KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Rabu, 10 Desember 2014

Elemen Pembentuk Citra Kawasan

Sejarah Kota
Transformasi dari hutan menjadi kota
Tumbuh secara terencana dan organik
Gabungan antara bangunan, ruang terbuka dan vegetasi
Civic center berkembang terintegrasi
Civic center berkembang dengan alokasi etnis berdampingan
Civic center berkembang secara berkesinambungan (yang baru tumbuh tanpa mematikan yang lama)
Belakangan pembangunan kurang terkendali

Kerusakan terjadi karena: alami, ketidaktahuan, kesengajaan.

Sosial Budaya
Bangunan Cagar Budaya menjadi bagian dari dinamika sosial budaya masyarakat dengan beberapa relasi:
Rasa Handarbeni menjadikan masyarakat berpartisipasi melestarikan

BCB memiliki nilai mistik yang membuat masyarakat menghargai

BCB memiliki nilai sosial sebagai milik bersama

BCB memiliki nilai ekonomi untuk memberi kemanfaatan yang lebih langsung kepada masyarakat


Cagar Budaya dan dinamika masyarakat di Malioboro
(foto: Christian Breijer)


Hukum
PERATURAN VERTIKAL
Undang-undang No II Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya
Peraturan Daerah Istimewa no 1 tahun 2013 tentang Kewenangan dalam Urusan Keitimewaan DIY
PERATURAN HORISONTAL
Peraturan Gubernur nomor 62 tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya
Peraturan Gubernur No 40 tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Banguanan Baru Bernuansa Budaya Daerah
Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2014 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya
Peraturan Gubernur nomor 55 tahun 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya.


Elemen Pembentuk Citra Kawasan
JALUR (path)

KARAKTERISTIK
Elemen linear yang berperan sebagai jalur perlintasan baik aktual maupun potensial; Elemen perangkai beberapa elemen lain.

WUJUD
Jalan, lorong, gang, trotoir, pedestrian, kanal, rel kereta,

STRATEGI PENGUATAN
·Kesinambungan (continuity)
·Keterarahan (directionality)
·Keberadaan penanda awal dan akhir
·Penguatan tepian yang melingkupi kedua sisinya



Elemen Pembentuk Citra Kawasan
TEPIAN (edge)

KARAKTERISTIK
Elemen linear yang tidak berperan sebagai jalur perlintasan; seringkali berupa pembatas dua area; 

WUJUD
Tembok, benteng, pantai, pagar, railing, fasad, jajaran pohon, jajaran lampu jalan dsb.

STRATEGI PENGUATAN
Secara visual mencolok
Ritmis
Menerus
Tak dapat ditembus


Elemen Pembentuk Citra Kawasan
DISTRIK(district)

KARAKTERISTIK
Elemen ruang berskala menengah sampai besar yang memiliki keserupaan karakter di semua bagiannya dan dapat dikenali dengan memasukinya

WUJUD
Kampung, Alun-alun, perumahan, permukiman, pemakaman,

STRATEGI PENGUATAN
Kemenerusan
Keserupaan karakter
Pembedaan karakter dengan sekitarnya



Elemen Pembentuk Citra Kawasan
TENGARAN (landmark)

KARAKTERISTIK
penanda yang bersifat eksternal dan berjarak dari pengamat; bersifat tunggal dengan bentuk yang khas;
WUJUD
Tugu, monumen, minaret, menara air, pencakar langit, dsb
STRATEGI PENGUATAN
Kejelasan sosok dan bentuk
Kontras dengan latar belakangnya
Kemudahan dilihat dari jauh


Elemen Pembentuk Citra Kawasan
SIMPUL (node)

KARAKTERISTIK
Tempat perjumpaan, ketibaan, keberangkatan, persimpangan yang mengharuskan kita menentukan pilihan untuk langkah berikutnya, Dapat bersifat introvert atau ekstrovert.

