KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Selasa, 02 Desember 2014

Revitalisasi Kampung Laut Menjadi Kawasan Ekowisata nan Eksotis



Sejak tahun 1999, pemerintahan di Indonesia tidak lagi terpusat di ibukota. Dengan payung hukum UU no. 22 tahun 1999 yang kini digantikan oleh UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan daerahnya termasuk mengembangkan potensi daerah yang selanjutnya digunakan sebagai sumber perekonomian masyarakatnya. Inilah yang disebut otonomi daerah. Kebijakan tersebut memacu tiap daerah berlomba-lomba “menjual” potensi daerahnya berdasarkan citra yang dimiliki. Citra atau city branding adalah nilai lebih suatu daerah seperti destinasi (wisata), kawasan industri, atau perumahan yang diangkat oleh para perencana dan perancang kota beserta semua pemangku kepentingan. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, kota harus mampu membuat pelaku bisnis dan investor masuk dan tertarik untuk berusaha dan menanamkan modalnya. Kota juga harus mampu menarik hati turis untuk datang berkunjung dan membelanjakan uangnya. Selain itu, kota juga harus mampu mempertegas identitas dan meningkatkan harkat yang dimiliki oleh warganya (M. Rahmat Yananda, 2014). Indonesia sebagai negara kepulauan tentu akan menonjolkan citra kota-kota pesisir, salah satunya Kabupaten Cilacap. Faktanya, hal tersebut belum terimplementasikan pada kecamatan termuda Kabupaten Cilacap, Kampung Laut.
Kampung Laut merupakan kecamatan di Kabupaten Cilacap yang terletak di tengah-tengah laguna Segara Anakan, di antara pesisir selatan Pulau Jawa dan utara Pulau Nusakambangan. Wilayahnya merupakan daerah pantai dan hutan bakau (mangrove)  dengan luas 17.512,05 Ha, yang terbagi dalam empat desa yang terpisah pula oleh aliran sungai hingga membentuk seperti pulau-pulau kecil yaitu Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel, dan Klaces. Dari beberapa literatur yang ada, penduduk asli Kampung Laut konon merupakan keturunan dari prajurit Mataram Yogyakarta yang ditugaskan untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak laut Portugis. Setelah berhasil, mereka enggan untuk kembali ke Mataram melainkan tinggal di kawasan Cilacap dan sekitarnya termasuk Pulau Nusakambangan. Ketika supremasi Kerajaan Mataran melemah dan akhirnya dikuasai oleh kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda, banyak daerah yang semula milik Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Hindia Belanda termasuk Cilacap dan Pulau Nusakambangan yang kemudian dipilih sebagai tempat pembuangan orang-orang yang dianggap melanggar hukum. Para narapidana yang tidak diurus dengan baik tersebut mulai mengganggu penghuni Nusakambangan yaitu para prajurit Mataram, sehingga mereka memutuskan untuk menyingkir dan membuat rumah-rumah di Segara Anakan. Kelompok-kelompok pemukiman di atas air dengan tipe rumah panggung mulai bermunculan dan membentuk sebuah perkampungan. Inilah asal muasal tercetus Kampung Laut yang berarti perkampungan di atas air atau laut.

 Bentuk Rumah di Kampung Laut tahun 1935 (kiri) dan sekarang (kanan)


