Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kawasan pertambangan yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan pertambangan dengan sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar.
Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kawasan pertambangan yang sangat kritikal, di samping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kawasan permukiman pertambangan yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan pertambangan terdegradasi yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut "revitalisasi".
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kawasan pertambangan terdegradasi mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kawasan pertambangan. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang.
Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) di kawasan pertambangan, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur lingkungan permukiman pertambangan yang terdegradasi.
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kawasan bekas tambang yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro.
Proses revitalisasi sebuah kawasan pertambangan terdegradasi mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Revitalisasi, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar.
Masalah besar yang dihadapi ialah PKL dan transpor di kawasan revitalisasi pertambangan. Sumber masalah PKL ialah kurangnya lapangan pekerjaan. Menggusur PKL dan memindahkannya tidak akan memecahkan masalah. Pengalaman menunjukkan, hasilnya hanya sementara saja. Penertiban itu berdalih karena lingkungan permukiman di kawasan pertambangan yang terdegradasi menjadi kumuh dan pejalankaki terganggu karena trotoar disita oleh PKL. Tetapi mobil yang diparkir di trotoar tidak ditertibkan. Bahkan ada trotoar yang diubah menjadi tempat parkir.
Akibatnya pejalankaki harus jalan di badan jalan, yang sudah barang tentu berbahaya. Karena sumber masalahnya adalah kurangnya lapangan pekerjaan, masalah itu hanya dapat diatasi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru. Jadi harus ada program pembangunan untuk menyalurkan para PKL ke kegiatan ekonomi baru disertai dengan pendidikan dan latihan serta pengadaan kredit usaha.
Transpor adalah masalah berat lain. Jumlah kendaraan bermotor terus bertambah dan laju pertumbuhan jumlah kendaraan lebih besar daripada pertumbuhan kapasitas jalan. Akibatnya kemacetan lalulintas makin parah. Pencemaran udara makin berat dan anggaran belanja untuk subsidi BBM juga makin tinggi.
Sumber masalahnya adalah pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan kapasitas jalan. Selama jumlah kendaraan tidak dibatasi, masalah kemacetan lalulintas tidak dapat terpecahkan dan bahkan makin parah. Karena itu harus dirumuskan kebijakan untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor di jalan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan kendaraan bermotor.
Harus ada disinsentif untuk menggunakan kendaraan bermotor untuk jarak pendek, misalnya kurang dari 5 km, dan insentif untuk penggunaan sepeda dan berjalankaki dengan memperbaiki sistem trotoar dan membuat jalur sepeda sehingga berjalankaki dan bersepeda menjadi aman dan nyaman. Berjalan kaki dan bersepeda adalah moda transpor yang murah dan sehat. Trotoar tidak hanya dibersihkan dari PKL, melainkan juga dari mobil yang diparkir di atasnya.
Dengan memacu bersepeda akan tumbuh permintaan untuk sepeda. Tumbuhlah usaha untuk produksi suku cadang sepeda, perakitan sepeda dan perdagangan sepeda. Lapangan pekerjaan yang baru dapat digunakan untuk menyalurkan PKL dari pekerjaan ke-PKL-an. Dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor kebutuhan memperlebar jalan dan membuat jalan baru berkurang.
Dana yang dihemat dapat digunakan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sistem demikian bersifat PB karena berpihak pada lingkungan hidup, orang miskin, perempuan dan lapangan pekerjaan. Kendala utamanya ialah kendaraan bermotor membawa simbol status sosial yang tinggi. Sebaliknya berjalan kaki dan bersepeda dianggap membawa status sosial yang rendah.
“Pentingnya” Revitalisasi Kawasan.
A. Konsentrasi peran yang besar di kawasan bekas tambang tersebut, tidak terlepas dari kenyataan bahwa kawasan bekas tambang merupakan lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana, tersedianya tenaga kerja, tersedianya dana sebagai modal dan sebagainya.
B. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar.
C. Lahan (topos) merupakan sumber daya utama kawasan pertambangan yang sangat kritikal, di samping keadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kawasan bekas tambang yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kawasan bekas tambang yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru,
D. Pencagaran (conservation) aset budaya fisik dan non-fisik, sebagai dasar jatidiri masyarakat.
“Mengapa” menjual Kawasan Revitalisasi?
A. Sejumlah pelayanan di lingkungan kawasan pertambangan yang diberikan tidak dapat mencapai tingkatan akseptabilitas dari beneficiaries seperti yang diharapkan.
