Secara teori, Revitalisasi
adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kawasan yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses
revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan
aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan
potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Prof.
Danisworo Info URDI.
Sementara
itu, Laretna T. Adishakti dalam tulisannya mengatakan bahwa kegiatan konservasi
bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau
pengembangan, restorasi, replikasi, resKontruksi, revitalisasi dan atau
penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk melakukkannya perlu
upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta berkelanjutan.
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian
keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi
masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi
perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar
ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi
masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di
lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu
mekanisme yang jelas. Menurut Laretna bahwa ada aspek lain yang penting dan
sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi,
khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak fihak untuk menunjang kegiatan
revitalisasi.
Di lain
sisi Andre Rusdi menyoroti revitalisasi dari aspek keunikan lokasi dan tempat
bersejarah. Sedangkan, Erna Irnawati berbicara revitalisasi dalam rangka untuk
mengubah citra suatu kawasan.
Berdasarkan
informasi di atas, Info URDI
kali ini berusaha untuk mengajak para pembaca sekalian untuk melihat
revitalisasi secara teori dan pelaksanaannya dari aspek fisik, sosial dan
ekonomi.
REVITALISASI BUKAN SEKEDAR "BEAUTIFICATION"
Pelestarian/konservasi bukanlah romantisme masa
lalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan
untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan
tersebut. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan
masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset lama, dan melakukan
pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta
merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi.
Revitalisasi,
sebuah upaya pelestarian
Kesinambungan
yang menerima perubahan dan/atau pembangunan merupakan konsep utama konservasi,
suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Hal ini bertujuan untuk tetap memelihara indentitas dan sumber
daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan
modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya,
perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara
alami dan terseleksi (Adishakti, 1997).
Dalam pelestarian objek yang
dikelola tidak lagi bangunan individual atau kelompok bangunan namun area atau kota secara keseluruhan.
Kedua, konservasi berarti "preserving
purposefully: giving not merely continued existence but continued useful existence"
(Burke, 1976). Jadi, fungsi seperti juga bentuk menjadi pertimbangan utama dan
tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan, namun manajemen perubahan (Asworth, 1991).
Kegiatan konservasi bisa
berbentuk preservasi dan dalam saat yang sama melakukan pembangunan atau
pengembangan, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau
penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Kegiatan yang dilakukan ini
membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta
berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka
budaya masa mendatang (future heritage).
Mempertimbangkan bahwa pusaka yang
akan dikelola berbentuk sebuah seting yang terdiri dari berbagai sumber daya
budaya dan alam lokal, baik yang berbentuk fisik ataupun tidak, upaya
pelestarian telah bergeser dari hanya mempertimbangkan isu keindahan (beautification) semata menuju
usaha-usaha yang holistik. Pelestarian menitik beratkan pada upaya menciptakan
pemanfaatan yang kreatif, menghasilkan heritage
products yang baru, pelaksanaan program-program partisipasi, analisis
ekonomi, serta kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian.
Dalam bentuk seperti ini, masyarakat
yang tinggal di kawasan tersebut merupakan komponen utama untuk
dipertimbangkan. Usaha untuk menghasilkan keuntungan dari upaya pelestarian
bagi masyarakat, kualitas hidup yang lebih baik, peningkatan pendapatan dan
lingkungan yang ramah menjadi tujuan utama pelestarian. Manajemen pelestarian
kawasan bersejarah menjadi alat untuk mencapai tujuan termasuk keterlibatan
total masyarakat untuk mengelola sendiri (people centered management).
Revitalisasi, tiupan
kehidupan baru terkelola
Semangat dalam sistem pelestarian yang
menyeluruh ini perlu mendasari berbagai upaya revitalisasi yang intinya adalah
menghidupkan kembali suatu tempat yang memiliki aset potensial. Tiupan
kehidupan yang diwujudkan tidak hanya sebatas fisik seperti penyelesaian
infrastruktur, dukungan utilitas, pemugaran ataupun pengembangan lainnya, namun
juga perencanaan kegiatan baru yang kreatif dan inovatif yang telah disiapkan
bersama dengan mekanisme pengelolaannya.
