Sejak tahun 1999,
pemerintahan di Indonesia tidak lagi terpusat di ibukota. Dengan payung hukum
UU no. 22 tahun 1999 yang kini digantikan oleh UU no. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dan
mengatur urusan daerahnya termasuk mengembangkan potensi daerah yang
selanjutnya digunakan sebagai sumber perekonomian masyarakatnya. Inilah yang
disebut otonomi daerah. Kebijakan tersebut memacu tiap daerah berlomba-lomba
“menjual” potensi daerahnya berdasarkan citra yang dimiliki. Citra atau city branding adalah nilai lebih suatu
daerah seperti destinasi (wisata), kawasan industri, atau perumahan yang
diangkat oleh para perencana dan perancang kota beserta semua pemangku
kepentingan. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, kota harus mampu membuat pelaku
bisnis dan investor masuk dan tertarik untuk berusaha dan menanamkan modalnya.
Kota juga harus mampu menarik hati turis untuk datang berkunjung dan membelanjakan
uangnya. Selain itu, kota juga harus mampu mempertegas identitas dan
meningkatkan harkat yang dimiliki oleh warganya (M. Rahmat Yananda, 2014). Indonesia
sebagai negara kepulauan tentu akan menonjolkan citra kota-kota pesisir, salah
satunya Kabupaten Cilacap. Faktanya, hal tersebut belum terimplementasikan pada
kecamatan termuda Kabupaten Cilacap, Kampung Laut.
Kampung Laut merupakan
kecamatan di Kabupaten Cilacap yang terletak di tengah-tengah laguna Segara
Anakan, di antara pesisir selatan Pulau Jawa dan utara Pulau Nusakambangan.
Wilayahnya merupakan daerah pantai dan hutan bakau (mangrove) dengan luas
17.512,05 Ha, yang terbagi dalam empat desa yang terpisah pula oleh aliran
sungai hingga membentuk seperti pulau-pulau kecil yaitu Ujung Alang, Ujung
Gagak, Panikel, dan Klaces. Dari beberapa literatur yang ada, penduduk asli
Kampung Laut konon merupakan keturunan dari prajurit Mataram Yogyakarta yang
ditugaskan untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak
laut Portugis. Setelah berhasil, mereka enggan untuk kembali ke Mataram
melainkan tinggal di kawasan Cilacap dan sekitarnya termasuk Pulau
Nusakambangan. Ketika supremasi Kerajaan Mataran melemah dan akhirnya dikuasai
oleh kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda, banyak daerah yang semula milik
Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Hindia Belanda termasuk Cilacap dan Pulau
Nusakambangan yang kemudian dipilih sebagai tempat pembuangan orang-orang yang
dianggap melanggar hukum. Para narapidana yang tidak diurus dengan baik tersebut
mulai mengganggu penghuni Nusakambangan yaitu para prajurit Mataram, sehingga
mereka memutuskan untuk menyingkir dan membuat rumah-rumah di Segara Anakan.
Kelompok-kelompok pemukiman di atas air dengan tipe rumah panggung mulai
bermunculan dan membentuk sebuah perkampungan. Inilah asal muasal tercetus
Kampung Laut yang berarti perkampungan di atas air atau laut.
Unik. Tetapi keunikan
ini tidak hanya terbatas pada letaknya yang di atas air, lokasinya juga berada
di tengah-tengah sebuah laguna terbesar di Asia. Laguna merupakan sekumpulan
air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang berupa pasir, batu karang dan
lain sebagainya. Air laut yang terperangkap bercampur dengan air sungai yang
bermuara menjadikan salinitasnya berkurang hingga payau dengan keadaan perairan
relatif tenang.
Seiring dengan
perkembangan jaman, identitas dari Kampung Laut beranjak hilang. Permasalahan
yang muncul bukan hanya dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetapi juga
degradasi lingkungan. Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung beranjak punah.
Penyebabnya, masyarakat semakin sulit mendapatkan kayu tancang atau kayu jenis
lain yang baik digunakan untuk bangunan rumah. Selain itu pendangkalan hebat
dengan laju yang sangat cepat terjadi secara kontinu dari material-material
terutama lumpur yang dibawa oleh Sungai Citanduy dan sungai lainnya yang
bermuara di Segara Anakan. Hal ini berujung pada sedimentasi dan pengurukan
kolong-kolong rumah hingga seluruh area pemukimaan tersebut kini menjadi
daratan. Bentuk rumah pun berubah
menjadi tipe rumah modern.
Pendangkalan telak
membuat Segara Anakan menyempit bahkan hanya bisa dilalui oleh kapal kecil.
Tercatat saat surut, kedalaman Segara Anakan hanya mencapai 0,5-0,75 meter.
