Vindy Fadia Utama
114160049
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna, 2002).
Embung Loku Jangi di Kabupaten Sumba Tengah selesai dibangun tahun 1997 hanya berfungsi beberapa tahun karena terjadi kebocoran dengan ditemukannya beberapa luweng di dasar reservoir. Setelah selesai direhabilitasi tahun 2009 juga hanya berfungsi beberapa tahun. Saat ini air tidak bertahan lama dalam reservoir tetapi air dapat bertahan pada level dead storage yang memberi indikasi adanya kebocoran pada tampungan volume efektif. Terbentuknya luweng pada dasar reservoir dan ditemukannya luweng pada daerah aliran sungai menandakan bahwa embung Loku Jangi dibangun di atas batugamping dengan bentang alam karst. Batugamping pada bentang alam karst mudah larut membentuk alur larut rembesan yang kemudian membentuk sistem sungai bawah tanah. Analisis kasar potensi air dari DAS Loku Jangi cukup menyediakan air selama 6-7 bulan yang jika dengan pengaturan operasi pintu air, dirasa cukup untuk mengairi sekali musim tanam padi dan semusim tanam palawija. Dari potensi airnya embung Loku Jangi masih sangat layak untuk direvitalisasi. Lapisan kedap dasar reservoir harusnya menghalangi kontaknya air dengan batugamping, Direkomendasikan penggunaan geosintetik, yang menutup seluruh permukaan dasar reservoir. Geomembran yang digunakan harus tahan gaya tarik dan gaya regang, tahan tusukan dan tahan lama. Sumber air sekitar embung yaitu luweng Waipagaji dan Sungai Pamalar tidak bisa jadi suplesi embung Loku Jangi, tetapi untuk penyediaan air baku yang terpisah dari sistem embung Loku Jangi.
Lokasi Embung Loku Jangi terletak di Desa Umbupabal, Kecamatan Katikutana,. Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Embung Loku Jangi direncanakan memiliki tampungan efektif sebesar 550.000 m3. Embung Loku Jangi direncanakan dapat mengairi lahan irigasi seluruh potensi lahan seluas 1000 ha di Kecamatan Katikutana. Setelah selesai dibangun tahun 1997, luas lahan irigasi efektif yang dapat diairi adalah 230 ha, dan hanya berfungsi sebentar.
Setelah beberapa tahun beroperasi, embung tidak dapat berfungsi secara maksimal. Tampungan efektif 550.000 m3 tidak dapat bertahan lama hingga ke musim kemarau. Penyebabnya adalah ditemukan banyak bocoran berupa lubang yang terletak di dasar dan di dinding reservoir. Pada tahun 2005 dilakukan perencanaan rehabilitasi embung. Pelaksanaan pekerjaan rehabilitasi dapat diselesaikan pada bulan Maret 2009. Setelah rehabilitasi diharapkan luas layanan irigasi meningkat menjadi 403 ha, namun sejak tahun 2010 hingga saat ini tampungan embung belum bisa berfungsi. Jika embung Loku Jangi ini dapat diperbaiki kerusakannya, maka paling tidak sawah irigasi yang 230 ha dapat dipertahankan atau dapat meningkat menjadi 403 ha. Untuk perbaikan di masa mendatang, perlu dipahami mengapa terjadi kebocoran seperti di embung Loku Jangi. Tujuan dari revitalisasi embung Loku Jangi ini adalah untuk mengetahui penyebab kebocoran yang terjadi di embung Loku Jangi, dan mencari berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan agar embung dapat berfungsi secara optimal.
Peta Geologi Kabupaten Sumba Tengah dalam Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI (2009), didominasi oleh batuan karbonat berupa batu gamping terumbu , batu gamping berlapis dan napal. Sebagian kecil berupa batuan vulkanik (batuan beku, lava, tufa dll) dengan penyebaran terbatas. Karst adalah suatu bentuk bentang alam permukaan bumi yang spesifik, pada umumnya merupakan batuan karbonat di antaranya batugamping, yang mempunyai banyak bukit, berbentuk kerucut, luweng, gua, alur larut, sungai bawah tanah dan dolina (lekukan tertutup di permukaan akibat proses pelarutan dan peruntuhan yang memiliki ukuran bervariasi dengan kedalaman antara dua sampai dengan seratus meter dan diameter antara sepuluh sampai dengan seribu meter) akibat proses pelarutan yang tinggi dan berkembangnya porositas sekunder dari batuan melalui proses-proses kimia dan hidrologi (Ford dan William, 1989 dalam Eko Haryono, 2013). Karst sudah menjadi istilah yang umum untuk menggambarkan bentang alam yang terbentuk oleh proses pelarutan. Dalam Kepmen ESDM no 17 tahun 2012, Karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batugamping dan atau dolomite. Penciri bentang alam Karst menurut Eko Haryono (2013) adalah sebagai berikut: Ciri bawah permukaan dengan terdapatnya system drainase bawah tanah /sungai bawah tanah dan terdapatnya gua; Ciri permukaan dengan terdapatnya cekungan tertutup; Ciri lain dengan terdapatnya bukit kerucut atau menara.
