Oleh
Otto
Soemarwoto
Kita mengtahui bahwa kerusakan lingkungan
hidup kita makin berat. Tak banyak gunanya kita mengulang-ulang lagi kerusakan
lingkungan hidup kita. Yang lebih penting ialah bagaimana mencari jalan
keluarnya. Paling sedikit kita cari arah jalan keluar yang memberi kesempatan
untuk lebih berhasil daripada sekarang.
Isu lingkungan hidup merebak sejak tahun
1960-an. Pada tahun 1972 PBB menyelenggarakan Konperensi tentang Ligkungan Hidup
(UN Conference on the Human Environment) di Stokholm. Isunya ialah
kerusakan lingkungan hidup. Pada tahap persiapan Konperensi Stokholm muncullah
kritik dari negara dunia ke-3 bahwa kerusakan lingkungan hidup di dunia ini
lebih disebabkan oleb kurangnya pembangunan (underdevelopment).
Sebaliknya di negara maju lebih karena terlalu banyak pembangunan (overdevelopment).
Karena itu masalah lingkungan hidup di dunia ke-3 harus diatasi oleh
pembangunan. Pembangunan itu harus bersifat berwawasan lingkungan hidup yang
pada waktu persiapan Konperensi Stokholm disebut eco-development.
Isu
pembangunan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup terus bergulir. PBB
membentuk sebuah badan yang disebut World Commission on Environment and Development (WCED, Komisi Sedunia
Lingkungan Hidup dan Pembagnunan). Dalam tahun 1987 WCED membuat laporannya
yang berjudul “Hari Depan Kita Bersama” (Our Common Future). Dalam
laporan ini diangkat isu pembangunan berkelanjutan (PB) (sustainable development) yang
didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya. Untuk mencapai tujuan ini disyaratkan pertama, meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah
lingkungan hidup dan kedua, menjamin
terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Syarat kedua pada
hakekatnya ialah ramah lingkungan hidup sosial-ekonomi budaya.
Isu
PB bergulir makin kuat sehingga mendominasi percaturan politik, ekonomi dan
ilmiah nasional dan internasional. Pada tahun 1992, tepat 20 tahun setelah
Konperensi Stokholm, PBB menyelenggarakan Konperensi tentang Lingkungan Hidup
dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Development, UNCED) di
Rio de Janeiro, Brasil. Pembangunan dinyatakan secara eksplisit pada nama
konperensi tersebut. Namun lingkungan hidup adalah yang pertama dan pembangunan
yang kedua. Konperensi ini dikenal juga sebagai KTT Bumi (Earth Summit)
yang menunjukkan juga masih dominannya isu lingkungan hidup, yaitu untuk
menyelamatkan Bumi. Ini nampak dari dua hasil utama, yaitu Konvensi tentang
Perubahan Iklim dan Konvensi tentang Keanekaan Hayati. Namun ada juga hasil
tentang pembangunan, yaitu Agenda 21 yang merupakan sebuah rencana kegiatan PB
bagi seluruh dunia. Sebagai tindak lanjutnya masing-masing negara dianjurkan
untuk menyusun Agenda 21 nasionalnya. Indonesia pun telah melakukannya.
Namun
ternyata KTT Bumi dengan Agenda 21 PB-nya tidak mencapai tujuan yang
diharapkan. Pada tahun 2002, 10 tahun setelah UNCED atau Rio+10, PBB menindaklanjuti KTT Bumi dengan
KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development)
di Johannesburg, Afrika Selatan. Nama
konperensi itu jelas-jelas menekankan pembangunan. Dalam KTT ini para peserta
konperensi memperbarui komitmennya untuk melaksanakan PB.