WUJUD
Simpang jalan, pelataran, alun-alun, plasa, entrance, gerbang, stasiun, bandara, terminal.

STRATEGI PENGUATAN
Penanda tujuan
Penanda pilihan
Penanda persimpangan
Memorable & imegeable space.


Identifikasi
Elemen Pembentuk Citra Kawasan dan Perumusan Arahan Pelestarian
Perumusan arahan pelestarian berorientasi dalam rangka pembentukan CITRA KAWASAN dengan berfokus pada bangunan, struktur dan situs CAGAR BUDAYA dan warisan budaya.

Kawasan dibagi menjadi sejumlah sub-kawasan berdasar karakter visualnya agar dapat dirumuskan arahan pembangunan secara relevan.



Rabu, 03 Desember 2014

PENATAAN KAWASAN JALAN SOLO MENJADI KAWASAN YANG SEJUK DAN BERSAHABAT

 Septian Ramanda Putra
 114080106

Perkembangan jumlah pendatang dan kendaraan yang masuk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y) dewasa ini sangat pesat. Hal ini dikarenakan D.I.Y merupakan salah satu destinasi tempat wisata terbesar selain Pulau Bali, karena banyak memiliki tempat-tempat wisata yang sarat akan kebudayaan. Selain itu D.I.Y juga menjadi tujuan tempat untuk menuntut ilmu, maka tidak dapat dipungkiri D.I.Y setiap tahunnya akan menjadi semakin ramai sebab mahasiswa baru datang dari seluruh daerah di nusantara ini untuk mendaftar serta menjadi mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta yang terdapat di D.I.Y. Melihat kondisi yang seperti itu mau tidak mau daerah-daerah yang menjadi tujuan tersebut harus mempersiapkan sarana dan prasarana penunjang, seperti hotel, restoran, kos-kosan, pusat perbelanjaan, lahan parkir dan sebagainya. Daerah yang terkena dampak langsungnya adalah daerah Sleman dan kota Yogyakarta.
Sleman dan kota Yogyakarta pada saat ini menjadi pusat pembangunan infrastruktur penunjang kemajuan bertambahnya pendatang dan kendaraan yang masuk ke wilayah D.I.Y. Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg, 1988). Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000).
Hal ini mengakibatkan daerah Sleman dan kota Yogyakarta menjadi sangat macet dan padat. Jalan yang menjadi pusat kemacetan dikala hari libur dan hari-hari tertentu adalah jalan solo, jalan yang membelah 3 kabupaten besar di wilayah D.I.Y , yaitu Sleman, Bantul dan Yogyakarta. Jalan ini merupakan jalur terpadat yang terdapat di daerah D.I.Y. Karena jalan ini merupakan pusat jalur perlintasan pendatang yang masuk dan keluar kota Yogyakarta. Masyarakat setempat juga menggunakan jalan ini sebagai tempat mengais rezeki dengan berjualan di sepanjang jalan solo dan memakai bahu jalan sebagai lahan parkir. Daerah yang sangat ramai dapat terlihat mulai dari Pertigaan Bandara Adi Sucipto hingga daerah Tugu Yogyakarta.
Pusat kemacetan membentang dari Jembatan Layang Janti (Janti Fly Over) hingga mengarah ke Tugu Yogyakarta. Sebaiknya di sepanjang jalan ini ditanami tumbuhan perindang seperti yang terdapat di kawasan RS Bethesda hingga pertigaan lampu merah Jl. C Simanjuntak. Bila kita melewati kawasan ini terasa sangat sejuk walaupun harus didera dengan kemacetan yang panjang, berbeda dengan kawasan Janti Fly Over hingga Mall Galeria. Kawasan ini sangat gersang dengan ruang terbuka yang dihiasi oleh bangunan-bangunan pertokoan dan tempat hiburan.