Banyak contoh di Indonesia menunjukkan upaya
revitalisasi berakhir dengan devitalisasi. Kehidupan yang hangat justru tidak
terjadi, yang tertinggal hanyalah puing-puing keindahan yang tidak bernafas.
Denyut kehidupan yang diharapkan muncul berakhir dengan selesainya sebuah
proyek revitalisasi yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik
saja. Aspek pencangkokan program kegiatan baru sebatas angan di atas kertas.
Aspek pengelolaan, sejak awal upaya revitalisasi hingga pelaksanaan,
pemeliharaan dan pengelolaan pengembangan kegiatan (events) yang menjadi
salah satu kunci utama keberhasilan program revitalisasi sering diabaikan.
Sebuah contoh menarik adalah
keberhasilan revitalisasi pusat kota Nagahama, Jepang. Kota kecil yang berada
di pinggiran danau Biwako ini banyak memiliki peninggalan lama, mulai dari machiya
(rumah tradisional) hingga lumbung-lumbung beras yang kosong, membentuk wajah
kota yang sangat khas.
Pada suatu waktu, sebuah toko serba ada akan
dibangun di tengah kota.
Penduduk menolak, karena akan merusak wajah pusat kota serta ekonomi rakyat yang ada. Gagasan
pemerintah setempat, toko besar tersebut kemudian akan dibangun di pinggiran kota. Kembali masyarakat
menolak, mereka berfikir pusat kota
akan menjadi area yang mati, banyak orang nanti memilih pergi ke area baru
tersebut. Apalagi, pada umumnya, pusat kota
selalu memiliki persoalan dengan lalu lintas yang padat dan jalan-jalan yang
relatif kecil.
Agar toko serba ada tetap dapat dibangun,
dan pusat kota lama tidak menjadi mati, sebuah program “peniupan” kehidupan
untuk pusat kota dilakukan dengan memilih program yang inovatif, bernilai jual
tinggi dan berkelanjutan. Dipilih industri kecil yaitu kerajinan gelas, yang
tidak dimiliki di kota itu dan justru didatangkan dari Tokyo, sebagai citra
industri kota yang baru.
Alasan pemilihan:
1)
Industri
kerajinan gelas yang dapat diwujudkan dalam bentuk peralatan rumah tangga,
perhiasan wanita, dan cenderamata diprediksi akan mampu mendatangkan wanita
dari berbagai penjuru Jepang ke sana
untuk berbelanja. Dan bila disain terus berkembang, mereka akan datang kembali
dan kembali lagi;
2)
Kerajinan
ini dapat dilakukan langsung oleh masyarakat sendiri sehingga akan mendukung
kegiatan ekonomi rakyat setempat;
3)
Kerajinan
tersebut baik dari segi pengolahan maupun penataan penjualan dapat adaptif menempati
peninggalan lama yang ada, sehingga bangunan tradisional dapat dipugar dan
dikembangkan sesuai kebutuhan tanpa merusak keasliannya
Tiupan kehidupan di kota Nagahama ini dikelola langsung oleh pemerintah
kota bekerja sama dengan masyarakat dan melakukan kemitraan dengan berbagai
pihak swasta. Untuk
perencanaan dan pelaksanaan revitalisasi yang bekerja sama dengan masyarakat
ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan di Community
Center yang memakan waktu hingga tahunan.
Berbagai program perbaikan fisik,
infrastruktur, dan keindahan kota mulai dari
penutup jalan, hiasan jembatan, lampu kota
serta street furniture lainnya dilaksanakan untuk mendukung revitalisasi
tersebut. Beberapa festival masyarakat juga dibangkitkan kembali. Dan kini,
memang banyak wanita dari berbagai penjuru lalu lalang di kota
tua ini berburu kerajinan gelas, dan masyarakat lokal dapat memenuhi kebutuhan
modern di lingkungan tradisional yang sehat, serta pusaka kota bersejarah ini secara berkelanjutan
terpelihara dan lestari dengan baik.
