik dan sosial ekonomi budaya. Pengalaman keberhasilan dan kegagalan diolah dan dijadikan masukan untuk mengoreksi dan menyempurnakan proses evolusi kode praktik pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam kehidupan sehari hari, perilaku pro lingkungan dan pro sosial makin menguat. Instrumen suasif makin berkembang terutama dengan memberdayakan masyarakat untuk dengan terus menerus mencari dan memproses informasi baru.

Ilmu dan teknologi pun terlepas dari belenggu dan bergerak maju dengnan dinamis. Penerapan pembukuan llingkungan hidup, eko-efisiensi dan ekologi industri makin mendapat tempat dikalangan para pelaku usaha. Hasilnya profit per unit produk makin meningkat, sementara biaya pembangunan dan dampak lingkkungan hidup per-unit produk semakin menurun.Antara petani, buruh, pekerja dan industri besar hidup bersimbiosis dalam proses ekologi industri dan bersinergi meningkatkan kinerja lingkungan hidup dan ekonomi. Pembangunan ramah lingkungan pun makin melaju. Sesuai keperluannya, masyarakat menentukan pilihannya dengan bijaksana apakah naik sepeda, mobil, pesawat, kereta api dsb. Semua diberi kesempatan dengan adil, tak ada lagi anak emas dan tak ada lagi anak tiri.

Budaya silih asah, silih asih dan silih asuh (saling menyayangi, saling memberdayakan dan salling mengasuh) dengan vitalitas tinggi untuk maju. Maka baldatun thoyyibatun warobbun gofur insya Allah tercapai. Inilah tatapan ke masa depan dan harapan masa depan dari tinjauan lingkungan hidup yang selaras.

(dikutip dari buku OttoSoemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta)


Solusi Penataan dan Revitalisasi Kawasan

Selanjutnya, dalam menentukan solusi Penataan dan Revitalisasi Kawasan dapat dilakukan analisis dengan metode TRIZ yang digunakan dalam upaya untuk perbaikan terhadap variabel yang menjadi prioritas perbaikan kawasan penataan.

Triz adalah Solusi Terbaik Pemecahan Masalah

Konsep ini diperkenalkan oleh Genrich Saulovich Altshuller pada tahun 1946. Triz berasal dari bahasa Rusia, yaitu Teorija Resenija Isobretatelskih Zadac. Triz adalah salah satu metode pemecahan masalah berdasarkan logika dan data, yang mempercepat kemampuan tim dalam memecahkan masalah secara kreatif.

Seperti definisinya, tujuan Triz adalah menciptakan masalah secara kreatif. Konsep dasarnya sendiri terdiri dari kontradiksi, idealistis, dan level of inventation. “Kontradiksi” berarti pertentangan. Hal ini biasanya muncul ketika kita melakukan peningkatan pada salah satu parameter, namun menyebabkan parameter yang lain menjadi turun. Kontradiksi sendiri terbagi menjadi 2, yaitu kontradiksi teknis dan kontradiksi fisik.

Kontradiksi teknis adalah kontradiksi yang membahas mengenai proses dari suatu sistem. Kontradiksi fisik adalah kontradiksi yang membahas mengenai bentuk suatu elemen dari sistem. Idealistis berarti, hasil akhir ideal tercapai setelah kontradiksi terselesaikan.

Ada 5 level of inventation, yaitu level 5 mengenai penemuan fenomena baru. Level 4 adalah penemuan di luar paradigma rancangan yang memerlukan teknologi baru dari bidang pengetahuan yang berbeda. Level 3 adalah penemuan di dalam paradigma rancangan yang memerlukan penyelesaian kontradiksi fisik. Level 2 adalah perbaikan dengan penemuan yang memerlukan penyelesaian kontradiksi teknis. Level 1 adalah solusi yang nyata dihasilkan dari perbaikan yang sederhana.

Langkah yang digunakan dalam penyelesaian masalah dengan menggunakan Triz adalah mengidentifikasi masalah terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kita paham terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Sehingga kita mengetahui tujuan yang ingin kita capai nantinya.

Langkah kedua adalah menentukan masalah dan memformulasikannya. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan masalah dalam bentuk kontradiksi. Setelah terbentuk kontradiksi, maka langkah ketiga adalah mengatasi kontradiksi. Hal ini merupakan salah satu langkah menyelesaikan masalah. Setelah kontradiksi terselesaikan, maka kita akan memperoleh hasil dan dapat membuat penataan dan revitalisasi kawasan untuk diuji coba.