Disarankan, penanaman di jalur hijau menggunakan pohon berkarakter akar tunggang yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak merusak jalan atau trotoar. Selain itu, batang dan dahan pohon juga harus tidak mudah roboh atau patah serta berusia panjang. Contohnya, pohon asam (Tamarindus indica), pule (Alstonia scholaris), kenari (Canarium vulgare), kepel (Stelechocarpus burahol), dan tanjung (Mimusops elengi). Pohon mahoni (Swietenia mahagoni) tak direkomendasikan karena bersifat menggugurkan daun pada musim kemarau dan buahnya berukuran besar. Hal ini bisa membahayakan pengguna jalan yang berlalu lintas padat. Selain itu, kotoran daun juga bisa menyumbat aliran air di selokan. Dari semua pilihan, penanaman pohon asam menjadi pilihan karena karakter batang besar, tegak, dan akar tidak muncul di permukaan (tak berbanir). Kelemahannya, jika berbuah, rawan dipanen buahnya. Pohon asem juga sangat kuat terhadap bencana angin kencang bila ia dirawat dengan baik. Pohon tumbang, jika terjadi di pinggir jalan kota yang berlalu lintas padat, akan sangat membahayakan.
 Keberadaan Vegetasi pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat mempengaruhi kondisi atmosfer setempat karena vegetasi pohon mampu menurunkan suhu, menaikan kelembaban dan mengurangi kecepatan angin (Fandeli Chavid & Muhammad 2009). Pada areal Bangunan dibuat sebuah taman yang memberi kesan indah dan sejuk diantaranya seperti Taman Atap (Roof Garden). Keberadaan taman atap, memiliki peran penting seperti halnya ruang hijau lainnya. Ancaman terhadap eksistensi Ruang Terbuka Hijau akibat pembangunan infrastruktur-infrastruktur dapat diimbangi atau dikompensasi dengan mengembangkan taman atap. Pada umumnya manfaat taman atap (Roof garden) adalah sebagai berikut :
·         Mengurangi tingkat polusi udara.
·         Menurunkan suhu udara.
·         Mengurangi polusi suara / kebisingan.
·         Menempilkan keindahan pada aspek bangunan (estetika).
 Energi Fosil merupakan penyediaan utama untuk mencukupi kebutuhan energi saat ini. Sejalan dengan kemajuan suatu negara dan pembangunan yang dilakukan pemakaian permintaan energi semakin meningkat. Keadaan ini akan berakibat semakin menipisnya persediaan bahan bakar fosil dan semakin meningkatnya beban pencemaran atmosfer ini. Untuk mengatasi kedua hal tersebut kiranya harus ditingkatkan pengupayaan sumber energi lain yang memiliki sifat diantaranya (Supranto, 2008) :
·         Dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar fosil, terutama minyak bumi.
·         Dapat menyediakan listrik dalam skala lokal regional.
·         Mampu memanfaatkan sumber energi setempat
·         Tersedia dalam jumlah yang cukup banyak dan ramah lingkungan dalam arti kecil efek pencemarannya terhadap alam sekitar.
Energi terbaharukan mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah (Djiteng Marsudi,2005) :
·         Lebih bersih, selamat (Aman) dan sumbernya tidak terbatas karena selalu dapat diperbaharukan dan energi ini mempunyai efek negatif yang minimum terhadap lingkungan.
·         Tidak dipengaruhi oleh suasana politik, tidak dapat dimonopoli dan tidak dapat dipakai sebagai alat politik seperti halnya energi bahan bakar fosil.

  
DAFTAR PUSTAKA

·         Djiteng Marsudi, 2005, “Pembangkitan Energi Listrik”, Penerbit Erlangga, Jakarta.
·         Supranto, 2008, Konservasi Energi”, Penerbit Percetakan UPN “Veteran”, Yogyakarta.
·         Fandeli Chafid & Muhammad, 2009, “Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap”, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
·         Grigg, Neil, 1988. Infrastructure Engineering and Management. John Wiley and Sons.
·         Grigg, Neil, & Fontane G. Darrel, 2000. Infrastructure System Management & Optimization. Internasional Seminar “Paradigm & Strategy of Infrastructure Management” Civil Engeenering Departement Dipononegoro University.