Meniupkan dan mencangkokkan kegiatan baru
dalam suatu kawasan terkait erat dengan keterlibatan masyarakat. Promosi untuk
membangkitkan kebanggaan terhadap apa yang akan dirancang sangat penting.
Demikian pula dalam menyeleksi komponen yang akan dihidupkan kembali perlu
penanganan yang jeli. Untuk itu, suatu kelompok pengelola (apapun namanya) yang
mampu berkerja dekat dengan masyarakat lokal dan bersamaan dengan itu mampu
mengembangkan jaringan dengan pihak luar sangat diperlukan.
Misalnya, di kawasan bersejarah Kotagede, Yogyakarta yang baru memiliki program pelestarian sebatas
kampanye kepedulian telah memunculkan beberapa kelompok yang peduli terhadap
persoalan ini dan mampu menjembatani antara masyarakat dan pihak-pihak luar, di
antaranya adalah Pusdok (Pusat Studi dan Dokumentasi Seni Budaya Kotagede) dan
Yayasan Kanthil. Kelompok-kelompok seperti ini berpotensi untuk menjaga
kesinambungan program revitalisasi.
Demikian pula di banyak pusat-pusat kota lama di Amerika,
tumbuh kelompok-kelompok yang memiliki misi melakukan identifikasi pusaka
budaya yang ada, melakukan pengolahanan untuk fungsi-fungsi baru untuk
memperbaiki kualitas hidup, serta promosi kepada masyarakat agar mereka bangga
terhadap pusaka yang dimilikinya. Sebagai contoh Historic Massachusetts, USA,
yang bermitra dengan penduduk lokal dan berbagai organisasi untuk revitalisasi
bangunan dan lansekap yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Kelompok ini
dalam menyeleksi sumber daya budaya untuk revitalisasi menetapkan tiga buah
kriteria dasar:
1)
sumber
daya tersebut harus menunjukkan hubungan yang penting antara pelestarian dan
kebanggaan masyarakat setempat;
2)
sumber
daya tersebut harus potensial menjadi katalisator usaha revitalisasi dan
pembangunan;
3)
sumber
daya tersebut harus memiliki dukungan masyarakat dan politik
Revitalisasi masyarakat dan
Teknologi Informasi
Beberapa butir terakhir di atas, menegaskan
kembali betapa pentingnya keterlibatan masyarakat. Dan keterlibatan di sini
bukan sekedar “keikut-ikutan serta” atau untuk mendukung aspek formalitas yang
memerlukan adanya kata partisipasi masyarakat semata. Namun, suatu keterlibatan
yang didukung pemahaman yang mendalam tentang persoalan revitalisasi dan
konservasi. Pemahaman yang dimulai dari pengetahuan aspek kesejarahan yang
terkandung di kawasannya, atau nilai-nilai berharga yang dimilikinya hingga apa
yang perlu mereka lakukan saat ini dan nanti. Mekanisme untuk melibatkan mereka
perlu dipersiapkan dengan jelas. Perlu dicatat di sini, masyarakat yang
terlibat bisa jadi tidak hanya yang berada di kawasan revitalisasi. Mereka yang
memiliki hubungan emosi atau kepedulian dengan tempat tersebut akan menuntut
haknya sebagai orang yang perlu dilibatkan pula. Untuk itu, penggunaan
teknologi informasi dalam mengelola keterlibatan banyak pihak (stakeholders)
ini sanggat diperlukan. Termasuk mendukung semangat konservasi yang harus mampu
mengelola perubahan, dokumentasi sumber daya budaya dari waktu ke waktu penting
disebarluaskan untuk dipahami semua pihak.