Uraian
singkat sejarah ini menunjukkan evolusi isu lingkungan hidup. Ia dimulai dengan
isu lingkungan hidup saja yang nampak dari nama Konperensi PBB tentang
Lingkungan Hidup di Stokholm. Isu pembangunan tidak terdapat dalam resolusi
Majelis Umum PBB yang memutuskan diadakannya konperensi ini, melainkan isu itu
baru muncul kemudian dalam tahap persiapan konperensi tersebut. Jadi sebagai
gagasan yang menyusul (afterthought). Isu pembangunan makin menguat dengan
diterbitkannya laporan WCED sehingga berkembang menjadi isu lingkungan hidup
dan pembanguan yang tercermin dalam nama Konperensi PBB tentang Lingkungan
Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro. Akhirnya 30 tahun setelah Konperensi
Stokholm diadakanlah KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg. Lingkungan
hidup bukan isu utamanya, melainkan ia merupakan bagian pembangunan
berkelanjutan, yang seperti disyaratkan oleh WCED pertama, harus meningkatkan
potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup dan kedua, menjamin terciptanya
kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dengan PB taraf hidup
masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang tidak merusak lingkungan hidup
biofisik, maupun sosial-ekonomi budaya. Bahkan dengan PB kualitas lingkungan
hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya akan diperbaiki dan ditingkatkan. PB
digunakan untuk mengelola lingkungan hidup.
Isu
PB telah merebak di Indonesia sejak tahun 1980-an dan merupakan kebijakan
pembangunan resmi pemerintah. Ini terlihat juga dengan disusunnya Agenda 21
nasional Indonesia. Namun terdapat dikhotomi pembangunan, yaitu yang tertera
dalam Pelita yang sekarang berwujud Propenas dan Propeda serta yang disebut PB
dalam Agenda 21. Pelita, Propenas dan Propeda dikelola oleh Bappenas dan
Bappeda, sementara PB dikelola oleh Menteri LH. Pelita, Propenas dan Propeda mendapatkan anggaran belanja dari
APBN dan APBD. Tapi Menteri LH hanya mempunyai anggaran operasional untuk
kementeriannya sendiri sehingga PB harus mencari dana sendiri. Misalnya, dari
UNDP, UNEP dan Bank Dunia/GEF. Dana itu tidak mudah untuk mendapatkannya, jalur
birokrasinya panjang dan besarnya dana biasanya tidak besar. Tidaklah
mengherankan bahwa komitmen untuk melakukan PB di pusat dan di daerah tidaklah
besar sehingga PB tersendat-sendat.
Sebab
lain tersendat-sendatnya PB ialah tidak adanya tolok ukur untuk PB. Berbeda
dengan tolok ukur pembangunan ekonomi yang dengan jelas dapat diukur dengan
GNP. Karena hanya yang dapat diukurlah yang dilaksanakan, pembangunan ekonomi
telah dilaksanakan dengan gencar. Tetapi
karena PB tidak dapat diukur, PB hanya bersifat retorik dan sloganisme belaka.
Jelas,
kedua kendala di atas haruslah diatasi. Pertama, dikhotomi pembangunan haruslah
dihapus. Propenas dan Propeda harus juga memenuhi syarat PB. Misalnya,
pembangunan kehutanan yang tidak berkelanjutan, seperti kita lihat hingga
sekarang, tak dapat dilanjutkan. Demikian pula pembangunan bendungan dan situ
(waduk) yang mempersulit kehidupan dan memelaratkan penduduk setempat tidaklah
sesuai dengan syarat PB, seperti tertera
dalam laporan WCED dan diuraikan di atas. Pembangunan demikian tidak dapat
disetujui. Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh melakukan pembangunan
kehutanan dan pembangunan bendungan. Boleh, tetapi rancangannya harus diubah
dan menjadi ramah lingkungan hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya. Dengan
penghapusan dikhotomi itu kita hanya mengenal satu jenis pembangunan, yaitu
pembangunan nasional dan daerah yang berkelanjutan. Pembangunan nasional/daerah
adalah kata bendanya, dan berkelanjutan adalah kata sifatnya.
Kedua,
PB harus dapat diukur secara kuantitatif. Ukuran kuantitatif itu harus
mencerminkan syarat ramah lingkungan hidup biofisik dan sosial-ekonomi budaya.
Untuk ukuran kuantitatif itu kita gunakan kriteria pro-lingkungan hidup
(biofisik), pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan.