Selasa, 02 Desember 2014

Revitalisasi Kampung Laut Menjadi Kawasan Ekowisata nan Eksotis



Sejak tahun 1999, pemerintahan di Indonesia tidak lagi terpusat di ibukota. Dengan payung hukum UU no. 22 tahun 1999 yang kini digantikan oleh UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan daerahnya termasuk mengembangkan potensi daerah yang selanjutnya digunakan sebagai sumber perekonomian masyarakatnya. Inilah yang disebut otonomi daerah. Kebijakan tersebut memacu tiap daerah berlomba-lomba “menjual” potensi daerahnya berdasarkan citra yang dimiliki. Citra atau city branding adalah nilai lebih suatu daerah seperti destinasi (wisata), kawasan industri, atau perumahan yang diangkat oleh para perencana dan perancang kota beserta semua pemangku kepentingan. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, kota harus mampu membuat pelaku bisnis dan investor masuk dan tertarik untuk berusaha dan menanamkan modalnya. Kota juga harus mampu menarik hati turis untuk datang berkunjung dan membelanjakan uangnya. Selain itu, kota juga harus mampu mempertegas identitas dan meningkatkan harkat yang dimiliki oleh warganya (M. Rahmat Yananda, 2014). Indonesia sebagai negara kepulauan tentu akan menonjolkan citra kota-kota pesisir, salah satunya Kabupaten Cilacap. Faktanya, hal tersebut belum terimplementasikan pada kecamatan termuda Kabupaten Cilacap, Kampung Laut.
Kampung Laut merupakan kecamatan di Kabupaten Cilacap yang terletak di tengah-tengah laguna Segara Anakan, di antara pesisir selatan Pulau Jawa dan utara Pulau Nusakambangan. Wilayahnya merupakan daerah pantai dan hutan bakau (mangrove)  dengan luas 17.512,05 Ha, yang terbagi dalam empat desa yang terpisah pula oleh aliran sungai hingga membentuk seperti pulau-pulau kecil yaitu Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel, dan Klaces. Dari beberapa literatur yang ada, penduduk asli Kampung Laut konon merupakan keturunan dari prajurit Mataram Yogyakarta yang ditugaskan untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak laut Portugis. Setelah berhasil, mereka enggan untuk kembali ke Mataram melainkan tinggal di kawasan Cilacap dan sekitarnya termasuk Pulau Nusakambangan. Ketika supremasi Kerajaan Mataran melemah dan akhirnya dikuasai oleh kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda, banyak daerah yang semula milik Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Hindia Belanda termasuk Cilacap dan Pulau Nusakambangan yang kemudian dipilih sebagai tempat pembuangan orang-orang yang dianggap melanggar hukum. Para narapidana yang tidak diurus dengan baik tersebut mulai mengganggu penghuni Nusakambangan yaitu para prajurit Mataram, sehingga mereka memutuskan untuk menyingkir dan membuat rumah-rumah di Segara Anakan. Kelompok-kelompok pemukiman di atas air dengan tipe rumah panggung mulai bermunculan dan membentuk sebuah perkampungan. Inilah asal muasal tercetus Kampung Laut yang berarti perkampungan di atas air atau laut.

 Bentuk Rumah di Kampung Laut tahun 1935 (kiri) dan sekarang (kanan)