Beberapa kemungkinan penggunaan
teknologi informasi yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
1)
identifikasi
dan dokumentasi berbagai sumber daya alam dan budaya dalam dokumentasi digital
dan dapat diwujudkan dalam website sehingga mudah diakses;
2)
berbagai
gagasan revitalisasi disosialisasikan melalui website dan pemasangan
hasil cetakannya di tempat-tempat strategik;
3)
membuat
forum dalam bentuk mailing list agar masyarakat dan semua pihak dapat
menyampaikan pendapatnya secara langsung dan berdiskusi tentang revitalisasi
secara terbuka;
4)
pameran
secara regular tentang pengembangan upaya revitalisasi melalui produk-produk
teknologi informasi di lokasi atau di luar lokasi dapat dilakukan untuk
menjaring gagasan dan kemitraan;
5)
melalui
upaya ini dapat dirumuskan pula beragam insentif yang akan diberikan kepada
pihak-pihak yang melaksanakan program pelestarian dan revitalisasi.
Namun, persoalan
klasik pasti akan muncul di tengah pentingnya penggunaan teknologi informasi
ini, selain belum semua orang mengenal mengenai teknologi ini, juga mengenai
pendanaan. Beberapa terobosan kemitraan perlu diupayakan. Kita ketahui bersama
sekarang telah tumbuh subur beragam warung/café internet di mana-mana.
Dan ini jarang dimanfaatkan untuk keperluan sosialisasi atau upaya konservasi
khususnya. Mengapa tidak para investor di bidang ini diajak bekerja sama dalam
upaya revitalisasi. Datangkan mereka di kawasan revitalisasi dan rumuskan
aturan mainnya. Bila perlu tempatkan di bangunan bersejarah. Gunakan wallpaper
dalam monitor komputer-komputer tersebut untuk sosialisasi program
revitalisasi. Demikian pula akses pertama website selalu ke revitalization
web.
Kemudian bagi mereka
yang menjadi anggota aktif milis revitalisasi dan dapat dibuktikan melalui
tulisannya di milis akan mendapat pengurangan biaya sewa. Bagi yang belum tahu
penggunaannya, bisa dibuat program pelatihan gratis sekaligus menjadi ajang
sosialisasi revitalisasi. Dan akhirnya warung internet ini juga bisa menjadi
warung diskusi masyarakat lokal untuk revitalisasi. Terobosan ini perlu
diujicobakan.
Pandangan
dan Tata Nilai Baru : Heritage Investment
Sosialisasi tentang
pentingnya revitalisasi yang terkait erat dengan perencanaan ekonomi lokal ini
perlu diupayakan untuk merubah dan menumbuhkan kemauan publik dan swasta untuk
melakukan investasi pada pelestarian pusaka alam dan budaya. Semangat
konservasi hendaknya menjadi fondasi yang kuat berbagai kemitraan yang akan
ditumbuhkan. Namun, menyertakan pihak swasta untuk melakukan investasi di
bidang ini memerlukan komitmen jangka panjang dan kapasitas pengelolaan yang
andal. Selain menyiapkan dokumen rancangan untuk heritage investment,
agar revitalisasi kawasan dapat berkelanjutan dan tidak merusak konsep
pelestarian, beberapa aspek perlu dipersiapkan, antara lain:
1. Stabilitas peraturan yang mendukung masa depan kawasan revitalisasi.
Investor selalu mempertimbangkan resiko bila akan investiasi di kawasan
tertentu.
2.
Perlu ada pilot project investasi
yang dapat ditunjukkan keberhasilannya sehingga dapat dijadikan alat promosi
mengundang sektor swasta.
3.
Perlu dipersiapkan mekanisme agar penduduk
lokal justru tidak terpinggirkan dengan kehadiran investor dari luar. Justru
invenstasi mandiri oleh lokal diprioritaskan.