Metode yang digunakan dalam revitalisasi ini adalah survei lapangan secara langsung ke lokasi serta ditunjang oleh data sekunder. Survey dilakukan untuk mengetahui kondisi aktual embung dan mengetahui penyebab kebocoran. Secara umum survei lapangan ini untuk mengetahui antara lain sifat karst dari batugamping pada formasi Pamalar di lokasi embung.Dalam survey ini akan dicari penciri bentang alam karst baik pada reservoir maupun daerah tangkapan hujan. Secara khusus adalah untuk mengetahui kondisi embung Loku Jangi yang dibangun di atas batugamping formasi Pamalar, juga untuk mengetahui kemungkinan memanfaatkan sumber air lain untuk suplesi embung Loku Jangi.
Embung Loku Jangi dibangun pada tahun 1995 dan hanya beberapa tahun berfungsi karena ditemukan beberapa kebocoran. Bocor yang terjadi berupa luweng atau liang yang terdapat pada dasar dan dinding pinggir reservoir. Untuk mengatasi kebocoran ini pada tahun 2005 dibuat perencanaan untuk rehabilitasi embung. Rehabilitasi embung dilakukan antara tahun 2007 hingga tahun 2009 yang mengutamakan penutupan luweng dan melapisi (blanket) dasar dan dinding reservoir. Ditunjang data dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II, embung ini memiliki luas DAS = 10,2 km2. Volume tampungan minimal (dead storage) sebesar 132.000 m3 pada elevasi 240 m dpl. Volume normal sebesar 538.000 m3 pada elevasi 244,3 m dpl. Volume efektif embung adalah sebesar 406.000 m3.
Dari luweng Waipagaji dapat diduga terdapatnya sistem sungai bawah tanah di bawah embung Loku Jangi. Kebocoran yang terjadi pada dasar reservoir diduga dipengaruhi juga oleh sungai bawah tanah ini. Walaupun keberadaan sungai bawah tanah dan keberadaan aliran air masih perlu penelitian di masa mendatang. Walaupun pada saat survei tidak ditemukan, tetapi luweng di dasar reservoir pernah terbentuk. Setelah pekerjaan rehabilitasi selesai dilakukan tahun 2007, air di Embung Loku Jangi melebihi daya tampung embung dan melimpah melalui saluran pelimpah dan pelimpah tambahan. Keadaan Embung Loku Jangi tidak bertahan lama, karena terjadi lagi kebocoran pada tempat yang belum diketahui. Kebocoran bisa terjadi pada rekahan batu gamping disebabkan oleh rembesan yang lama kelamaan membentuk lubang saluran terbuka.
Lapisan lempung yang digunakan untuk pelapisan dasar reservoir ternyata kurang memberi perlindungan sebagai lapisan kedap. Gangguan lain yang mungkin ditimbulkan oleh adanya semak belukar adalah dapat mengganggu stabilitas tubuh embung dan system perakaran yang dapat membuat retakan dan menjadi pemicu kebocoran. Upaya revitalisasi embung Loku Jangi atau embung-embung lain di kawasan bentang alam karst atau pada lokasi sebaran batugamping dilakukan untuk menghindari kebocoran air melalui luweng. Alternatif upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara: membuat spillway lokal pada luweng yang ditemukan dan menutup seluruh penampang dasar embung dengan lapisan sintetis kedap air seperti geomembran atau sejenisnya.