 Unik. Tetapi keunikan ini tidak hanya terbatas pada letaknya yang di atas air, lokasinya juga berada di tengah-tengah sebuah laguna terbesar di Asia. Laguna merupakan sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang berupa pasir, batu karang dan lain sebagainya. Air laut yang terperangkap bercampur dengan air sungai yang bermuara menjadikan salinitasnya berkurang hingga payau dengan keadaan perairan relatif tenang.
Seiring dengan perkembangan jaman, identitas dari Kampung Laut beranjak hilang. Permasalahan yang muncul bukan hanya dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetapi juga degradasi lingkungan. Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung beranjak punah. Penyebabnya, masyarakat semakin sulit mendapatkan kayu tancang atau kayu jenis lain yang baik digunakan untuk bangunan rumah. Selain itu pendangkalan hebat dengan laju yang sangat cepat terjadi secara kontinu dari material-material terutama lumpur yang dibawa oleh Sungai Citanduy dan sungai lainnya yang bermuara di Segara Anakan. Hal ini berujung pada sedimentasi dan pengurukan kolong-kolong rumah hingga seluruh area pemukimaan tersebut kini menjadi daratan.  Bentuk rumah pun berubah menjadi tipe rumah modern.
Pendangkalan telak membuat Segara Anakan menyempit bahkan hanya bisa dilalui oleh kapal kecil. Tercatat saat surut, kedalaman Segara Anakan hanya mencapai 0,5-0,75 meter. Kondisi yang memprihatinkan ini pada dasarnya adalah dampak dari aktivitas manusia sendiri seperti maraknya ilegal logging dan pembabatan tanpa aturan terhadap hutan mangrove oleh masyarakat sekitar, konversi hutan bakau menjadi tambak, serta perburuan liar. Hingga saat ini, dari 35 jenis mangrove yang ada, 26 diantaranya terancam punah. Kehidupan di Kampung Laut merupakan suatu ekologi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Terbukti, hutan mangrove yang berperan penting untuk mencegah pendangkalan, jika hilang maka pendangkalan hebat seperti saat inilah yang terjadi. Selanjutnya pendangkalan akan merusak ekosistem perairan dimana pada dasarnya perairan di bawah hutan mangrove dapat dikatakan titik-titik strategis untuk pembiakkan ikan, udang, dan kepiting. Selain itu jumlah satwa lain seperti burung bangau, kunthul, dan monyet menurun drastis seiring rusaknya habitat mereka. Hilangnya ekosistem maka hilang pula penghuni perairan. Penghasilan masyarakat sebagai nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan, jatuh bebas karena minimnya ikan yang dapat dijaring. Dengan penghasilan minim, masyarakat merugi hingga bangkrut. Pengangguran menjamur. Daya hidup rendah membuat masyarakatnya tidak sempat memikirkan pendidikan yang dikhawatirkan akan menuju masyarakat tertinggal. Kondisi ini diperparah dengan maraknya isu-isu Kampung Laut sebagai area lokalisasi. Berbagai masalah tersebut serta merta membuat daerah Kampung Laut dan masyarakatnya dipandang sebelah mata. Hanya masuknya listrik yang membuat Kampung Laut masih bertahan dengan memanfaatkan tenaga surya yaitu energi yang didapat dengan mengubah energi panas matahari dengan peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain (listrik) (Ir.Sutarno, 2013).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan suatu upaya revitalisasi kawasan Kampung Laut agar dapat mengembangkan potensi daerahnya dengan memberdayakan masyarakat untuk mengelola yang nantinya menjadi penopang perekonomian masyarakat itu sendiri. Menyinggung ekonomi, dengan menerapkan tema Hari Lingkungan Hidup tahun 2012 yaitu Green Economy atau ekonomi hijau dirasa sesuai. Makna ekonomi hijau ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, keadilan sosial dan secara bersamaan mengurangi resiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (Sudharto P. Hadi, 2014). Tema ini jelas sangat mendukung konsep revitalisasi yang digalakan yaitu Eksotisme Ekowisata Kampung Laut. Dalam The International Ecotourism Society tahun 1990 menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami yang menjaga kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk setempat.
Point ekowisata yang akan ditonjolkan meliputi ekowisata mangrove dimana wisatawan tidak hanya melihat dan mempelajari tentang mangrove namun juga dapat melihat keempat LP yang ada di Pulau Nusakambangan, wisata religi di Goa Masigit Sela, wisata kuliner khas Kampung Laut seperti kerang totok, kepiting, ikan, dan udang yang fresh dari hasil tangkapan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai nelayan serta makanan khas Cilacap yaitu mendoan, wisata Pantai Rancababakan yang eksotis dengan keindahan batukarang, resort di atas air yang kental dengan etnik Jawa, penjualan souvenir khas Kampung Laut hasil keterampilan tangan ibu-ibu rumah tangga, hingga nilai-nilai budaya seperti Upacara Sedekah Laut.
Ekowisata Mangrove menjadi point utama dalam konsep ini, alasannya mangrove memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir. Selain itu, hutan mangrove di wilayah Segara Anakan merupakan yang terbesar dan terlengkap jenisnya di Asia sehingga dapat dirujuk sebagai laboratorium alam yang dapat memegang peranan penting dalam pendidikan.



