Oleh
: Gunadi Kasnowihardjo
I.
PENDAHULUAN
Di era pasca
reformasi dan menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan era pasar global
nanti dan memperhatikan amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya, pengelolaan cagar budaya cenderung “diserahkan” kepada masyarakat,
dalam arti tidak sepenuhnya akan diampu oleh pemerintah. Oleh karena itu
masyarakat warga bangsa Indonesia mau-tidak mau, suka-tidak suka terwujudnya
kesepakatan MEA dan Pasar Global serta terbitnya UU RI harus diterima dengan
tangan terbuka, lapang dada dan legowo.
Untuk menghadapi
tantangan globalisasi dan mentaati Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Dinas Kebudayaan dan Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berkolaborasi dan bersinergi melakukan kegiatan
pelatihan pelestarian bangunan cagar budaya baik konstruksi dari batu, kayu,
bata maupun kombinasinya (batu dan kayu, bata dan kayu, batu, kayu dan bata).
Pelatihan ini diperuntukkan khususnya bagi para penyelenggara jasa konstruksi
dan keteknikan yang pada suatu waktu mereka akan menangani objek pekerjaan yang
termasuk bangunan cagar budaya.
Dengan mengikuti
pelatihan pelestarian bangunan cagar budaya, apabila telah dinyatakan lulus,
maka mereka berhak memiliki sertifikat hasil pelatihan dan akan mendapatkan
referensi sebagai syarat mutlak untuk dapat mengerjakan kegiatan
penyelenggaraan jasa keteknikan ataupun jasa konstruksi dalam pemugaran
bangunan yang termasuk cagar budaya. Apabila kegiatan pelatihan ini tidak
segera dilaksanakan, maka para penyelenggara jasa keteknikan dan jasa
konstruksi kita akan tergeser oleh penyelenggara jasa konstruksi yang berasal
dari negara tetangga yang rata-rata mereka telah bersertifikat, bahkan tidak
sedikit dari mereka telah mendapatkan sertifikat yang diakui secara internasional.
Perlu diingat dan diperhatikan bahwa Masyarakat Ekonomi Asean yang akan diberlakukan pada akhir
2015 nanti membuat persaingan tenaga kerja antar negara-negara ASEAN semakin
ketat.
II. PERSIAPAN
Kegiatan pemugaran
bangunan cagar budaya jauh berbeda dengan pembangunan gedung baru. Hal ini yang
pertama-tama disadari dan dipahami oleh para penyelenggara jasa konstruksi
ataupun jasa keteknikan lainnya. Sebagai rekanan atau pihak penyelenggara jasa konstruksi
atau jasa keteknikan khususnya dalam pemugaran bangunan cagar budaya, langkah-langkah
awal yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut:
A.
Persiapan
administrasi.
Yang dimaksud
dengan persiapan administrasi antara lain kelengkapan persyaratan administrasi
sebagai lembaga atau perusahaan swasta seperti misalnya akte pendirian
perusahaan, NPWP, surat-surat dari instansi/dinas terkait dan sebagainya.
B.
Persiapan SDM
Sebagai perusahaan
yang qualified dituntut memiliki Sumberdaya manusia yang memadai agar dapat
melaksanakan kegiatan dengan memuaskan, baik dan benar, lebih-lebih untuk
bangunan yang termasuk klasifikasi bangunan cagar budaya. Pada umumnya kegiatan
pemugaran bangunan cagar budaya selain melakukan rekonstruksi juga dilakukan
konservasinya. Kedua jenis kegiatan ini dilakukan secara simultan dan
memerlukan sumberdaya manusia yang sifatnya khusus. Bahkan tenaga tukang batu
dan tukang kayunyapun memerlukan pengalaman khusus. Oleh karena para
penyelenggara jasa konstruksi maupun jasa keteknikan pada umumnya belum
memiliki SDM yang ahli masalah cagar budaya, maka biasanya mereka “mempekerjakan”
para ahli arkeologi terutama yang telah “bersertifikat” sebagai ahli cagar
budaya, karena tidak semua ahli arkeologi sebagai ahli cagar budaya, kecuali oknum-oknum
tertentu yang telah memiliki berbagai pengalaman di bidang pengelolaan cagar
budaya.
C.
Persiapan Teknis
Teknis-teknis
konstruksi bangunan cagar budaya yang umumnya berupa teknik tradisional yang
dihasilkan dari kearifan lokal nenek moyang kita harus dipahami terlebih dahulu
oleh para calon pelaksana penyelenggara jasa konstruksi yang akan melakukan
pemugaran bangunan cagar budaya. Beberapa jenis ukuran panjang, lebar,
model-model sambungan, pasak beberapa di antaranya sudah mulai ditinggalkan
oleh generasi sekarang. Dalam persiapan yang bersifat teknis ini akan dapat
ditemukan dari hasil studi kelayakan dan studi teknis yang akan dijelaskan di
bagian berikut ini.