Cara pertama dengan spillway lokal hanya bisa dilakukan jika luweng sudah dapat diidentifikasi dengan jelas posisinya di dasar embung. Secara skema pembuatan spillway lokal dengan meninggikan lubang aliran di atas luweng hingga setinggi muka air tertinggi yang diinginkan. Pembuatan spillway ini dibuat secara terus menerus selama masa pemeliharaan sepanjang luweng-luweng baru ditemukan. Suatu luweng mungkin baru ditemukan sebagai posisi pusaran air yang terbentuk ketika muka air mencapai level tertentu, dan ada kemungkinan pada saat muka air rendah luweng tersebut tertutup lempung.
Cara ke dua adalah penggunaan bahan sintetis kedap air untuk menutup seluruh penampang embung. Sebagai hasil dari perkembangan teknologi saat ini telah tersedia bahan sintetik untuk pelapisan ini, yaitu geosintetik (geosynthetic). Terdapat dua jenis geosintetik yang memiliki sifat kedap air atau lebih tepatnya memilki permeabilitas yang sangat rendah yaitu Geomembrane dan Geosynthetic Clay Liner (GCL). Geomembrane adalah material plastik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyetylene) yang kedap air, berbentuk lembaran dengan berbagai jenis ketebalan 0.5 mm s/d 2.5 mm sedangkan GCL terbuat dari struktur komposit perpaduan antara non woven geotextile dan bahan sodium bentonite. Sodium bentonite dibungkus diantara non woven geotextile, sehingga terbentuk satu kesatuan dan GCL akan bekerja menjadi kedap air jika berhubungan langsung dengan air karena sodium bentonite akan mengembang menjadi lapisan kedap dan permeabilitasnya akan mengecil. Dari kedua geosintetik yang disebutkan, geosintetik yang lebih memungkinkan digunakan untuk revitalisasi embung Loku Jangi adalah GCL karena pemasangannya ditempatkan di bawah lapisan lempung sehingga terhindar dari injakan kaki sapi atau kerbau namun perlu diperhatikan juga lapisan dasar embung harus terbebas dari benda tajam.
Berdasarkan pembahasan diatas di dapat kesimpulan bahwa revitalisasi terhadap embung Loku Jangi dilakukan karena diketahui telah terdapat beberapa kebocoran di titik-titik tertentu dimana penyebab kebocoran tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang telah dijabarkan sebelumnya. Revitalisasi dilakukan dengan melakukan dua cara yaitu, dengan membangun spillway lokal dan dengan menutup seluruh daerah tampungan embung dengan lapisan kedap berupa Geosynthetic Clay Liner (GCL). Perlu analisis yang lebih rinci untuk menentukan pola tanam dan kebutuhan air serta pola operasi pintu air embung Loku Jangi agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efisien. Perlu dilakukan penyelidikan yang lebih rinci termasuk penelusuran gua jika memungkinkan, untuk mengetahui potensi air yang terdapat pada luweng Waipagaji.
Peran masyarakat dalam memanfaatkan embung Loku Jongi tersebut serta keikutsertaan dalam proses revitalisasi dapat dilakukan dengan melakukan hal-hal seperti menjaga embung agar tetap bersih dari tanaman, agar tidak mengganggu ketika dilakukan inspeksi, limpahan air yang tidak tertampung dalam embung Loku Jangi pada musim hujan dapat dimanfaatkan untuk irigasi di luar lahan layanan embung, dan atau ditampung pada embung lapangan (galian) yang dibuat di luar daerah layanan Embung Loku Jangi dimana hal itu dapat dilakukan oleh masyarakat setempat. Embung Loku Jongi sendiri merupakan salah satu sumber air bagi masyarakat Kota Waibakul, jika revitalisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar maka masyarakat akan mendapat manfaat berupa limpahan air bersih. Hal tersebut juga dapat membuat acuan serta stimulus bagi masyarakat untuk membuat embung tersebut tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Danisworo, M. dan Martokusumo, W. 2002 . Revitalisasi Kawasan Kota : Sebuah Catatan Dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota : Info URDI Vol.13.
Eko Haryono . 2013 . Hidrologi Karst, Presentasi pada Workshop Pedoman Pengelolaan Sumber Daya Air di daerah Karst 25-26 September 2013 . Bandung
Laretna, Adishakti. 2002 . Revitalisasi Bukan Sekedar “Beautification” : Info URDI Vol.13.
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2009, Survey, Investigasi dan Disain Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Waibakul.
Tidak ada foto atau gambarnya, paddahal akan lebih menarik ada ilustrasinya?
BalasHapus