Revitalisasi,
bukan impian semusim
Tulisan kecil ini
menekankan bahwa revitalisasi bukan sekedar perbaikan-perbaikan fisik atau
polesan-polesan genit yang dipersiapkan sesaat dan dilaksanakan sesaat pula.
Revitalisasi merupakan sebuah program berkelanjutan mulai tahap-tahap jangka
pendek hingga jangka panjang, mulai dari ruang yang kecil hingga yang meluas.
Revitalisasi terkait dengan upaya membangun dan menggalang kekuatan masyarakat
lokal membentuk denyut kehidupan yang sehat yang mampu memberikan keuntungan
sosial-budaya dan ekonomi bagi masyarakatnya.
Untuk itu, terobosan teknologi, pengelolaan, dan “tiupan” kehidupan yang diciptakan di kawasan itu haruslah sebuah hasil pemikiran yang komprehensif. Dilaksanakan dengan mengembangkan kemitraan, menawarkan investasi pusaka alam-budaya dan ditujukan untuk menjadi citra kawasan yang terpelihara dan bahkan berkembang sepanjang masa. Bukan justru menjadi kawasan mati suri yang berwajah cantik namun segera layu begitu proyek revitalisasi berlalu.
Untuk itu, terobosan teknologi, pengelolaan, dan “tiupan” kehidupan yang diciptakan di kawasan itu haruslah sebuah hasil pemikiran yang komprehensif. Dilaksanakan dengan mengembangkan kemitraan, menawarkan investasi pusaka alam-budaya dan ditujukan untuk menjadi citra kawasan yang terpelihara dan bahkan berkembang sepanjang masa. Bukan justru menjadi kawasan mati suri yang berwajah cantik namun segera layu begitu proyek revitalisasi berlalu.
REVITALISASI
KAWASAN KOTA
Sebuah
Catatan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota
I.
Pendahuluan
Pembangunan
kota merupakan ekspresi kebijakan institusional dan politik, yang terjadi
melalui proses penyesuaian fisik dan fungsi secara terus menerus, terhadap
struktur hegemoni politik maupun ekonomi zaman. (D.
Ipsen, 1992)
Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan
industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel.
Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran
dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi
sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi
ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota
yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya.[1] Dengan persediaan
lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan
lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh
kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota
besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia,
seperti Jakarta, Surabaya,
atau Bandung.
Lahan (topos) akhirnya merupakan
sumber daya utama kota
yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas,
sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan
keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan
daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi
bagi kelangsungan hidup kota
yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle)
lahan kota yang
ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang
ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi)
yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang
disebut revitalisasi.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa
revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah
vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Contoh, Jl.
Braga di Bandung yang pernah menjadi pusat kegiatan komersial masyarakat kota, bahkan masyarakat luar kota, saat ini berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan. Jl. Pasar Baru di Jakarta adalah suatu contoh lain,
meskipun nasibnya tidak seburuk Jl. Braga. Kawasan Kota Tua Jakarta, seperti
kawasan pelabuhan tua Sunda Kelapa dan kawasan Fatahilah yang pernah berjaya pada
masa pemerintahan Hindia Belanda adalah contoh lain dari yang perlu untuk
dihidupkan kembali.
Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada
tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan,
atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas.
Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang
produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan
sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.
II. Modernisasi dan Globalisasi
Dapat diantisipasi bahwa aspek yang
membedakan kota-kota besar kita pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang adalah: jumlah penduduk, tingkat pendapatan perkapita, tingkat
kecanggihan teknologi, serta tata nilai/perilaku masyarakat yang semakin bersifat
universal. Aspek terakhir ini, perilaku, sangat terpengaruh oleh teknologi
informasi. Keempat aspek tersebut akan merupakan basis yang mendasari bentuk
sisi permintaan (demand side) yang harus diakomodasikan oleh kota. Sisi permintaan ini
berkait erat dengan kebutuhan akan lahan serta tingkat intensitas
pemanfaatannya, serta berbagai bentuk infrastruktur sosial yang berkait erat
dengan perilaku baru masyarakat. Contoh: Dahulu
orang makan siang di rumah dan melakukan
istirahat siang, untuk Jl. Braga ditandai dengan ditutupnya toko-toko; sekarang
kebiasaan ini sudah tidak lagi dilakukan.