Hasil dari konsep ekowisata : (dari kiri ke kanan atas) demaga, resort, ekowisata mangrove, (dari kiri ke kanan bawah) upacara sedekah laut, Pantai Rancababakan, kuliner




Untuk menghasilkan konsep yang sinergis antara keberlanjutan SDA dan SDM, maka harus didukung dengan infrastruktur seperti jalan dan sarana prasarana yang memadai. Langkah utama yang dapat diambil yaitu menggalakan budidaya mangrove (mangrovisasi) dan penambahan gazebo di beberapa titik hutan mangrove sebagai tempat peristirahatan sejenak saat diperjalanan. Melihat dari rute wisata yang bermula dari pelabuhan Seleko, Desa Ujung Alang, Desa Klaces hingga Pulau Nusakambangan, yang semuanya menempuh jalur perairan maka pemenuhan sarana transportasi berupa kapal kecil yang terjadwal secara lengkap beserta ketersediaan tourguide sangat perlu dilakukan. Tak ketinggalan kemudahan akses dan keteraturan serta keindahan pelabuhan atau dermaga juga menjadi perhatian.
Dengan konsep Eksotisme Ekowisata Kampung Laut yang sudah menggugah dari segi penamaan ‘Kampung Laut’ sendiri diharapkan mampu mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Tingkat pengangguran berkurang dan daya hidup masyrakatnya meningkat. Kaum hawa tidak lagi menjadi pihak pasif, tetapi lebih aktif tanpa harus mengurangi kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Masyarakat sebagai pengelola harus mampu merawat serta menjaga kebersihan lingkungannya begitu pula dengan wisatawan. Bila hal ini terlaksana dengan baik maka, periwisata yang berkelanjutan dan sustainable development dapat tercapai untuk mendukung Pembangunan Milenium Indonesia.

Daftar Pustaka :
Hadi, Sudharto P. 2014. Bunga Rampai Manejemen Lingkungan. Yogyakarta : Thafa Media Yogyakarta
Yananda, M.Rahmat. 2014. Branding Tempat : Membangun Kota, Kabupaten, an Provinsi Berbasis Identitas. Yogyakarta : MaknaInformasi
Ir. Sutarno. 2013. Sumberdaya Energi. Yogyakarta : Graha Ilmu


Senin, 08 September 2014

M A L I O B O R O : P E R A N & C I T R A


M  A  L  I  O B  O R  O :
P E R A N  &  C I T R A
•   Ikon kawasan wisata kota
  Sentra perdagangan dan jasa
  Ruang ekpresi seni dan budaya
  Kawasan ruang publik kota
  Potret wajah dan dinamika kota.

Daerah Istimewa Jogjakarta dengan wilayah seluas 32,5 km2,  beribukota di Jogjakarta, sebuah kota yang kaya predikat, pernah sebagai Ibukota Republik Indonesia, kota kebudayaan, kota pendidikan serta kota pariwisata.