III. STUDI KELAYAKAN
A. Latar Belakang
Studi kelayakan mencakup
pengamatan teknis-arkeologis terhadap objek cagar budaya. Pengamatan yang
dimaksud adalah serangkaian kegiatan pengamatan dalam rangka pembuatan rencana
pemugaran yang didasarkan atas pertimbangan teknis seperti konstruksi, sipil,
arsitektur, konservasi, dan pertimbangan arkeologis berdasarkan prinsip-prinsip
pokok yang berlaku. Oleh karena itu sebelum berlangsung suatu kegiatan
pemugaran, terlebih dahulu harus dilakukan studi kelayakan. Studi ini bertujuan
mengumpulkan data selengkap mungkin untuk dapat dijadikan pertimbangan bagi
keputusan layak tidaknya suatu warisan cagar budaya tersebut dipugar.
B. Pertimbangan
Historis dan Sosial Kemasyarakatan (intangible)
Latar belakang
sejarah suatu objek cagar budaya sangat penting untuk diungkap baik terkait
dengan sejarah lokal, regional, nasional maupun internasional. Berawal dari
latar sejarahnya inilah konteks cagar budaya akan dapat ditemukan dan akan
memberikan sumbangan bagi rekonstruksi sejarah peradaban bangsa kita. Adapun
yang dimaksud pertimbangan Sosial – Kemasyarakatan yaitu hal-hal yang bersifat
kasuistis yang muncul dari anggota masyarakat baik secara perseorangan ataupun
atas nama kelompok. Hal ini biasanya terkait dengan status kepemilikan objek
cagar budaya, dan pemanfaatannya yang tidak pernah dikelola secara profesional.
C. Pertimbangan
Arkeologis (tangible)
Sebagai ilmu yang
sangat khusus dalam penerapannya di lapangan arkeologi memiliki metode
ekskavasi dalam penelitian, oleh sebab itulah selain meneliti artefak yang ada
di atas permukaan tanah, sering pula harus melakukan penggalian untuk
mendapatkan artefak yang ada di dalam tanah. Penelitian artefaktual bagian dari
bangunan dan komponen-komponennya termasuk ragam hias dan arsitekturalnya,
semuanya dikaji, dan dianalisis serta dicari konteks historisnya. Dengan
demikian kajian arkeologis yang bersifat tangible
apakah dapat didukung dari data intangible
atau tidak, hal ini akan dapat diketahui. Karena kadang terjadi kontradiktif antara data tangible dan data intangible.
D. Pertimbangan Teknis
Hasil kajian teknis
ini antara lain terjadinya proses penurunan kualitas bangunan cagar budaya baik
yang disebabkan oleh faktor umur (gejala umum) sehingga terjadi proses
pelapukan. Faktor biotik misalnya tumbuh jamur dan mikro organisma yang mempercepat
proses kerusakan komponen bangunan kayu, adanya rayap dan kelelawar yang
menyebabkan terjadi proses kerusakan pada bagian dari bangunan cagar budaya.
Kemudian faktor abiotik seperti misalnya adanya kapilarisasi air tanah yang
dapat membasahi hingga titik jenuh pada bagian pondasi dan dinding bangunan.
Kelembaban lingkungan yang cukup tinggi akibat kondisi geografis kawasan tropis
menyebabkan mudah rusaknya komponen bangunan yang berbahan kayu dan bambu.
E. Kesimpulan dan
Rekomendasi
Hasil Studi Kelayakan
dapat disimpulkan bahwa sebuah bangunan cagar budaya dapat atau tidak dapat
diusulkan sebagai bangunan cagar budaya yang layak dipugar. Layak tidaknya
kesimpulan tersebut akan mengerucut menjadi satu rekomendasi yang harus
diketahui oleh para pemangku kepentingan antara lain Dinas Kebudayaan dan
masyarakat setempat, pemerintah daerah dari Desa hingga Provinsi, dan juga ke
instansi pusat.
IV.
STUDI TEKNIS
A. Hasil Rekomendasi
Studi Kelayakan
Studi teknis mutlak
harus dilakukan setelah diketahui rekomendasi dari hasil studi kelayakan bahwa
bangunan cagar budaya tersebut layak untuk dipugar atau direstorasi. Studi
teknis untuk kegiatan yang diperkirakan memerlukan tahun jamak (multi years)
kadang perlu disiapkan master plan. Hal ini disebabkan sering dalam kegiatan restorasi bangunan
cagar budaya muncul hal-hal yang bersifat lintas sektor.