Artinya kebutuhan akan lahan tidak lagi hanya
didasarkan kepada luasnya, tetapi juga didasarkan pada tingkat optimasi
pemanfaatannya serta sifat penggunaannya. Sebagai ilustrasi, peruntukan lahan
yang bersifat tunggal (mono use) sudah mulai ditinggalkan, sedang
kecenderungan pemanfaatan lahan dengan fungsi majemuk (multi use) secara
terpadu dan berskala besar (misalnya, konsep superblok) mulai berkembang dengan
pesat. Namun, harus disadari bahwa sisi permintaan yang didikte kekuatan pasar
ini tidak boleh dilepas tanpa kendali. Kota
bukan sekedar mesin ekonomi, tetapi kota
juga merupakan wujud organisasi sosial-budaya masyarakat yang harus dijaga
keseimbangan, keadilan serta kesinambungan eksistensinya. Jelas di sini, selain
pertumbuhan yang bersifat fisik (growth), berlangsung juga proses
perubahan dalam (perilaku) masyarakat yang memang merupakan bagian dari proses
evaluasi peradaban manusia (social changes).
Intervensi perencanaan dan perancangan kota yang peka terhadap
fenomena di masyarakat ini, oleh karena itu menjadi tidak terhindarkan.
Intervensi kebijakan perencanaan kota
tidak hanya harus kreatif, akan tetapi juga harus inovatif. Hal ini dapat
dipahami karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak (public needs)
yang bersifat multifacet, serta menyangkut pula proses penataan lahan kota yang sudah terbangun,
yang pengadaannya semakin terbatas. Selanjutnya intervensi kebijakan
perencanaan dan perancangan kota
harus dilihat sebagai instrumen untuk mengelola pertumbuhan dan perubahan.
Pertumbuhan dapat bersifat ekspansi wilayah atau pemekaran kota
(ekstensif) secara fisik, akan tetapi juga bisa bersifat pemadatan (intensif)
kawasan di dalam wilayah kota.
Dalam konteks ini revitalisasi adalah upaya mengelola pertumbuhan yang bersifat
pemadatan pada bagian ataupun kawasan kota yang
telah terbangun serta mengalami degradasi agar supaya bagian-bagian kota tersebut vital kembali sesuai dengan the highest
and the best use dari bagian-bagian kota
tersebut.
Kita saat ini hidup dalam era perubahan yang
cepat, dan kekuatan-kekuatan (ekonomi, sosial-budaya, politik dan teknologi)
tersebut ada di sekitar kita. Semuanya merupakan kekuatan yang bertanggung
jawab dalam proses pembentukan lingkungan perkotaan yang kita huni. Jadi, kita
harus mampu mengantisipasi perubahan ini dan ke arah mana perubahan tersebut
akan membantu kita.[2]
Kita telah pula sepakat, bahkan turut
memotori, untuk masuk ke dalam perdagangan bebas pada 2010 untuk ASEAN, dan
pada 2020 untuk Asia-Pasifik yang lebih luas. Untuk itu, masih diperlukan
persepsi serta konsep berpikir yang akan memungkinkan kita melihat ke depan ke
dalam abad ke-21. Kita harus mengerti bahwa semua perubahan ini tidak
terhindarkan, dan perubahan-perubahan ini memang memiliki basis yang rasional.
Oleh karena itu, kita harus mampu menanggapi serta mampu memperkirakan ke arah
mana semua perubahan ini akan membawa kita. Dengan informasi yang diperoleh,
kita seharusnya dapat menciptakan piranti pengendali untuk mengarahkan
pembangunan kota.
