Nama
: Muhammad Ridha Nasaruddin
NIM
: 114120062
Kelas
: A
Kota
Ternate merupakan salah satu kota kecil dari sekian banyak kota kecil yang ada
di Indonesia. Kota Ternate berada di wilayah Indonesia Bagian Timur, tepatnya
di Daerah Provinsi Maluku Utara. Sebagai salah satu kota kepulauan, Kota
Ternate juga memiliki masalah seperti halnya masalah yang dihadapi kota-kota
lainnya terutama terkait dengan masalah lingkungan. Salah satu masalah
lingkungan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah Kota Ternate yakni tentang
permukiman kumuh perkotaan. Slum atau permukiman kumuh bisasanya digunakan
untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh secara spontan di perkotaan yang mempunyai
kualitas perumahan di bawah standar minimal dalam lingkungan yang kurang sehat
dan tidak didukung oleh jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi,
drainase (gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses darurat. Ciri lain
permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke
fasilitas sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb. Status permukiman kumuh
seringkali tidak jelas baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun
kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah,
biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan pemukiman liar
(squatter). Kawasan permukiman kumuh yang ada di Kota Ternate yaitu Lelong, Kelurahan
Makassar Timur dan Kelurahan Kota Baru, dengan kategori kawasan kumuh perkotaan.
Selain itu juga terdapat permukiman kumuh di Kota Ternate yang terletak di
kelurahan Mangga Dua yang juga terletak di pesisir pantai kota ternate. Beberapa
faktor yang mempengaruhi permukiman kumuh di Kota Ternate terus berkembang yakni
dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan tata-kelola kepemerintahan
(government). John Turner menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri
(autonomous settlement), dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat
sendiri sesuai kemampuan mereka sendiri (Turner
1976). Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi.
Pertumbuhan ini dapat berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan,
migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami. Migrasi ke kota juga
merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Masyarakat yang hidup di
permukiman kumuh perkotaan di Kota Ternate umumnya berasal dari Pulau Halmahera
dan sebagian kecil lainnya berasal dari pulau diluar Provinsi Maluku Utara
seperti Jawa, Sulawesi, dan lain sebagainya. Tata-kelola pemerintah yang kurang
baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman kumuh. Karena pemerintah yang seringkali
tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan mereka dalam proses
perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman kumuh.
Proses revitalisasi kawasan permukiman di Kota Ternate masih belum berjalan meskipun pernah dianggarkan untuk penataan kawasan kumuh perkotaan. Meskipun rencana ini dijadwalkan tahun 2015 ini, sampai sekarang hal ini belum terrealisasikan. Masyarakat yang hidup dan ketergantungan dengan lingkungan kumuh di Kota Ternate umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang dan tukang ojek, namun sebagian kecil dari mereka adapula yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil bahkan Angota Dewan. Untuk wilayah permukiman kumuh Lelong, Kelurahan Kampung Makassar Timur dan Kelurahan Kota Baru ini berada di pesisir pantai yang memiliki karakteristik bangunan seperti rumah panggung air. Pada kawasan permukiman kumuh Lelong yang berdekatan dengan lapangan Ngara Lamo, Salero yang biasanya setiap tahunnya diadakan acara Legu Gam atau pesta rakyat untuk merayakan ulang tahun Sri Sultan Ternate tepatnya tanggat 13 April setiap tahunnya. Setiap acara ini diadakan daerah ini merupakan salah satu titik kemacetan. Secara tidak langsung ini merupakan salah satu pemandangan yang kurang menyenangkan dan menimbulkan kesan kurang baik bagi pengunjung acara Legu Gam. Permukiman kumuh lelong juga pernah tercatat terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan puluhan rumah.
Hidup didaerah
pesisir pantai menjadikan masyarakat yang hidup di permukiman kumuh ini
memanfaatkan lingkungan tempat tinggalnya, namun mereka memanfaatkan pada hal
yang negatif yakni membuang sampah, limbah rumah tangga, limbah domestik, dan
lain-lain. Dengan demikian perubahan alam lingkkungan hidup manusia akan
berpengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup dan mampu mengurangi kemampuan
alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupan masyarakat yang tinggal di
permukiman kumuh tersebut. Terkait dengan masalah kesehatan, kondisi lingkungan
yang higenis menjadikan kawasan kumuh sebagai salah satu pusat masalah
kesehatan masyarakat perkotaan. Terkait dengan permukiman yang sehat, secara
garis besar kesenjangan tingkat kesehatan masyarakat di perkotaan cenderung
lebih baik daripada masyarakat pedesaan (Surjadi,
2012).
pesisir
pantai Kota Ternate yakni di Kelurahan
Makasssar
Timur (Lelong) dan Kelurahan
Mangga
Dua yaitu dengan berdasarkan tingkat
atau
kondisi permasalahannya, terdapat tiga
pilihan
yang dapat dipergunakan dalam
membenahi
kawasan kumuh, yaitu (Pasal 97
Undang-undang
No.1 Tahun 2011) ; Perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan relokasi. Dari
Pasal 97 Undang-undang No.1 Tahun 2011 kemudian digunakan pilihan untuk
merevitalisasi permukiman kumuh perkotaan di Kota Ternate yaitu relokasi serta
perbaikan atau pemugaran. Dengan merelokasikan tempat yang layak huni bagi
masyarakat yang tinggal di kedua lokasi kumuh ini kemudian kawasan kumuh akan
direvitalisasi dengan membangun landmark serta membangun kawasan ekowisata.