Penggunaan Triz memerlukan arahan dasar inovasi, yang biasa disebut 40 inventive principles. Hal ini terdiri dari, segmentation, separation, local quality, symmetry change, merging, multifunctional, nested doll, weight compensation, preliminary counteraction, peliminary action. Selain itu juga terdiri dari before compensation, equipotentially, the other way around, curvature increase, dynamic parts, partial or excessive action, imensionality change, mechanical vibration, periodic action, continuity of useful action.

Ada lagi hurrying, blessing in disguise, feedback, Intermediary, self-service, copying, cheap disposables, mechanical interaction substitution, pneumatics and hydraulics, flexible shells and thin films. Terakhir adalah porous materials, optical property changes, homogeneity, discarding and recovering, parameter changing, phase transitions, thermal expansion, strong oxidants, inert atmosphere, dan composite materials.

Triz menawarkan teknik-teknik yang membantu menganalisa situasi penataan dan revitalisasi kawasan. Triz mengenalkan cara berpikir baru untuk memecahkan masalah tersulit revitalisasi kawasan bekas pertambangan. Pemecahan masalah tidak cukup dengan teknik-teknik, namun diperlukan juga kemampuan untuk mengenali masalah sebagai bagian sistem, dengan tingkat level sistem yang berbeda. Triz disusun dari tiga pilar, yaitu logika analitis, berbasis pengetahuan, dan cara berpikir sistematis.

Teknik yang digunakan oleh metode Triz antara lain, teknik analitis. Teknik ini membantu mengelola kerumitan masalah. Selain itu, juga melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Kemudian memahami penyebab nyata suatu masalah dan merumuskan masalah secara benar. Teknik ini juga digunakan untuk memprediksi masalah-masalah yang akan datang hasil revitalisasi kawasan bekas pertambangan.

Selain itu, ada juga yang dinamakan teknik pemecahan masalah inventif dan penyusunan ide yang menjelaskan metode pemecahan masalah inventif. Ada lagi yang menggunakan dasar pengetahuan Triz. Hal ini mengenai panduan dari strategi solusi memecahkan masalah yang kuat. Teknik ini juga bisa digunakan untuk memecahkan masalah baru revitalisasi kawasan bekas pertambangan, agar ide untuk pemecahan masalah baru dapat muncul dengan cepat.

Selain itu, ada juga yang menggunakan teori evolusi teknologi. Teori ini berisi teknik untuk meramalkan evolusi produk/ teknologi dalam kawasan terevitalisasi di masa depan. Selain itu, juga dapat digunakan untuk mengetahui alat untuk mengeksplorasi potensi inovatif dari sistem. Serta juga dapat membangkitkan ide-ide baru seiring perkembangan jaman.

Tahapan dalam metode TRIZ adalah:
1.  perumusan kontradiksi melalui abstraksi masalah,
2.  gambaran ide solusi dan
3.  menginterpretasikan solusi umum dalam masalah yang spesifik yang dihadapi kawasan penataan;

tahapan ini menggunakan bantuan Tabel Kontradiksi 39 Parameter dan 40 Principle with Application in Service Operation Management. Dari hasil analisis perbaikan dengan menggunakan TRIZ didapatkan usulan-usulan perbaikan yang kemudian didiskusikan kepada tim penataan dan revitalisasi kawasan dan diperoleh inisiasi perbaikan yang siap untuk diimplementasikan.


Tujuan sebenarnya dari pengembangan TRIZ adalah untuk menciptakan suatu metode penyelesaian permasalahan yang kreatif dalam penataan dan revitalisasi kawasan. TRIZ telah sukses dalam menciptakan sistem baru metodologi yang melebihi level “tahu bagaimana untuk menemukan”, tetapi bahkan bisa menyelesaikan.

Model TRIZ
Model dasar untuk penyelesaian masalah dalam TRIZ diilustrasikan pada gambar berikut.



Gambar: Model Dasar TRIZ


Model dasar TRIZ menggunakan 5 buah konsep, yaitu:
1. Kontradiksi, menyelesaikan sebuah masalah berarti membuang kontradiksi.
2. Sumber daya, sumber daya tersedia tetapi tidak dipakai, energi, sifat atau benda lain dalam atau di
    dekat sistem dapat digunakan untuk menyelesaikan kontradiksi.
3. Hasil akhir ideal, dicapai pada saat kontradiksi diselesaikan. Fitur yang diinginkan harus
    diperoleh tanpa kompromi.
4. Pola evolusi, dapat digunakan untuk mendapatkan ide baru dan memprediksi sistem.
5. Prinsip-prinsip inovatif, memberikan isyarat konkrit bagi solusi.