Untuk itu, kita harus bertindak secara pro-aktif dan bukan secara re-aktif,
serta berani mengambil tindakan yang tepat dan terencana.
Globalisasi pun telah membawa kita masuk ke
dalam sistem ekonomi dunia yang tidak lagi mengenal batasan geografis (Sassen,
1991). Globalisasi berarti pula bahwa modal kuat milik korporasi multinasional
beroperasi secara internasional, dan ini merupakan isu tersendiri di bidang
perencanaan dan perancangan kota
yang perlu ditanggapi. Masuknya modal kuat dari luar berarti pula masuknya
norma-norma universal yang menyebarluaskan doktrin-doktrin perancangan modern
yang mereka anggap dapat memberikan pemecahan bagi berbagai permasalahan
(perencanaan dan perancangan) untuk semua tempat di muka bumi ini. Dalam
praktiknya, isu-isu dan dimensi sosial-budaya serta tradisi lokal sering
disalah-artikan, diabaikan, atau bahkan dianggap tidak penting. Hasilnya adalah
penerapan di dalam konteks yang keliru dari metoda-metoda Barat, standar-standar
yang berlebihan, serta teknologi yang tidak sesuai dengan norma-norma setempat.
Namun, kelihatannya kenyataan ini tidak
terhindarkan, bahkan kota-kota besar kita secara berlanjut akan masih terus
didominasi oleh konsep-konsep perancangan kota
yang didikte kekuatan ekonomi multinasional dan menjadikan lingkungan perkotaan
kita sebagai koloni mereka. Kenyataan ini semakin mendekatkan pada ciri wajah
kota-kota besar kita kepada kota-kota dunia lainnya, dan semakin menipisnya
nilai-nilai jati diri serta identitas lokal yang pernah dimiliki oleh
lingkungan kota-kota kita. Garis langit kota-kota kita akan tetap didominasi
oleh refleksi dari kekuatan-kekuatan ekonomi multinasional atau bahkan
kekuatan-kekuatan besar lainnya (Evers/Korff, 2000). Dilemanya adalah bahwa
pada sisi lain dari cakrawala kota, tidak terlalu jauh dari kemegahan
arsitektur kota yang formal tersebut, muncul berbagai bentuk bangunan tidak
formal dengan penampilan kumuh yang tumbuh dan berkembang secara cepat bersama
waktu, dan ini semua memberi kesan semakin tajam ketidakadilan sosial ekonomi.
Apakah kenyataan ini merupakan identitas lokal wajah kota kita?
Kita harus sadari pula bahwa kita hidup di
dalam tata ruang yang diciptakan oleh pengambil keputusan masa lalu, dan itu
tanpa disadari telah membentuk perilaku kita dan sekaligus persoalan-persoalan
baru pada saat ini. Tata ruang masa depan adalah tanggung jawab para pengambil
keputusan hari ini, oleh karenanya mereka perlu untuk benar-benar mengerti
tentang apa yang sebenarnya kita kehendaki dari masa depan, mengingat
keputusan-keputusan yang diambil hari ini akan mempunyai dampak yang luar biasa
pada kehidupan mendatang. Untuk mengantisipasinya diperlukan sebuah skenario
tentang tata ruang masa depan berdasarkan persepsi serta analisis yang matang,
serta harus dapat diformulasikan secara serius dan teliti. Dengan alasan
inilah, keputusan-keputusan yang diambil hari ini harus dilandasi oleh
imajinasi serta konsep-konsep yang kreatif serta inovatif tentang masa depan
kita.
III.
Revitalisasi dan Rancang Kota
Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan
mudah diamati pada kawasan kota bersejarah/tua,
karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan
sosial budaya), kawasan kota
tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000).
Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat
bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah
pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan
ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun
1970-an, kawasan (pusat) kota
tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan
revitalisasi hanya terbatas kawasan kota
bersejarah/tua.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Sebagai sebuah kegiatan
yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan
membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut :
Intervensi fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik
revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan
peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem
penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm).
Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan,
khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu
dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi
penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks
lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.
|
Rehabilitasi ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses
peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi.
Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa
mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic
development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer,
2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa
mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
Revitalisasi sosial/institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan
terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting),
jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut
harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial
masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang
logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang
berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung
oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
Dari uraian di atas, kota yang baik harus merupakan satu kesatuan
sistem organisasi terpadu, baik yang bersifat sosial, visual, maupun fisik.
Oleh karenanya, kota jangan hanya direncanakan,
tetapi kota
juga harus dirancang, terutama dalam skala mikro-kota. Kehadiran rancang kota, yang secara universal dikenal dengan sebutan urban
design sekaligus, akan merupakan jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan
secara layak berbagai kebijaksaan perencanaan kota dengan produk-produk rancangan fisiknya
seperti seni bangunan /arsitektur. Sebagai penyambung antara perencanaan kota dan perancangan arsitektural, rancang kota sekaligus merupakan
suatu perangkat panduan bagi terwujudnya lingkungan binaan yang tanggap
terhadap berbagai isu lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Rancang kota
sangat berkepentingan dengan kualitas ruang kota, terutama yang berkaitan dengan
kepentingan publik. Sebagai jembatan antara perencanaan kota
dan perancangan arsitektur (baik bangunan maupun ruang-ruang luar di
antaranya), rancangan kota
bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, urban design akan
sangat menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang
kita huni ini. Jadi, urban design harus dilihat sebagai suatu proses
yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang
layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap kemampuan sumber
daya setempat, daya dukung lahan serta merujuk kepada lokalitas.[3]
Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum. Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi! Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya.
Sebagai contoh: suatu bagian kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi tua (obsolete) dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota. Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada galibnya merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Di dalam konteks daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa rancang kota adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja, bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran, rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana untuk mencapainya.
Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum. Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi! Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya.
Sebagai contoh: suatu bagian kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi tua (obsolete) dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota. Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada galibnya merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Di dalam konteks daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa rancang kota adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja, bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran, rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana untuk mencapainya.
Untuk mencapai wujud akhir ruang binaan kota yang dikehendaki,
terutama yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang lama, dirasakan perlu
adanya seperangkat piranti yang dapat mengarahkan serta mengendalikan proses
pembentukannya.
IV.
Penutup
Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan
serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami
degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi,
rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu,
pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi
lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan
mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat
isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi
maupun karakter fisik kawasan. Penataan dan Revitalisasi Kawasan merupakan
perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang
akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.
Prof. Ir.
Muhammad Danisworo, M.Arch., MUP., Ph.D.
Guru
Besar Perancangan Kota, Dep. Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
ITB
Dr.Ing.
Widjaja Martokusumo
Staf
Pengajar Perancangan dan Pembangunan Kota, Dep. Arsitektur, FTSP - ITB
Referensi
Evers, Hans-Dieter/Rüdiger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
Evers, Hans-Dieter/Rüdiger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
Hall, Peter/Ulrich
Pfeiffer: Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E
& FN Spon, London, 2000.
Ipsen, Detlev: Ãœber
den Zeitgeist der Stadterneuerung, dalam Die Alte Stadt, no.1,
hal.16-29, 1992.
Rüland, Jürgen (ed.):
The Dynamics of Metropolitan Management in Southeast Asia, ISEAS, Singapore,
1996.
Sassen, Saskia: The
Global City. Princenton University Press, New York, 1991.
Serageldin, Ismaïl/Ephim Shluger/Joan Martin-Brown (eds.): Historic Cities and Scared Sites, Cultural Roots for Urban Futures, The World Bank, Washington, 2000.
Serageldin, Ismaïl/Ephim Shluger/Joan Martin-Brown (eds.): Historic Cities and Scared Sites, Cultural Roots for Urban Futures, The World Bank, Washington, 2000.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Revitalisasi Kawasan