Dalam peta kepariwisataan nasional, potensi Daerah Istimewa Jogjakarta menduduki peringkat kedua setelah Bali, hal ini karena adanya beberapa faktor seperti ; keragaman obyek,  kesiapan sarana penunjang wisata, sumber daya manusia yang memenuhi baik kualitas maupun kuantitas, wisata industri yang terdapat tidak kurang dari 70.000 industri kerajinan tangan, fasilitas akomodasi dan transportasi termasuk internasional airport Adisucipto, aneka jasa boga, biro perjalanan, serta dukungan pramuwisata yang memadai dan pengamanan wisatawan domestik maupun internasional.

Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai propinsi tujuan utama (primary destination) bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Sebutan Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai 'kampung internasional' membuktikan kedekatan atmosfir Jogjakarta dengan 'selera eksotisme' wisatawan mancanegara.

•Malioboro sebagai simbol pariwisata Jogjakarta yang berarti bahwa menjadi milik, bukan hanya masyarakat Jogjakarta tetapi adalah milik dari masyarakat wisatawan baik nasional maupun wisatawan mancanegara.
Kondisi Malioboro saat ini sangat padat dan terkesan kurang tertata dengan baik dari aspek fungsi transportasi, fungsi pejalan kaki maupun fungsi bisnis karena pertokoan-pertokoan yang ada justru tertutup oleh Pedagang Kaki Lima.
Dari sisi legal, kontradiktif antara fungsi transportasi dan fungsi bisnis terutama fungsi jalan di pakai untuk parkir sepeda motor maupun kendaraan tidak bermotor.
•Dari sisi sosial kemanusiaan terlihat kurang manusiawi dan dari segi budaya terjadi perubahan makna dari sejarah Malioboro itu sendiri.
•Ruang lingkup Kawasan Malioboro adalah wilayah yang di batasi oleh sebelah Utara TUGU, sebelah Selatan KRAPYAK, sebelah Timur KALI CODE dan sebelah Barat KALI WINONGO.

Maksud dan tujuan penataan dan pengembangan Kawasan Malioboro :
1.Mengembalikan fungsi Malioboro sebagai SIMBOL PARIWISATA Daerah Istimewa Jogjakarta yang tertata dengan rapi, bersih, baik dan manusiawi.

2.Malioboro pada event tertentu bisa difungsikan sebagai PANGGUNG SENI BUDAYA antara lain Pementasan Seni Tari, Pameran Seni Lukis, Pameran Seni Patung, Pameran Seni Batik dan Seni Budaya lainnya.

3.Malioboro sebagai Central Business District (CBD), maka harus tetap merespon sebagai kawasan bisnis yang ada termasuk merespon/memperhatikan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan diberikan tempat dikawasan Malioboro dan ditata dengan baik.

4.Malioboro sebagai CITY WALK (PEDESTRIAN) yang aman, nyaman dan memberikan suasana lingkungan yang asri.

5.Mengalihkan jalur lalu lintas yang melewati Malioboro ke wilayah samping kanan dan kiri jalan Malioboro dan memberikan fasilitas parkir antara lain berupa gedung parkir yang tidak jauh dari jalur jalan Malioboro.

Prospektif Malioboro Masa Depan

1.Pertumbuhan ekonomi sebagai dampak perkembangan usaha retail diwilayah kawasan Malioboro.

2.Pengembangan kreatifitas dan pendidikan seni budaya yang sangat beragam di daerah Jogjakarta.

3.Meningkatnya daya tarik pariwisata karena terjamin kenyamanan, keamanan, keasrian serta terpenuhinya fasilitas-fasilitas pariwisata.

4.Terbangunnya integrasi obyek pariwisata di kawasan Malioboro seperti dengan Gedung Agung, Benteng Vandernberg, Pasar Beringharjo, Taman Pintar, Kawasan Alun-Alun Utara, Keraton, Kawasan Pecinan, Taman Sari, Pasar Burung serta kawasan sekitarnya.

5.Terjadi pelestarian GARIS IMAJINER dari Tugu – Alun-Alun Utara – Keraton – Krapyak.

6.Dan dampak-dampak pengembangan yang positif di Kawasan Malioboro dan sekitarnya.