Pro-perempuan dimasukkan, karena perempuan memegang peranan sangat penting
dalam kehidupan kita. Mereka yang mengandung janin generasi yang akan datang. Jika
kesehatannya tidak baik, dia akan mengalami keguguran atau janinnya tidak dapat
tumbuh dengan normal. Setelah bayi lahir, dia menyusuinya. Jika air susunya
tidak lancar, pertumbuhan bayi juga terganggu. Apalagi jika air susunya
tercemar dengan bahan beracun, misalnya DDT. Perempuan pulalah yang memegang
peranan penting dalam pendidikan anak-anak, terutama balita. Singkatnya,
perempuanlah penentu hari depan bangsa.
Keempat
kriteria itu kita gunakan sebagai pilar PB. Indeks keempat pilar itu kemudian
dapat diolah menjadi satu indeks PB. Dengan empat pilar itu PB dapat memenuhi
syarat seperti tertera dalam laporan WCED, yaitu pertama, meningkatkan
potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup dan kedua, menjamin terciptanya
kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Jadi ramah lingkungan hidup
biofisik, maupun ramah lingkungan hidup sosial-ekonomi budaya.
Metode
pengukuran lingkungan hidup biofisik sudah kita ketahui dan banyak kita gunakan
dalam studi AMDAL. Metode itu masih dapat diperbaiki dan disempurnakan.
Pengukuran pro-rakyat miskin menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human
Poverty Index (HPI). Pro-perempuan diukur dengan Indeks Pembangunan Jender (IPJ)
atau Gender-related Development Index (GDI) dan Ukuran Pemberdayaan
Jender (UPJ) atau Gender Empowerment Measure (GEM). Metode pengukuran
IPM, IKM, IPJ dan UPJ telah dikembangkan oleh UNDP dan sudah digunakan secara
internasional. Pro-lapangan pekerjaan diukur dengan menghitung banyaknya
lapangan pekerjaan yang tercipta per periode tertentu. Indeks itu dapat
dihitung dengan menggunakan data Biro Pusat Statistik (BPS). Tak perlu
dilakukan usaha khusus untuk mengumpulkan data itu.
Dengan
adanya ukuran kuantitatif yang dapat dihitung secara periodik, prestasi kerja
PB pemerintah dapat diukur. Pada tingkat
daerah kita ukur prestasi PB gubernur, bupati dan walikota. Pada awal jabatan
seorang pejabat dihitung indeks PB daerah yang bersangkutan. Kemudian kita
tuntut agar pada laporan akhir jabatannya dihitung lagi indeks tersebut. Jika
indeksnya naik, dia telah berhasil melakukan PB di daerahnya. Jika turun, dia
telah gagal melakukan PB. Jika dia berhasil, masyarakat akan mendukungnya untuk
dipilih kembali. Jika gagal, dia tidak akan mendapat dukungan untuk dipilih
kembali. Mekanisme ini mendorong para pejabat untuk berkelakuan ramah
lingkungan hidup baik biofisik, maupun sosial-ekomomi budaya. Pada prinsipnya
cara ini juga dilakukan untuk para anggota DPR/DPRD. Anggota yang mendukung
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang pro-lingkungan hidup
(biofisik), pro-rakyat miskin, pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan akan
kita dukung untuk dipilih lagi. Yang menentang, tidak kita dukung untuk dipilih
lagi.
