KENALKAH JENIS KONSERVASI ?

Selasa, 04 Oktober 2016

Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).



Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA)

Dalam dekade terakhir ini telah berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA). Ia merupakan sebuah perkembangan baru dalam pengelolaan lingkungan hidup. Perkembangan ini didorong oleh kebutuhan  bahwa kebijakan, rencana dan program (KRP) mempunyai kedudukan yang penting dalam pembangunan.
Studi Kajian Lingkungan Strategik (KLS) tidak mengkaji dampak Proyek Revitalisasi  itu sendiri, melainkan mengkaji dampak kebijakan, rencana dan program (KRP) Revitalisasi. Kajian dampak lingkungan pada tingkat KRP bersifat strategik, karena menghasilkan rekomendasi penyempurnaan KRP. Kebijakan dalam KRP adalah rumusan atau keputusan yang  bersifat umum dan memberi arahan bagi pelaksanaan kegiatan; rencana adalah satu atau beberapa sasaran yang terkoordinasi dan terjadwal untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan; dari rencana dijabarkan program dan selanjutnya dari program proyek-proyek sehingga program adalah kumpulan kegiatan/proyek di lokasi yang telah ditentukan (Therivel, 1998). Tampak, adanya hirarki berdasarkan tingkat spesifikasinya dari yang bersifat umum (kebijakan) hingga lebih khusus (program). Dengan demikian kebijakan merupakan sumber rencana dan program dan selanjutnya proyek yang dijabarkan dari program yang akan dilaksanakan dalam pembangunan. Karena itu studi KLS memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan lebih strategik daripada studi dampak proyek. 
Revitalisasi Kawasan Sungai Code

Revitalisasi Kawasan Tebing Breksi
Rekomendasi penyempurnaan KRP didasarkan pada hasil studi dampak lingkungan potensial KRP, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Jadi ruang lingkupnya sangat luas, baik ruang lingkup waktu, bidang maupun ruang. Sehubungan dengan itu, dari awal harus difahami bahwa KLS bukanlah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Revitalisasi Kawasan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Karena itu prosedur studi KLS dalam banyak aspek prinsipil berbeda dengan prosedur yang biasa dilakukan dalam studi AMDAL.
KRP tidaklah statis, melainkan dengan terus-menerus mengalami perubahan untuk mengoreksi kesalahan dan juga untuk merespon kebutuhan dan aspirasi baru masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, sistem pengelolaan lingkungan hidup yang dihasilkan oleh KLS harus juga mampu mengikuti perubahan KRP. Dengan kata lain, hasil KLS haruslah merupakan sebuah sistem yang dinamis.
Revitalisasi Kawasan Malioboro

Pada waktu ini makin banyak negara yang mewajibkan pelaksanaan Kajian Lingkungan Strategik (a.l. Terivel et al., 1992; Terivel dan Partidario, 1996). Karena studi KLS masih relatif baru dibanding dengan AMDAL, pendekatannya pun masih terus mengalami perkembangan dan sampai saat ini belum ada standarisasi pendekatan dan metode sehingga pelaksanaannya sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya. Belumlah ada satu KLS pun yang pernah dilakukan di Indonesia. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang KLS pun belum ada. Oleh karena itu, suatu studi KLS  merupakan sebuah pionir dan diharapkan akan memberikan kontribusi pada pengembangan KLS di Indonesia. Karena berupa sebuah pionir, kelemahan-kelemahan tentu terdapat didalamnya. KLS memperluas ruang lingkup kajian lingkungan hidup pada tahap KRP dalam pengembangan perencanaan pada waktu berbagai alternatif masih terbuka untuk diuji dan dievaluasi. Kontribusi tersebut dapat mencakup aspek legislatif, teoritis dan praktis prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kawasan Terevitalisasi

Tujuan Studi Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).
Prinsip-prinsip kebijakan pada umumnya berlaku untuk jangka panjang sehingga kebijakan umumnya tidak sempit, tidak kaku dan bersifat lentur sehingga dapat beradaptasi pada perubahan kondisi sosial-budaya, ekonomi dan bio-fisik. Sebagian perubahan tersebut merupakan akibat langsung implementasi kebijakan itu sendiri, sebagian lagi disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Kebijakan itu pun harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut. Jadi, kebijakan itu akan selalu berko-evolusi dengan dinamika perubahan lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup yang terus-menerus terjadi dengan dinamis sangat sukar untuk diprediksi sehingga ketidak-pastian (uncertainty) selalu akan ada, meskipun dilakukan banyak studi. Dengan kata lain, hal-hal yang tidak terduga akan selalu dapat terjadi. Oleh karena itu tujuan studi harus diarahkan pada terbentuknya suatu Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPLH) yang adaptif. Artinya, sistem tersebut harus mampu menangani ketidak-pastian dengan berko-evolusi dengan dinamika perubahan lingkungan hidup dan kebijakan. Di dunia internasional penggunaan SPLHA telah diusulkan sejak tahun 1970-an (Holling, 1978) dan di Indonesia diusulkan sebagai produk akhir AMDAL (Soemarwoto, 1988). Dengan demikian tujuan KLS yang dilaporkan dalam laporan ini adalah untuk merekomendasikan sebuah Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPLH) yang adaptif untuk kawasan terevitalisasi.

Revitalisasi Kawasan Tugu Pal Putih (The White Pall)
Tujuan SPLH adalah untuk memfasilitasi KRP-kawasan terevitalisasi berko-evolusi dengan dinamika perubahan lingkungan hidup bio-geo-fisik dan sosial-ekonomi-budaya. Ko-evolusi ini pada gilirannya memfasilitasi pembentukan kawasan terevitalisasi yang ramah lingkungan dengan ekonomi yang kuat dan kondisi sosial-budaya yang sehat dan dinamik. Dengan kata lain, tujuan studi ini adalah untuk menunjang pembangunan kawasan terevitalisasi menjadi sebuah kawasan ekologik, yang disebut The Eco-city of area..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Kawasan