    Saat Genrich Altshuller menyelesaikan penelitian dasar paten dunia, dia membuat 4 pengamatan utama:

Ada lima level invention:
1. Level 5 : menemukan fenomena baru
2. Level 4 : penemuan di luar paradigma rancangan memerlukan teknologi baru dari bidang
                   pengetahuan yang berbeda
3. Level 3 : penemuan di dalam paradigma rancangan yang memerlukan penyelesaian kontradiksi
                   fisik
4. Level 2 : perbaikan dengan penemuan yang memerlukan penyelesaian kontradiksi teknis
5. Level 1 : solusi nyata (tidak ada inovasi) dihasilkan dalam perbaikan yang sederhana

Permasalahan inventive mengandung setidaknya satu kontradiksi. Altshuller mengenalkan bahwa permasalahan desain penataan dan revitalisasi kawasan yang sama termasuk kontradiksi yang ditujukan oleh sejumlah penemuan dalam area industri bekas tambang yang berbeda-beda. TRIZ menciptakan suatu bentuk yang mewakili inti permasalahan, yaitu, kontradiksi teknis, dan menyediakan suatu tabel petunjuk yang berguna untuk solusi. Kontradiksi teknis adalah suatu kasus dimana jika kita mencoba meningkatkan suatu aspek (atau parameter) sistem, aspek lain akan mengalami penurunan.

Prinsip yang sama digunakan dalam beberapa desain inventive dan oleh karena itu dapat dipertimbangkan pola pemecahannya. Suatu prinsip inventive adalah best practice yang telah digunakan dalam beberapa penerapan penataan dan revitalisasi kawasan.

Ada pola perkembangan yang baku. Untuk merevitalisasi kawasan, penting untuk meramalkan dan membuat analogi ke situasi masa depan pada konsep yang sama dalam hal fungsionalitas desain. Perkembangan sebelumnya dari desain diuji dan kemudian sebuah analogi diterapkan untuk memprediksi masa depan desain penataan dan revitalisasi kawasan yang dikaji.

TRIZ meliputi empat tool analitik yang tentunya dapat juga digunakan untuk menyusun permasalahan inovatif dan enam tool berbasis pengetahuan yang digunakan untuk menunjuk arah konsep penyelesaian revitalisasi kawasan.

Dalam TRIZ, terdapat 40 prinsip pemecahan masalah, untuk permasalahan inventif yang kompleks. Ke-40 prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Segmentation (fragmentation)
2. Separation
3. Local quality
4. Symmetry change (asymmetry)
5. Merging (consolidation)
6. Multifunctionality (universality)
7. “Nested doll” (nesting)
8. Weight compensation (anti-weight, counterweight)
9. Preliminary counteraction (preliminary anti-action, prior counteraction)
10. Preliminary action (prior action, do it in advance)
11. Beforehand compensation (beforehand cushioning, cushion in advance)
12. Equipotentially (bring things to the same level)
13. “The other way around” (do it reverse, do it inversely)
14. Curvature increase (spheroidality, spheroidality-curvature)
15. Dynamic parts (dynamicity, dynamization, dynamics)
16. Partial or excessive action (do a little less)
17. Dimensionality change (another dimension)
18. Mechanical vibration
19. Periodic action
20. Continuity of useful action
21. Hurrying (skipping, rushing through)
22. “Blessing in disguise” (convert harm into benefit)
23. Feedback
24. Intermediary (mediator)
25. Self-service
26. Copying
27. Cheap disposables
28. Mechanical interaction substitution (use of field)
29. Pneumatics and hydraulics
30. Flexible shells and thin films
31. Porous materials
32. Optical property changes (changing the color)
33. Homogeneity
34. Discarding and recovering
35. Parameter changing (transformation of properties)
36. Phase transitions
37. Thermal expansion
38. Strong oxidants (accelerated oxidation)
39. Inert atmosphere (inert environment)
40. Composite materials.


IV. KEPUSTAKAAN
1. Undang-Undang RI, No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya”
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
3. Danisworo Muhammad, 2004, Guru Besar Perancangan Kota, Dep. Arsitektur, Fakultas Teknik
        Sipil dan Perencanaan, ITB. Bandung.
4. Suharwanto, 2007. Laporan Resmi Pelatihan Peningkatan dan Pengembangan Mutu
        Pembelajaran (P3M), Petrologi. UPN Veteran, Yogyakarta.
5. Soemarwoto Otto, 1999, Atur Diri Sendiri: Paradikma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup,
        Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
6. Karen Gadd, 2011, TRIZ for Engineers Enabling Inventiv Problem Solving, Wiley, Manhattan.