 Unik. Tetapi keunikan ini tidak hanya terbatas pada letaknya yang di atas air, lokasinya juga berada di tengah-tengah sebuah laguna terbesar di Asia. Laguna merupakan sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang berupa pasir, batu karang dan lain sebagainya. Air laut yang terperangkap bercampur dengan air sungai yang bermuara menjadikan salinitasnya berkurang hingga payau dengan keadaan perairan relatif tenang.
Seiring dengan perkembangan jaman, identitas dari Kampung Laut beranjak hilang. Permasalahan yang muncul bukan hanya dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetapi juga degradasi lingkungan. Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung beranjak punah. Penyebabnya, masyarakat semakin sulit mendapatkan kayu tancang atau kayu jenis lain yang baik digunakan untuk bangunan rumah. Selain itu pendangkalan hebat dengan laju yang sangat cepat terjadi secara kontinu dari material-material terutama lumpur yang dibawa oleh Sungai Citanduy dan sungai lainnya yang bermuara di Segara Anakan. Hal ini berujung pada sedimentasi dan pengurukan kolong-kolong rumah hingga seluruh area pemukimaan tersebut kini menjadi daratan.  Bentuk rumah pun berubah menjadi tipe rumah modern.
Pendangkalan telak membuat Segara Anakan menyempit bahkan hanya bisa dilalui oleh kapal kecil. Tercatat saat surut, kedalaman Segara Anakan hanya mencapai 0,5-0,75 meter. Kondisi yang memprihatinkan ini pada dasarnya adalah dampak dari aktivitas manusia sendiri seperti maraknya ilegal logging dan pembabatan tanpa aturan terhadap hutan mangrove oleh masyarakat sekitar, konversi hutan bakau menjadi tambak, serta perburuan liar. Hingga saat ini, dari 35 jenis mangrove yang ada, 26 diantaranya terancam punah. Kehidupan di Kampung Laut merupakan suatu ekologi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Terbukti, hutan mangrove yang berperan penting untuk mencegah pendangkalan, jika hilang maka pendangkalan hebat seperti saat inilah yang terjadi. Selanjutnya pendangkalan akan merusak ekosistem perairan dimana pada dasarnya perairan di bawah hutan mangrove dapat dikatakan titik-titik strategis untuk pembiakkan ikan, udang, dan kepiting. Selain itu jumlah satwa lain seperti burung bangau, kunthul, dan monyet menurun drastis seiring rusaknya habitat mereka. Hilangnya ekosistem maka hilang pula penghuni perairan. Penghasilan masyarakat sebagai nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan, jatuh bebas karena minimnya ikan yang dapat dijaring. Dengan penghasilan minim, masyarakat merugi hingga bangkrut. Pengangguran menjamur. Daya hidup rendah membuat masyarakatnya tidak sempat memikirkan pendidikan yang dikhawatirkan akan menuju masyarakat tertinggal. Kondisi ini diperparah dengan maraknya isu-isu Kampung Laut sebagai area lokalisasi. Berbagai masalah tersebut serta merta membuat daerah Kampung Laut dan masyarakatnya dipandang sebelah mata. Hanya masuknya listrik yang membuat Kampung Laut masih bertahan dengan memanfaatkan tenaga surya yaitu energi yang didapat dengan mengubah energi panas matahari dengan peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain (listrik) (Ir.Sutarno, 2013).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan suatu upaya revitalisasi kawasan Kampung Laut agar dapat mengembangkan potensi daerahnya dengan memberdayakan masyarakat untuk mengelola yang nantinya menjadi penopang perekonomian masyarakat itu sendiri. Menyinggung ekonomi, dengan menerapkan tema Hari Lingkungan Hidup tahun 2012 yaitu Green Economy atau ekonomi hijau dirasa sesuai. Makna ekonomi hijau ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, keadilan sosial dan secara bersamaan mengurangi resiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (Sudharto P. Hadi, 2014). Tema ini jelas sangat mendukung konsep revitalisasi yang digalakan yaitu Eksotisme Ekowisata Kampung Laut. Dalam The International Ecotourism Society tahun 1990 menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami yang menjaga kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk setempat.
Point ekowisata yang akan ditonjolkan meliputi ekowisata mangrove dimana wisatawan tidak hanya melihat dan mempelajari tentang mangrove namun juga dapat melihat keempat LP yang ada di Pulau Nusakambangan, wisata religi di Goa Masigit Sela, wisata kuliner khas Kampung Laut seperti kerang totok, kepiting, ikan, dan udang yang fresh dari hasil tangkapan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai nelayan serta makanan khas Cilacap yaitu mendoan, wisata Pantai Rancababakan yang eksotis dengan keindahan batukarang, resort di atas air yang kental dengan etnik Jawa, penjualan souvenir khas Kampung Laut hasil keterampilan tangan ibu-ibu rumah tangga, hingga nilai-nilai budaya seperti Upacara Sedekah Laut.
Ekowisata Mangrove menjadi point utama dalam konsep ini, alasannya mangrove memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir. Selain itu, hutan mangrove di wilayah Segara Anakan merupakan yang terbesar dan terlengkap jenisnya di Asia sehingga dapat dirujuk sebagai laboratorium alam yang dapat memegang peranan penting dalam pendidikan.



Hasil dari konsep ekowisata : (dari kiri ke kanan atas) demaga, resort, ekowisata mangrove, (dari kiri ke kanan bawah) upacara sedekah laut, Pantai Rancababakan, kuliner




Untuk menghasilkan konsep yang sinergis antara keberlanjutan SDA dan SDM, maka harus didukung dengan infrastruktur seperti jalan dan sarana prasarana yang memadai. Langkah utama yang dapat diambil yaitu menggalakan budidaya mangrove (mangrovisasi) dan penambahan gazebo di beberapa titik hutan mangrove sebagai tempat peristirahatan sejenak saat diperjalanan. Melihat dari rute wisata yang bermula dari pelabuhan Seleko, Desa Ujung Alang, Desa Klaces hingga Pulau Nusakambangan, yang semuanya menempuh jalur perairan maka pemenuhan sarana transportasi berupa kapal kecil yang terjadwal secara lengkap beserta ketersediaan tourguide sangat perlu dilakukan. Tak ketinggalan kemudahan akses dan keteraturan serta keindahan pelabuhan atau dermaga juga menjadi perhatian.
Dengan konsep Eksotisme Ekowisata Kampung Laut yang sudah menggugah dari segi penamaan ‘Kampung Laut’ sendiri diharapkan mampu mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Tingkat pengangguran berkurang dan daya hidup masyrakatnya meningkat. Kaum hawa tidak lagi menjadi pihak pasif, tetapi lebih aktif tanpa harus mengurangi kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Masyarakat sebagai pengelola harus mampu merawat serta menjaga kebersihan lingkungannya begitu pula dengan wisatawan. Bila hal ini terlaksana dengan baik maka, periwisata yang berkelanjutan dan sustainable development dapat tercapai untuk mendukung Pembangunan Milenium Indonesia.

Daftar Pustaka :
Hadi, Sudharto P. 2014. Bunga Rampai Manejemen Lingkungan. Yogyakarta : Thafa Media Yogyakarta
Yananda, M.Rahmat. 2014. Branding Tempat : Membangun Kota, Kabupaten, an Provinsi Berbasis Identitas. Yogyakarta : MaknaInformasi
Ir. Sutarno. 2013. Sumberdaya Energi. Yogyakarta : Graha Ilmu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Kawasan