Sebagai
contoh kita lihat Jawa Barat. Menurut data yang dipublikasi oleh BPS, Bappenas
dan UNDP dalam tahun 2001, IPM-nya pada tahun 1999 ialah 64,6, IKM 26,9 (1998),
IPJ 56,4, dan UPJ 47,7, dengan peringkat nasional berturut-turut, 15, 15, 17
dan 14. Kita bandingkan prestasi ini dengan sebuah propinsi yang lebih miskin
daripada Jawa Barat, tetapi prestasinya mengagumkan, yaitu Yogyakarta. IPM-nya
ialah 68,7, IKM 18,5 (1998), IPJ 66,4 dan UPJ 58,8, dengan peringkat nasional
berturut-turut 2, 2, 1 dan 1. Bandung (IPM 66,6, peringkat 81) yang kita anggap
lebih maju dari Yogyakarta jauh ketinggalan dari Yogyakarta (IPM 73,4,
peringkat 2). Gunung Kidul, sebuah kabupaten yang amat miskin, mempunyai IPM
63,6 dengan peringkat nasional 165, lebih tinggi daripada Subang (IPM 63,1,
peringkat 182), Majalengka (IPM 62,8, peringkat 192), Garut (IPM 61,7,
peringkat 223), Cirebon (IPM 61,6, peringkat 227), Karawang (IPM 60,9,
peringkat 237) dan Indramayu (IPM 56,5, peringkat 269). Jelas Subang,
Majalengka, Garut, Cirebon, Karawang dan Indramayu jauh lebih subur daripada
Gunung Kidul. Kok kalah dari Gunung Kidul. Sepantasnyalah kita warga Jawa Barat
malu atas prestasi yang rendah ini. Jika gubernur, bupati dan walikota tidak
dapat memperbaiki prestasinya, seyogyanyalah mereka tidak kita dukung untuk
dipilih lagi.
Beberapa
contoh PB menyusul. Pertama ialah kerusakan hutan yang sedang kita tangani
dengan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang beberapa waktu yang lalu
telah diluncurkan oleh Pemda Jawa Barat (PR, 13/11/03). GRLK jelas menangani
kerusakan hutan dengan reboasasi dan penghijauan, tapi tidak jelas program
pembangunannya. Pengalaman sejak akhir tahun 1960-an menunjukkan, reboasasi dan
penghijauan telah gagal, karena lahan kritis tidak kunjung habis, melainkan
malah bertambah luas. Karena itu telah disarankan untuk mengubahnya, yaitu
menggunakan dana reboasasi dan penghijauan untuk pembangunan daerah pedesaan
sehingga rakyat dapat hidup layak tanpa mengganggu lagi hutan. Hutan yang tidak
terganggu akan pulih dengan sendirinya secara alamiah. Proses pemulihan ini
dapat berjalan cepat dan seiring dengan itu fungsi hidro-orologi juga dengan
cepat pulih. Pembangunan itu bertujuan untuk menciptakan sumber pendapatan dan
lapangan pekerjaan baru. Pembangunan itu didukung oleh pengembangan energi
terperbarukan (renewable energy) biomassa, angin dan surya. Dengan
pengembangan itu beban perempuan untuk mengumpulkan bahan bakar berkurang.
Tungku hemat energi akan mengurangi pencemaran di dapur sehingga perempuan yang
masak dan balita yang menyertai mereka di dapur juga berkurang penderitaanya.
Salah satu jenis pembangunan yang mungkin ialah eko-wisata dengan hutan yang
direhabiltasi sebagai daya tariknya. Dengan demikian rakyat didorong untuk
menjaga hutan tersebut, karena menjadi sumber pendapatannya. Jelaslah,
pembangunan itu memenuhi syarat PB pro-lingkungan hidup, pro-rakyat miskin,
pro-perempuan dan pro-lapangan pekerjaan. Indeks PB berupa IPM, IKM, IPJ dan
UPJ akan meningkat.
Di
kota masalah besar yang dihadapi ialah PKL dan transpor. Sumber masalah PKL
ialah kurangnya lapangan pekerjaan. Menggusur PKL dan memindahkannya tidak akan
memecahkan masalah. Pengalaman kita menunjukkan, hasilnya hanya sementara saja.
Penertiban itu berdalih karena kota menjadi kumuh dan pejalankaki terganggu
karena trotoar disita oleh PKL. Tetapi mobil yang diparkir di trotoar tidak
ditertibkan. Bahkan ada trotoar yang diubah menjadi tempat parkir. Tengok saja
di Jalan Banda dan Jalan Martadinata. Akibatnya pejalankaki harus jalan di badan
jalan, yang sudah barang tentu berbahaya. Karena sumber masalahnya adalah
kurangnya lapangan pekerjaan, masalah itu hanya dapat diatasi dengan penciptaan
lapangan pekerjaan baru. Jadi harus ada program pembangunan untuk menyalurkan
para PKL ke kegiatan ekonomi baru yang bukan ke-PKL-an disertai dengan
pendidikan dan latihan serta pengadaan kredit usaha. . Hasil pembangunan
demikian berjangka panjang dan memenuhi syarat PB.