Kondisi yang memprihatinkan ini pada dasarnya adalah dampak dari aktivitas
manusia sendiri seperti maraknya ilegal
logging dan pembabatan tanpa aturan terhadap hutan mangrove oleh masyarakat sekitar, konversi hutan bakau menjadi
tambak, serta perburuan liar. Hingga saat ini, dari 35 jenis mangrove yang ada, 26 diantaranya
terancam punah. Kehidupan di Kampung Laut merupakan suatu ekologi yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Terbukti, hutan mangrove yang berperan penting untuk mencegah pendangkalan, jika
hilang maka pendangkalan hebat seperti saat inilah yang terjadi. Selanjutnya pendangkalan
akan merusak ekosistem perairan dimana pada dasarnya perairan di bawah hutan mangrove dapat dikatakan titik-titik
strategis untuk pembiakkan ikan, udang, dan kepiting. Selain itu jumlah satwa
lain seperti burung bangau, kunthul, dan monyet menurun drastis seiring
rusaknya habitat mereka. Hilangnya ekosistem maka hilang pula penghuni
perairan. Penghasilan masyarakat sebagai nelayan yang bergantung pada hasil
tangkapan, jatuh bebas karena minimnya ikan yang dapat dijaring. Dengan
penghasilan minim, masyarakat merugi hingga bangkrut. Pengangguran menjamur. Daya
hidup rendah membuat masyarakatnya tidak sempat memikirkan pendidikan yang
dikhawatirkan akan menuju masyarakat tertinggal. Kondisi ini diperparah dengan
maraknya isu-isu Kampung Laut sebagai area lokalisasi. Berbagai masalah
tersebut serta merta membuat daerah Kampung Laut dan masyarakatnya dipandang
sebelah mata. Hanya masuknya listrik yang membuat Kampung Laut masih bertahan
dengan memanfaatkan tenaga surya yaitu energi yang didapat dengan mengubah
energi panas matahari dengan peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam
bentuk lain (listrik) (Ir.Sutarno, 2013).
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka diperlukan suatu upaya revitalisasi kawasan Kampung
Laut agar dapat mengembangkan potensi daerahnya dengan memberdayakan masyarakat
untuk mengelola yang nantinya menjadi penopang perekonomian masyarakat itu
sendiri. Menyinggung ekonomi, dengan menerapkan tema Hari Lingkungan Hidup
tahun 2012 yaitu Green Economy atau
ekonomi hijau dirasa sesuai. Makna ekonomi hijau ditujukan untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia, keadilan sosial dan secara bersamaan mengurangi resiko
lingkungan dan kelangkaan ekologis (Sudharto P. Hadi, 2014). Tema ini jelas
sangat mendukung konsep revitalisasi yang digalakan yaitu Eksotisme Ekowisata
Kampung Laut. Dalam The International
Ecotourism Society tahun 1990 menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan
yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami yang menjaga kelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk setempat.
Point ekowisata yang
akan ditonjolkan meliputi ekowisata mangrove
dimana wisatawan tidak hanya melihat dan mempelajari tentang mangrove namun juga dapat melihat
keempat LP yang ada di Pulau Nusakambangan, wisata religi di Goa Masigit Sela,
wisata kuliner khas Kampung Laut seperti kerang totok, kepiting, ikan, dan
udang yang fresh dari hasil tangkapan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai
nelayan serta makanan khas Cilacap yaitu mendoan, wisata Pantai Rancababakan
yang eksotis dengan keindahan batukarang, resort di atas air yang kental dengan
etnik Jawa, penjualan souvenir khas
Kampung Laut hasil keterampilan tangan ibu-ibu rumah tangga, hingga nilai-nilai
budaya seperti Upacara Sedekah Laut.
Ekowisata Mangrove menjadi point utama dalam
konsep ini, alasannya mangrove
memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir. Selain itu, hutan mangrove di wilayah Segara Anakan
merupakan yang terbesar dan terlengkap jenisnya di Asia sehingga dapat dirujuk
sebagai laboratorium alam yang dapat memegang peranan penting dalam pendidikan.
Hasil dari konsep ekowisata : (dari kiri ke kanan atas) demaga, resort, ekowisata mangrove, (dari kiri ke kanan bawah) upacara sedekah laut, Pantai Rancababakan, kuliner |
Untuk menghasilkan
konsep yang sinergis antara keberlanjutan SDA dan SDM, maka harus didukung
dengan infrastruktur seperti jalan dan sarana prasarana yang memadai. Langkah
utama yang dapat diambil yaitu menggalakan budidaya mangrove (mangrovisasi) dan penambahan gazebo di beberapa titik hutan mangrove
sebagai tempat peristirahatan sejenak saat diperjalanan. Melihat dari rute
wisata yang bermula dari pelabuhan Seleko, Desa Ujung Alang, Desa Klaces hingga
Pulau Nusakambangan, yang semuanya menempuh jalur perairan maka pemenuhan
sarana transportasi berupa kapal kecil yang terjadwal secara lengkap beserta
ketersediaan tourguide sangat perlu
dilakukan. Tak ketinggalan kemudahan akses dan keteraturan serta keindahan
pelabuhan atau dermaga juga menjadi perhatian.
Dengan konsep Eksotisme
Ekowisata Kampung Laut yang sudah menggugah dari segi penamaan ‘Kampung Laut’
sendiri diharapkan mampu mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
Tingkat pengangguran berkurang dan daya hidup masyrakatnya meningkat. Kaum hawa
tidak lagi menjadi pihak pasif, tetapi lebih aktif tanpa harus mengurangi
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Masyarakat sebagai pengelola harus mampu
merawat serta menjaga kebersihan lingkungannya begitu pula dengan wisatawan.
Bila hal ini terlaksana dengan baik maka, periwisata yang berkelanjutan dan sustainable development dapat tercapai
untuk mendukung Pembangunan Milenium Indonesia.
Daftar
Pustaka :
Hadi, Sudharto P. 2014. Bunga Rampai Manejemen Lingkungan. Yogyakarta : Thafa Media
Yogyakarta
Yananda, M.Rahmat. 2014. Branding Tempat : Membangun Kota, Kabupaten, an Provinsi Berbasis
Identitas. Yogyakarta : MaknaInformasi
Ir. Sutarno. 2013. Sumberdaya Energi. Yogyakarta : Graha
Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Revitalisasi Kawasan