B. Efisiensi berhubungan dengan penggunaan sumber daya ekonomis yang terbatas sedangkan efektifitas berhubungan dengan pencapaian hasil sesuai dengan kualitas dan maksudnya. Tugas dari Ahli Teknik Lingkungan Kebumian dalam menangani Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pertambangan yang terdegradasi adalah mencapai kedua aspek ini semaksimal mungkin.
Isu-isu di atas, yaitu efisiensi, efektifitas, akseptabilitas, perhatian terhadap lingkungan dan fragmentasi pelaksanaan merupakan hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pertambangan yang terdegradasi.
Secara garis besar prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk menjawab isu-isu di atas adalah :
1. membuat lebih dekat proses pengambilan keputusan dan pembiayaan suatu program terhadap kelompok sasaran. Hal ini untuk memperbaiki allocative efficiency program karena lebih sensitifnya program terhadap variasi lokal dan lebih tajamnya perumusan. Di lain pihak, pendekatan demikian juga akan memperbaiki productive efficiency karena pembiayaan yang lebih langsung dari kelompok sasaran akan meningkatkan akuntabilitas lokal.
2. Adanya desentralisasi, yaitu untuk meningkatkan sensitifitas proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan suatu program terhadap kebutuhan kelompok sasaran, terutama kelompok miskin di kawasan bekas pertambangan yang terdegradasi . Prinsip inipun adalah untuk meningkatkan efektifitas.
3. Adanya kompetensi yang sesungguhnya di dalam proses-proses produksi untuk keperluan pengadaan suatu program sehingga efisiensi dari pelaksanaan dapat dijaga. Hal ini membutuhkan keterlibatan sektor swasta dan dipergunakannya prinsip-prinsip mekanisme pasar yang sehat untuk proses-proses produksi tersebut.
4. Diperbaikinya sistem keuangan program, khususnya untuk memungkinkan dilibatkannya sumber daya keuangan swasta untuk investasi dan untuk mendapatkan pemasukan yang selangsung mungkin dan berkelanjutan dari kelompok sasaran untuk operasi dan pemeliharaan dari suatu fasilitas yang diadakan melalui program tersebut.
5. Dibangunnya sistem yang mengatasi masalah fragmentasi fungsional dan geografi.
6. Dibangunnya sistem yang membuat program sensitif terhadap kepentingan lingkungan.
7. Dipergunakannya teknologi tepat guna dan adanya kompetensi untuk pemilihan investasi, rancang bangun dan pelaksanaan infrastruktur dan operasi serta pemeliharaannya. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektifitas dari suatu kegiatan atau program.
Mengapa Menjual Kawasan Ter-Revitalisasi?
A. Belum semua :kekayaan” kawasan dikenali, dikualifikasi dan dispesifikasi.
1) Potensi kawasan potensi revitalisasi belum diidentiikasi dan diinventarisasi secara rinci dan lengkap.
2) Kekayaan dan potensi revitalisasi kawasan baru “dikemas” dalam format terbatas, belum untuk “jualan”
B. Potensi kekayaan kawasan revitalisasi yang ada belum “terjual” optimal.
1) Potensi yang ada “dijual” dalam format dan kemasan “apa adanya”.
2) Penjualan kekayaan budaya tidak dilkukan secara “terstruktur”, tetapi secara terlepas-lepas.
“Bagaimana” Menjual Potensi Kawasan Ter-Revitalisasi?
A. Menjual dengan kerangka “Spasial”
Kawasan revitalisasi terdiri atas berbagai kawasan bagian, yang dapat “distrukturkan”
Dalam satu satuan manajemen kawasan.
B. Menjual dengan kerangka “Sektoral”
Kehidupan urban terbagi atas berbagai “sektor” (segmen) yang merupakan satuan komunitas manajemen kawasan.
C. Menjual layanan potensi revitalisasi kawasan dengan prinsip “cost recovery”
“Produksi” dan “deliveri” layanan kawasan revitalisasi dilakukan dengan dasar menghasilkan kembalinya biaya produksi untuk layanan yang lebih baik.
D. Disiapkan “satuan pengelola” kawasan yang memadai dan dapat menerima limpahan sebagian urusan sektor-sektor.
Kekayaan kawasan revitalisasi yang potensial dilimpahkan kepada satuan manajemen kawasan profesional agar “penjualan” dapat menghasilkan kontribusi pendapatan untuk membiayai pelayanan prima.
E. Diperbaikinya sistem keuangan program revitalisasi kawasan pertambangan khususnya untuk memungkinkan dilibatkannya sumber daya keuangan swasta untuk investasi dan untuk mendapatkan pemasukan yang selangsung mungkin dan berkelanjutan dari kelompok sasaran untuk operasi dan pemeliharaan dari suatu fasilitas yang diadakan melalui program tersebut