Transpor
adalah masalah berat lain. Jumlah kendaraan bermotor terus bertambah dan laju
pertumbuhan jumlah kendaraan lebih besar daripada pertumbuhan kapasitas jalan.
Akibatnya kemacetan lalulintas makin parah. Pencemaran udara makin berat dan
anggaran belanja untuk subsidi BBM juga makin tinggi. Perempuan mendapat dampak
yang berat dari pencemaran udara. Timbal (Pb) yang terdapat dalam asap mobil
terserap ke dalam tubuh dan ditimbun dalam tulang. Pada waktu perempuan hamil,
timbal diremobilisasi dan masuk ke dalam peredaran darah dan ke dalam tubuh
janin. Perkembangan sistem syaraf pusat janin, termasuk otaknya, terganggu.
Sangatlah memilukan melihat polisi lalulintas perempuan yang bertugas mengatur
lalulintas dalam asap tebal dari mobil. Seyogyanyalah pimpinan Polri mengambil
tindakan untuk mencegah dampak negatif asap mobil pada polisi pada umumnya dan
polsi perempuan pada khususnya.
Sumber
masalahnya adalah pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan
pertumbuhan kapasitas jalan. Selama jumlah kendaraan tidak dibatasi, masalah
kemacetan lalulintas tidak dapat terpecahkan dan bahkan makin parah. Karena itu
harus dirumuskan kebijakan untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor di jalan
dengan meningkatkan efisiensi penggunaan kendaraan bermotor. Harus ada
disinsentif untuk menggunakan kendaraan bermotor untuk jarak pendek, misalnya
kurang dari 5 km, dan insentif untuk penggunaan sepeda dan berjalankaki dengan
memperbaiki sistem trotoar dan membuat jalur sepeda sehingga berjalankaki dan
bersepeda menjadi aman dan nyaman. Berjalankaki dan bersepeda adalah moda
transpor yang murah dan sehat. Trotoar tidak hanya dibersihkan dari PKL,
melainkan juga dari mobil yang diparkir di atasnya. Dengan memacu bersepeda
akan tumbuh permintaan untuk sepeda. Tumbuhlah usaha untuk produksi suku cadang
sepeda, perakitan sepeda dan perdagangan sepeda. Lapangan pekerjaan yang baru
dapat digunakan untuk menyalurkan PKL dari pekerjaan ke-PKL-an. Dengan
mengurangi penggunaan kendaraan bermotor kebutuhan memperlebar jalan dan
membuat jalan baru berkurang. Dana yang dihemat dapat digunakan untuk
memperbaiki pelayanan kesehatan dan pendidikan. Juga mengurangi penebangan
pohon. Sistem demikian bersifat PB karena berpihak pada lingkungan hidup, orang
miskin, perempuan dan lapangan pekerjaan. Kendala utamanya ialah kendaraan
bermotor membawa simbol status sosial yang tinggi. Sebaliknya berjalankaki dan
bersepeda dianggap membawa status sosial yang rendah. Karena itu harus ada
tauladan dari pimpinan, yaitu menteri, gubernur, walikota dan bupati serta
anggota DPR/DPRD. Mereka hendaknya menyadari bahwa dengan memberi tauladan
mereka juga menyelamatkan anak dan cucunya dari pencemaran timbal dan zat
karsinogenik dari asap mobil. Hendaknya mereka juga menyadari sebuah laporan
WHO bahwa pencemaran di dalam mobil adalah lebih tinggi daripada di luar mobil.
Jadi yang rajin mengantar-jemput anak dan cucunya ke sekolah adalah pula yang
rajin meracuni anak dan cucunya dengan timbal dan zat karsinogen! Inikah
ungkapan cinta kita pada anak dan cucu kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Revitalisasi Kawasan