B. Data Kerusakan Teknis
Konstruksi
Rekapitulasi data
kerusakan teknis konstruksi secara rinci dilakukan bagian perbagian
didokumentasikan secara lengkap baik dengan foto maupun gambar teknis untuk
bagian-bagian yang penting. Dalam studi teknis dilengkapi pula langkah-langkah
perlakuan yang tepat dalam kegiatan restorasi yang akan dilakukan tahap
berikutnya. Contoh kerusakan teknis konstruksi untuk banguan bata dan kayu dimulai dari kerusakan pondasi, dinding,
lantai, tiang, blandar hingga konstruksi atap. Berapa % kerusakan yang terjadi
dan di bagian mana saja, harus di data seakurat mungkin dan dianalisis, agar
dalam perencanaan baik rekonstruksi di atas kertas maupun dalam menyusun RAB
semuanya tepat sasaran.
C. Data Kerusakan Non
Konstruksi
Yang dimaksud data
kerusakan non konstruksi yaitu kerusakan yang tidak berpengaruh terhadap kekuatan
bangunan seperti misalnya kusen dan daun pintu ataupun jendela, plesteran, cat,
plitur, dan jenis coating lainnya, serta artefak-artefak lain sebagai
kelengkapan dari sebuah bangunan cagar budaya termasuk meubelair yang digunakan
semasa dengan bangunan cagar budaya yang akan dilestarikan. Seperti halnya
dalam mendokumentasikan dan menganalisis data kerusakan teknis konstruksi, akan
tetapi penggantian komponen dalam pelaksanaan restorasi dapat diminimalisir.
Data kerusakan baik untuk teknis konstruksi maupun non konstruksi meliputi
bangunan induk dan bangunan lainnya.
D. Data Kerusakan Biotis
Kerusakan yang
disebabkan oleh tumbuh2an, jamur atau mikroba dan binatang lain seperti rayap,
burung serta kelelawar, secara teknis akan mendapatkan perlakuan khusus yaitu
teknis konservasi dan preservasi.
V.
REVITALISASI
KAWASAN CAGAR BUDAYA
Langkah-langkah
perencanaan dalam kegiatan revitalisasi kawasan cagar budaya tidak berbeda
dengan perencanaan pemugaran bangunan warisan budaya ataupun cagar budaya
seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Beberapa hal yang perlu
dilakukan dalam perencanaan revitalisasi kawasan cagar budaya antara lain:
A. Evaluasi Kebijakan
Hal-hal yang
terkait dengan perlakuan baik masyarakat maupun pemerintah dalam pengelolaan
cagar budaya di sebuah kawasan cagar budaya.
B. Kajian Akademik
Meliputi kajian
historis-arkeologis, orisinalitas kawasan, perubahan yang terjadi dan sebab
musababnya, serta mengapa hal itu bisa terjadi?
Perlu
reinterpretasi sebelum dilakukan revitalisasi?
C. Rekomendasi
Setelah dilakukan
revitalisasi perlukah diterbitkan regulasi khusus untuk melindungi sebuah
kawasan cagar budaya.
VI.
PERENCANAAN
RESTORASI dan REVITALISASI KAWASAN
A. Detail Engineering Design
(DED)
Adalah gambar kerja
secara detail atau sering disebut bestek
yaitu merupakan kunci pokok atau tolok ukur dalam pelaksanaan suatu pekerjaan konstruksi,
baik dalam menentukan kualitas dan skop
pekerjaan, maupun dalam menyusun Rencana Anggaran Biaya.
DED disusun oleh
Konsultan perencana berdasarkan anggaran yang tersedia, sehingga selain gambar
teknis, DED mencakup RAB, dan periodisasi pelaksanaan serta penganggarannya
yang dibatasi dengan sistem termin. Pada umumnya dibagi dalam 4 tahap (termin)
yaitu termin I pekerjaan telah mencapai 30 %, selanjutnya termin II mencapai 60
%, dan termin III pekerjaan telah mencapai 100 %, akan tetapi pembayaran termin
ketiga senilai 30% dari anggaran, sedangkan yang 10 % dibayarkan setelah
selesai atau masa pemeliharaan telah berakhir.
B. Rancangan Anggaran
Beaya (RAB).
RAB merupakan salah
satu syarat mutlak yang harus disiapkan dalam kegiatan restorasi bangunan cagar
budaya, baik yang akan dilakukan oleh lembaga pemerintah pengelola bangunan
cagar budaya maupun lembaga penyelenggara jasa konstruksi dari pihak ketiga.
RAB meliputi:
1. Gaji/upah
2. Bahan
3. Alat
4. Perjalanan
C. Rencana Kerja (Jadwal
Kegiatan)
No
|
Jenis Kegiatan
|
Bulan pelaksanaan
|
Ket.
|
|||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
|||
1.
|
Pendokumentasian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Secara simultan
|
2.
|
Pembongkaran
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Konservasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Secara simultan
|
4.
|
Pemasangan kembali
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Penataan lingkungan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Taman & tanam pohon
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Revitalisasi Kawasan