Pembangunan
landmark akan dilaksanakan di permukiman kumuh di Kelurahan Makassar Timur
sedangkan di Kelurahan Mangga Dua akan dibangun kawasan ekowisata dengan
melakukan penanaman bibit mangrove dan avicennia.
Landmark merupakan bangunan yang dapat menyimbolkan suatu daeah atau tempat
yang memiliki nilai tertentu. Revitalisasi kawasan dengan membangunan landmark
di kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Makassar Timur yang nantinya menjadi
sebagai salah satu ikon Kota Ternate, karena Kelurahan Makassar Timur itu
sendiri terletak di pusat Kota Ternate dimana hampir semua aktivitas masyarakat
berlangsung disini, mulai dari pasar, pusat perbelanjaan, wisata kuliner, dan
lain-lain. Landmark yang akan dibangun nantinya merupakan bangunan tinggi yang
menggambarkan ikon Kota Ternate sebagai salah satu kota penghasil rempah-rempah
di sepanjang Nusantara, yakni cengkeh dan pala. Cengkeh dan pala itu sendiri
merupakan hasil rempah-rempah yang terdapat di Kota Ternate yang juga
menjadikan Ternate banyak dikenal dan menjadi tujuan dari bangsa Spanyol,
Portugis, dan Belanda pada sekitar abad ke 18 M, landmark cengkeh dan pala ini
yang menjadi ikon atau hal yang menonjol pada Kota Ternate yang terletak di pusat
kota, agar memberikan kesan yang baik kepada tamu yang berkunjung ke Kota
Ternate agar lebih tertarik, dibandingkan adanya permukiman kumuh tersebut. Sedangkan
pengembangan tanaman mangrove disekitar permukiman kumuh perkotaan Kelurahan
Mangga Dua, Kota Ternate yang nantinya akan dijadikan kawasan ekowisata.
adalah beranjak dari adanya kebutuhan
untuk melakukan perubahan sebagai akibat
dari perubahan pengelolaan maupun akibat
perubahan-perubahan keadaan (peningkatan
kesejahteraan, bencana alam,
perkembangan
sosial, dan lain-lain). Pada dasarnya
kondisi
yang harus dalam perencanaan wilayah
yaitu
kebutuhan masyarakat untuk
melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak
diinginkan dan adanya political will dan
kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Permukiman kumuh
di Kelurahan Mangga Dua tidak teralu rapat atau dapat dikatakan tidak padat penduduk
bil dibandingkan dengan kawasan permukiman kumuh perkotaan di Kelurahan Makassar
Timur (Lelong). Selain itu di kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Mangga Dua juga
telah ditumbuhi tanaman avicennia selain
itu juga tanaman mangrove, sehingga lebih memungkinkan dan lebih baik untuk
dijadikan kawasan mangrove untuk ekowisata. Kerusakan hutan mangrove Indonesia,
berdasarkan survei Kementerian Kehutanan tahun 2006, adalah 7,7 juta hektar,
namun dalam survei lanjutan yang digelar tahun 2010 silam hutan mangrove
Indonesia kini tersisa tinggal sekitar 3 juta hektar. Hilangnya hutan
mangrove ini disebabkan oleh konversi menjadi lahan perkebunan, pertambakan,
dan areal untuk tinggal manusia. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara sendiri
dalam empat tahun terakhir terjadi penurunan hutan mangrove di Maluku Utara. Hutan
mangrove seluas 36 ribu hektar, sesuai hasil pemetaan pada tahun 2009 menurun
menjadi 33 ribu hektar, dengan penurunan setiap tahun masyarakat menkonversi
atau hilang hutan mangrove berkisar 1.000 hektar. Revitalisasi permukiman kumuh
dengan mengembalikan fungsi lahan menjadi seperti semula yaitu sebagai bentuk
untuk melestarikan ekosistem hutan mangrove yang belakangan ini mulai rusak
akibat aktivitas manusia. Kawasan wisata mangrove ini juga nantinya akan
dijadikan sebagai tempat wisata perkotaan untuk wisatawan lokal maupun
mancanegara. Selain itu juga membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar
dengan membuka usaha dengan menyediakan makanan tradisional, oleh-oleh khas
Kota Ternate, maupun jasa persewaan perahu atau sampan untuk pengunjung kawasan
wisata mangrove. Selain itu wisata mangrove juga dapat menambah pendapatan
daerah dari pajak pada biaya tiket masuk pengunjung.
Sumber
:
Sadana, Agus S. 2014. Perencanaan
Kawasan Permukiman. Yogyakarta. Graha Ilmu
Setiadi, Elly M, H. Kama A Hakam, Ridwan
Effendi. 2007, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta, Kencana
Rustiadi Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah
R. Pamuju, 2011. Perencanaan dan Pengenbangan Wilayah. Jakarta. Crestpent Press
dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Revitalisasi Kawasan